Walau punya track record buruk, tapi Citra Gading masih saja seperti dijadikan anak emas. Ada apa sebenarnya? Sejumlah aktivis anti korupsi di Kukar menuntut agar investor kacangan ini dienyahkan dari bumi Kukar.
PT Citra Gading Asritama (CGA), selaku perusahaan kontraktor sekaligus investor, punya beragam catatan buruk, termasuk dengan banyak pekerjaannya di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar). Meski begitu, perusahaan asal Kota Pahlawan itu selalu bernasib mujur, sering mendapat proyek bernilai ‘wah’. Bahkan dijadikan investor, walau mengusik akal sehat.
Sekretaris Lembaga Investigasi dan Pemberantasan Praktik Rasuah (LIBAS) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Kukar, Saiful Bahri, mempertanyakan alasan para pemegang kebijakan di Kukar selalu menempatkan kontraktor yang dipimpin Ichsan Suadi ini di ‘kursi empuk.’
“Citra Gading ini oleh Bank Dunia sudah di-blacklist. Banyak pekerjaannya di berbagai daerah di Indonesia mengecewakan. Sering wanprestasi. Mestinya kontraktor ini dimasukkan dalam daftar hitam oleh lembaga lelang di Indonesia (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, red). Termasuk di Kukar, seharusnya sudah ditendang jauh-jauh. Tapi kok seperti jadi anak emas. Ada apa ini?” kata Saiful Bahri kepada Eksekutor di Tenggarong, akhir Juni lalu.
Mengapa dikatakan anak emas? Salah satu contohnya, saat perusahaan lain gagal mendapat tender pada Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE), dengan alasan memiliki pekerjaan lain di Kukar, sementara CGA walaupun memiliki lebih banyak pekerjaan di Kukar yang belum tuntas, tetap dimenangkan lelang.
“Kami melihatnya di website LPSE Kukar. Kami melihat penawaran PT Hutama Karya tidak diloloskan karena masih mengerjakan Jembatan Kukar. Di sisi lain, Citra Gading yang punya lebih banyak pekerjaan di Kukar, tetap diloloskan penawarannya,” ungkap Saiful Bahri.
Pekerjaan CGA di Kukar yang belum tuntas yakni pembangunan Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 3 Unggulan di Tenggarong Seberang, CGA selaku kontraktor, dikerjakan sejak 2012. Lalu proyek perumahan Korps Pegawai Negeri (Korpri), juga di Tenggarong Seberang, dikerjakan dari tahun 2008 dan CGA selaku investor.
Kemudian proyek pembangunan jalan Kelekat ke Bila Talang, selaku kontraktor, dikerjakan sejak tahun 2011. Lalu tahun 2012, CGA dipercaya menjadi investor untuk proyek Royal World Plaza (RWP).
“Dan yang terbaru, tahun 2014 ini, Citra Gading memenangkan tender proyek pembangunan jalan dari Kembang Janggut menuju Kelekat. Lalu proyek infrastruktur jalan kawasan central bisnis distrik Tenggarong. Kalau ditotal semua proyeknya, mencapai bilangan triliunan rupiah,” kata Saiful Bahri.
Dia menyebut, sudah terlalu banyak dosa CGA dan dosanya adalah dosa besar. Jadi sudah sepantasnya diusir dari Kukar. “Blacklist, jangan lagi diberi ruang. Putus semua kontraknya, karena Citra Gading ini banyak tidak beresnya,” tegas Saiful.
Dosa-dosa itu, kata Saiful, adalah penyelesaian pekerjaan yang sering molor dan tidak tuntas. Lalu terkait mutu hasil pekerjaan yang banyak mengecewakan. “Bersama teman-teman aktivis, saya mengamati langsung tiga proyek yang dikerjakan Citra Gading di Tenggarong Seberang. Di sana kami menemukan di bangunan-bangunan yang telah dikerjakan, ada banyak keretakan, cat mengelupas, acian yang tidak rata,” ungkap Saiful.
Temuan tersebut, lanjut dia, belum termasuk proyek pembangunan jalan di Kembang Janggut menuju Kelekat dan dari Kelekat menuju Tabang. Laporan yang kami terima, ini proyek tahun jamak (multiyears) yang dibiayai sejak tahun 2005. Dari 2005, CGA selalu dapat pekerjaannya, tapi penyelesaiannya selalu molor.
“Saya lihat langsung di LPSE, CGA dapat proyek pembangunan jalan dari Kelekat ke Tabang. Kontrak ditandatangani tanggal 30 Desember 2011. Kalau sudah ditandatangani, itu kontraktor harus bekerja. Tapi sampai Juni 2014 ini, itu pekerjaan masih berlangsung. Untuk proyek begini, tidak mungkin masa kerjanya bertahun-tahun. Kontraktor sering wanprestasi dalam menyelesaikan pekerjaan begini kok sering dipakai?” papar Saiful sembari mempertanyakan.
Kemudian soal kapasitas CGA sebagai investor untuk proyek RWP. Saiful menyebut, ada banyak kejanggalan dan ketidakberesan. Pertama, terkait penunjukkan CGA sebagai badan usaha yang bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kukar, dinilai telah menabrak rambu-rambu.
“Kerja sama yang dibangun tidak melalui tahapan-tahapan yang semestinya. Ada banyak aturan, tetapi tidak dipakai. Selain itu, munculnya nama Citra Gading, setahu saya tanpa melalui proses tender. Di website LPSE Kukar juga tidak ada. Kalau tidak melalui tender, ini sudah pelanggaran berat,” tandas Saiful.
Kedua, lanjut Saiful, proyek RWP ini tanpa studi kelayakan dan perencanaan yang jelas. Sehingga, desain teknisnya sampai berubah karena persoalan kondisi kontur tanah yang baru diketahui. “Katanya investor bonafit, kok bisa perencanaannya tidak memperhitungkan kontur tanah? Jangan-jangan tidak ada perencanaannya atau perencanaannya dibuat asal-asalan,” tegas Saiful.
Ketiga, menurut dia, adalah soal perizinan. Dari pemancangan tiang pancang pertama pada November 2012 hingga akhir Juni 2014, tidak ada terlihat papan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Itu artinya memang IMB tidak ada.
“Hal kecil saja lalai, apa lagi yang besar. IMB saja tidak ada, apa lagi perizinan yang lain. Saya dengar IMB diuruskan Pemkab Kukar, ini kan lucu. Ada prosedur yang harus dilalui, pemohonnya dari Citra Gading, bukan dari Pemkab. Ini kok diurus Pemkab,” kata Saiful.
Keempat, lanjutnya, mengenai dampak lingkungan. Pada saat proyek RWP berjalan beberapa waktu lalu, sempat membuat jalan kotor dan lumpur proyek menyumbat parit. Sudah bisa dipastikan, jika Izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) belum ada.
“IMB saja tidak ada, apa lagi Amdal. Menurut aturan, kalau luas bangunan lebih dari 1 hektar, wajib membuat Amdal. Kalau tidak ya harus ada UPL/UKL (upaya kelola lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan, red),” terang Saiful.
Alasan terakhir yang membuat CGA tak pantas menjadi investor RWP adalah, kata dia, kondisi finansial perusahaan yang sedang cekak. “Persoalan masalah finansial investor ini saya rasa sudah diketahui Pemkab. Karena itu Pemkab ikut membantu mencarikan pinjaman. Saya dengar Bank Kaltim sudah memberikan pinjaman. Jangan sampai menyalahi aturan,” tandasnya.
ELEMEN ANTI KORUPSI BERSATU
Atas hasil investigasi tersebut, LIBAS GP Ansor telah mempersiapkan sejumlah langkah. Menurut Saiful, pihaknya sudah berkoordinasi dengan beberapa elemen anti korupsi dan kemahasiswaan di Kukar untuk menindaklanjuti berbagai temuan itu.
“Sekarang ini kami bersama sejumlah elemen masyarakat dan mahasiswa tengah berkoordinasi. Ada beberapa langkah-langkah yang telah kami persiapkan,” ungkap Saiful.
Langkah pertama, kata Saiful, LIBAS GP Ansor Kukar bersama lembaga-lembaga lain akan meminta klarifikasi dan meminta salinan dokumen yang dianggap penting untuk menindaklanjuti investigasi.
“Selain meminta klarifikasi, kita akan minta dokumen spek teknis pekerjaan yang didapat Citra Gading di Kukar. Lalu salinan perjanjian kerja sama antara Pemkab Kukar dengan Citra Gading, terkait pembangunan perumahan Korpri dan RWP,” ujar Saiful.
Langkah kedua, turun ke jalan. Bersama sejumlah elemen lain, LIBAS GP Ansor Kukar akan menyebarluaskan sejumlah temuan penyimpangan ke masyarakat dan meminta konfirmasi secara langsung ke DPRD dan Bupati Kukar. “Langkah ini kita lakukan jika perjuangan kita secara administratif tidak digubris,” tegas Saiful.
Ketiga, lanjut dia, melaporkan dan meminta kepada Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengaudit secara khusus proyek perumahan Korpri, proyek SMKN Unggulan, proyek RSUD AM Parikesit dan proyek jalan dari Kembang Janggut menuju Tabang yang dikerjakan CGA dari tahun 2005.
“Kita minta audit secara tuntas, dari berbagai aspek, mulai finansial sampai soal teknis. Sehingga bisa diketahui kerugian negaranya. Misalnya proyek perumahan Korpri, itu sudah terbangun 250 unit rumah, sudah ada jalan, sudah ada jaringan listrik dan air. Tetapi sampai sekarang tidak dimanfaatkan, persis seperti permukiman hantu. Selain mubazir, jelas merugikan negara,”
Yang keempat, kata Saiful, adalah menindaklanjuti kasus RWP. Tuntutannya adalah pemutusan kontrak kerja sama karena banyak aturan yang dilanggar. “Jika ini tidak digubris, maka langkahnya adalah melaporkan perkara tersebut ke sejumlah lembaga yang berwenang,” ungkapnya.
Lembaga-lembaga tersebut adalah, Badan Lingkungan Hidup Daerah hingga Kementerian Lingkungan Hidup. Ini terkait dengan Amdal proyek RWP yang sudah dapat dipastikan pihak investor tidak memilikinya.
Karena dugaan banyak terjadi pelanggaran dalam prosesnya, LIBAS GP Ansor juga akan melaporkan kasus itu ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI). “Kita juga akan laporkan ke Pengawas Persaingan Usaha, karena proses penunjukkan investor RWP tidak melalui tender,” tandas Saiful.
Terakhir, untuk masalah pelanggaran pidana, kata Saiful, bersama elemen lain, mereka akan menyusun laporan yang nantinya akan disampaikan kepada pihak kepolisian, kejaksaan hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Tidak punya Amdal tentu saja ada ketentuan pidananya. Soal penunjukkan langsung tanpa tender, juga mengarah pidana karena telah terjadi persaingan usaha yang tidak sehat. Belum lagi temuan-temuan lain yang sedang kami investigasi terus,” pungkas Saiful. []