Para calon presiden (capres) sekarang ini boleh tebar pesona. Namun, sederet masalah berat sebenarnya telah menanti –siapa pun dari mereka yang terpilih sebagai pemimpin RI periode lima tahun mendatang. Salah satunya datang dari Kalimantan, pulau terbesar ketiga di dunia –setelah Greenland dan Irian– yang daratannya “babak-belur” dikuasai konsesi.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) protes keras karena kondisi lingkungan Tanah Borneo semakin darurat. Ya, lebih 50 juta hektare Kalimantan sudah menjadi kawasan bisnis tambang hingga perkebunan.
Kepada Wartawan, Rabu (28/5), Direktur Eksekutif WALHI Kaltim Fathur Roziqin Fen mengatakan, pada 27 Mei lalu berlangsung konsolidasi WALHI se-Kalimantan di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Konsolidasi dalam rangka menghadapi pemerintahan baru tersebut mencuatkan kondisi Kalimantan yang semakin darurat pengelolaan lingkungannya.
Dikatakan, Kalimantan meliputi 73 persen massa daratan Pulau Borneo. Pulau ini memiliki total luasan 549.032 kilometer persegi atau 28 persen total luas daratan Indonesia.
Namun demikian, saat ini investasi modal dengan komoditas tambang, perkebunan sawit, dan hutan tanaman industri (HTI) dan logging konsensi (HPH), menguasai sebagian besar wilayah Kalimantan.
Kalimantan Selatan (Kalsel) yang memiliki luas 3,7 juta hektare, sebanyak 2,3 juta hektare di antaranya dikuasai investasi. Begitu juga Kalimantan Barat (Kalbar) yang memiliki daratan 14,7 juta hektare, mendapat penguasaan investasi mencapai 13,6 juta hektare.
Sedangkan Kalimantan Tengah (Kalteng) dengan luas daratan 15,3 juta hektare, terdapat penguasaan investasi mencapai 12,8 juta hektare. Dan, yang paling mengejutkan adalah Kaltim. Dari 19,6 juta hektare, luas izin telah mencapai 21,7 juta hektare.
Jika dihitung-hitung, lahan yang dikuasai investor mencapai 50,4 juta hektare dari total luas 53,3 juta hektare tanah Kalimantan atau mencapai 94,5 persen!
“Kondisi ini menunjukkan Kalimantan merupakan pulau sedang dan terus dikeruk industri ektraktif yang merampas dan mengancam wilayah kelola rakyat,” tegas Fathur.
Selain itu, aset produksi sumber penghidupan dan kawasan ekologi genting seperti dataran tinggi sebagai sumber tangkapan air dan mengonversi lahan gambut, menghilangkan kandungan karbon yang juga salah satu penyumbang terbesar gas rumah kaca.
Ini memengaruhi iklim global dan mengancam keselamatan manusia.
TAP MPR IX tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang tidak juga ditetapkan pemerintah, membuat kerusakan ekologi secara bergelombang terus melaju. Hal ini tak kunjung dapat tempat dan menjadi perhatian serius dalam pemerintahan.
Catatan WALHI, dalam kurun waktu 2011-2013, persentase kerusakan lingkungan melonjak 300 persen. Ini angka fantastis yang belum pernah tercatat sebelumnya. WALHI pun mendesak pemerintah melakukan tindakan sistematis demi penyelamatan lingkungan hidup. WALHI sebagai organisasi masyarakat sipil turut serta dalam aksi penyelamatan lingkungan secara masif.
“Pemerintah harus jadi garda terdepan membela kepentingan rakyat luas, memastikan keselamatan rakyat, dan keadilan ekologis,” tegasnya.
Jelang pemilu presiden (pilpres) 9 Juli, WALHI meminta pemerintahan baru harus melakukan pemeriksaan secara menyeluruh serta komprehensif terhadap kebijakan yang merugikan rakyat dan negara. Pemeriksaan ulang izin perusahaan rakus lahan mesti jadi sasaran utama.
Soal simpang-siurnya penyelesaian konflik agraria dan lingkungan antara pemerintah dan rakyat atau rakyat dan pengusaha yang semakin subur, diperlukan badan khusus sebagai lembaga penyelesaian konflik. Dengan demikian, kanalisasi semua persoalan menemukan jalan keluar yang baik.
“Pemerintah juga harus melakukan penguatan khusus kepada lembaga negara yang menangani persoalan lingkungan hidup,” sebut Fathur.
Dikatakan, pengadilan lingkungan hidup menjadi penting. Dengan demikian, kriminalisasi rakyat bisa dihentikan. Selain itu, tata kelola dan sumber kehidupan rakyat yang berkeadilan perlu menjadi tanggung jawab penuh negara. Kebijakan pemerintah diminta berorientasi kepada perlindungan rakyat.
“Pemerintahan ke depan harus mengakomodasi dan memfasilitasi rakyat terhadap wilayah kelola serta sumber kehidupan,” ujarnya. “Momentum 2014 ini adalah awal bagi pemerintahan ke depan mengeluarkan dan melaksanakan kebijakan iklim yang komprehensif, detail, dan bertanggung jawab,” sambung Fathur lagi.
Data Jaringan Anti-Tambang (Jatam) Kaltim menyebutkan, pada 2013, jumlah konflik akibat tambang meningkat tajam dari tahun-tahun sebelumnya. Pada 2012, jumlah konflik yang terjadi sebanyak 198 kasus. Pada 2013, kasus naik 86,36 persen menjadi 369 kasus dengan luasan wilayah konflik mencapai 1,2 juta hektare, dan melibatkan 139.874 kepala keluarga (KK).
Sementara, dalam kurun enam tahun terakhir, tercatat 13 orang meninggal, 125 orang luka-luka, dan 234 orang ditahan karena konflik pertambangan.
Menurut Dinamisator Jatam Kaltim, Merah Johansyah, tanggungan masalah banyak tak terselesaikan. Masalah tak hanya dilakukan investor luar negeri namun juga pengusaha lokal nasional.
“Seperti kasus semburan lumpur Lapindo hingga kasus tambang batu bara di Samarinda yang menewaskan sejumlah anak-anak,” ucapnya.
Sampai saat ini, masyarakat korban Lapindo masih terus memperjuangkan hak asasi mereka. “Semburan lumpur Lapindo yang merendam sawah-sawah, serta saluran irigasi, berdampak kepada hilangnya akses pangan dan hak ekonomi masyarakat,” papar dia.
Di sisi lain, tidak diakuinya hak veto masyarakat di wilayah pertambangan merupakan permasalahan mendasar di sektor hulu. Surat keputusan penentuan wilayah pertambangan (WP) yang dikeluarkan Kementerian ESDM pada Juli 2013 hingga Februari 2014 mengabaikan hak-hak partisipasi rakyat yang dilindungi konstitusi serta mengabaikan prinsip transparansi penyelenggaraan pemerintahan yang adil, bersih, dan bebas korupsi.
“Pembatalan Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM terkait penetapan WP harus segera dilakukan karena dibuat sepihak oleh pemerintah,” sebut dia.
Dikatakan Merah, sekitar 44 persen wilayah Indonesia telah dikaveling industri pertambangan. Lebih dari 11 ribu izin pertambangan dan migas dikeluarkan pemerintah daerah maupun pusat.
“Dari sekian banyak tambang, ternyata hanya menyumbang rata-rata 25 hingga 27 persen pendapatan negara. Sementara kerusakan, pemulihan lingkungan, atau bencana yang ditimbulkan aktivitas pertambangan harus ditanggung negara,” ucapnya, miris.
Ditambah lagi kebocoran pajak deras mengucur akibat penegakan hukum yang lemah di sektor sumber daya alam. “Di Kaltim terdapat 934 IUP yang sejak 2011 menunggak royalti dan iuran tetap. Juga ditemukan 137 perusahaan tambang tak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) yang berarti memiliki masalah pajak,” sebut Merah.
Sayangnya, kompleksitas masalah yang muncul di permukaan tidak menjadi pertimbangan pemerintah, khususnya pasangan capres dan calon wakil presiden (cawapres) dalam pilpres ini.
“Pasangan Jokowi-Jusuf Kalla dan Prabowo-Hatta tetap menjadikan industri pertambangan sebagai bagian penopang pembangunan ekonomi Indonesia ke depan,” tuding Merah.
SOROT ICAL
Ditambahkan Rully, salah satu anggota Jatam, Aburizal “Ical” Bakrie dan jaringannya adalah penjahat tambang yang mestinya tak boleh diberi ruang dalam Pemilu 2014.
“Perusahaan tambang miliknya, yakni KPC, telah membawa kesuraman bagi warga, mulai perampasan lahan warga di Kutai Timur (Kutim), pencemaran sungai Sangatta, skandal mafia pajak, hingga menggerogoti APBN Rp 7,2 triliun sejak 2007 untuk menyubsidi kejahatan Lapindo,” ucapnya.
Beberapa waktu lalu, Jatam merilis data: dari 135 desa di kabupaten ini, hanya 37 mendapatkan layanan listrik. Pada saat yang sama, untuk mengoperasikan tambang, KPC menghabiskan 18,9 megawatt (MW) setara listrik untuk 21 ribu rumah tangga, atau 42 persen kebutuhan listrik warga Kutim.
Sementara itu, pasokan batu bara KPC menerangi 17 negara di Asia Pasifik, Eropa, dan Inggris. Sejarah panjang tambang di Indonesia, justru membuat negeri ini semakin tidak berdaulat atas ekonomi, hukum, dan politik.
Menurut Rully, hanya satu cara mengembalikan kedaulatan bangsa; hentikan seluruh operasi dan rencana pertambangan.
“Sudah cukup catatan buruk bangsa akibat pertambangan. Jadikan tambang sejarah dalam perjalanan bangsa ini. Momentum semburan lumpur Lapindo yang terjadi delapan tahun lalu seharusnya menjadi catatan buruk dan menjadi titik balik untuk menyegerakan perbaikan tata kelola tambang dan energi di Indonesia,” tutur dia. [] RedFj/KP