Sejak 2010 lalu, warga Kelurahan Makroman membuat aturan terkait mobilisasi kendaraan perusahaan yang melintasi Jalan Penangkaran Buaya. Khususnya di lingkungan RT 06, RT 11, RT 12, RT 13, RT 24, dan RT 26. Peraturan tersebut masih berlangsung hingga saat ini.
Setiap kendaraan perusahaan seperti truk dengan muatan tanah, batu gunung, batu bara, dan lain sebagainya, termasuk truk tangki Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis solar industri, diwajibkan membayar “upeti” dengan nilai yang sudah ditentukan warga.
Dari informasi yang diperoleh Sapos, biaya untuk sekali melintas di jalan yang sudah dicor 2013 lalu adalah Rp 350 ribu sampai Rp 700 ribu. Meskipun demikian, kesepakatan yang sudah berjalan lebih dari tiga tahun tersebut menuai pertanyaan dari sejumlah anggota masyarakat. Mereka mempertanyakan uang yang terkumpul selama ini, maupun bukti konkret dari pemanfaatan dana tersebut. Karena dipastikan sudah mencapai jutaan rupiah.
“Laporannya juga tak jelas. Jadi banyak wargayang tidak tahu ke mana dan digunakan untuk apa uang itu,” kata seorang anggota masyarakat setempat yang meminta namanya tak dikorankan.
Selain mengenai ketidakjelasan pengelolaan dana yang ditarik dari para sopir perusahaan, masyarakat juga mempertanyakan izin dari Lurah Makroman maupun Camat Sambutan terkait peraturan itu.
“Saya yakin tidak ada. Kalau begitu bukankah sama saja itu dengan pungli?” tudingnya.
Berdasarkan penelusuran Sapos, seiring berjalannya waktu sejak peraturan penarikan retribusi melintas itu diberlakukan, sebuah organisasi dibentuk dan dinamakan Pengurus Lingkungan Makroman (PLM).
Sarlan, salah satu anggota PLM yang ditemui wartawan kemarin mengakui, memang belum ada izin yang diberikan secara khusus dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait mengenai ketentuan penarikan retribusi melintas tersebut. Disebutkannya, kegiatan pungutan itu sudah mendapat persetujuan warga dari enam RT.
“Yang mengurus jalan ini tidak hanya saya, tetapi masih ada dua orang lagi yang ditugaskan masing-masing RT. Untuk hasilnya juga masuk ke kas RT, tidak ke kantong kami,” ucap Sarlan yang mengaku berasal dari lingkungan RT 24, Kelurahan Makroman.
Ditambahkan Sarlan, uang yang diperoleh dari hasil “mencegat” truk perusahaan itu digunakan untuk kepentingan sosial. “Contohnya, untuk rukun kematian, kegiatan 17 Agustus dan pemasangan pipa PDAM,” beber Sarlan.
Meski begitu, Sarlan tak menampik bahwa sebelumnya, penarikan dan pengelolaan uang yang diperoleh dari kendaraan perusahaan itu dilakukan kelompok preman. “Tetapi sekarang kan sudah warga yang ambil alih,” tukasnya sambil menunjukkan dokumen kesepakatan warga enam RT yang dimaksud.
Terpisah, Lurah Makroman Rokhim yang dikonfirmasi Sapos mengenai hal ini mengaku terkejut, dan merasa tak pernah memberikan izin.
“Saya tidak tahu kalau lurah sebelumnya. Yang pasti saya belum mengetahuinya. Dan saya akan coba cari tahu kebenarannya,” pungkasnya singkat. [] RedFj/SP