BAGI kebanyakan warga Benua Etam, kelinci tak lazim terhidang di meja makan. Maklum, pada dasarnya kelinci lebih dikenal sebagai hewan peliharaan atau hidup di alam bebas. Memang, ada menu sate kelinci. Namun tetap saja, lidah warga Kaltim belum familiar dengan menu tersebut. Tapi kini, kelinci bisa jadi alternatif hidangan bagi keluarga. Pasalnya, kelinci pedaging telah dijual di mana-mana. Bahkan di Samarinda, ada sebuah gang yang warganya sebagian besar beternak kelinci, khususnya pedaging.
Lokasinya ada di Lok Bahu, Sungai Kunjang dan Bukuan, Palaran. Khususnya di Lok Bahu, tepatnya di Jalan M Said Gang H Bustani, ada kelompok peternak kelinci bernama Madurasa. Saking banyaknya manfaat yang didapat, gang yang ada diubah namanya menjadi Gang Kelinci. Nanang, seorang anggota kelompok peternak kelinci menyebut, dia dan kawan-kawannya mulai beternak pada 2006. Saat itu, kelinci yang khusus dipelihara untuk disantap dagingnya baru masuk ke Kota Tepian.
Kemudian pada 2008 dibentuk kelompok ternak untuk wadah bertukar informasi dan koordinasi. “Jenis kelinci yang diternakkan adalah English Spot, Rex, New Zealand, dan Flemish Giant. Setelah itu barulah muncul jenis campuran atau hybrid,” terang pria berkumis berusia 41 tahun tersebut. Dari nilai ekonomis, beternak kelinci ternyata cukup menjanjikan.
Hanya perlu beberapa ekor betina dan pejantan yang dikawinkan, kelinci usia tujuh bulan sudah siap berkembang biak. Rata-rata per ekor mampu melahirkan enam sampai 10 ekor anak. Dalam empat hingga lima bulan berikutnya sudah bisa dijual dengan berat rata-rata 3 kg. Di pasaran, harga daging kelinci per kilogramnya mencapai Rp 50 ribu hingga Rp 60 ribu. “Dalam setahun kelinci bisa melahirkan hingga lima kali,” sambung Nanang.
Dari segi pemeliharaan juga tidak ada yang rumit. Hanya kebersihan kandang yang harus selalu terjaga, guna mencegah makanan menjadi basah dan mengakibatkan kelinci kembung. Pakan yang biasa diberikan adalah rumput, kangkung, ampas tahu, dan pelet khusus kelinci. Pemberian makan dilakukan dua kali sehari, pagi dan sore.
Hasil olahan dari daging kelinci umum dijadikan sate. Selain memenuhi kebutuhan lokal di Samarinda, Madurasa juga memasok ke kota sekitar seperti Tenggarong, Melak, dan Sangatta. Sayangnya, produksi belum mampu memenuhi permintaan. Terpaksa dia menolak pesanan dari kota lain. Tidak hanya dagingnya yang dimanfaatkan, kulit serta kotoran kelinci pedaging ini juga mendatangkan rupiah. Kulitnya yang dijadikan bahan kerajinan seperti dompet. Sedangkan kotoran kelinci dapat dijual untuk bahan pupuk organik.
“Pupuk NPK (nitrogen, phosphor, kalium) dari bahan kotoran kelinci lebih bagus dari pupuk NPK hewan ternak lain. Itu berdasarkan penelitian Balitnak (Balai Penelitian Ternak) di Bogor,” jelas Nanang. Saat ini di kelompok ternak kelinci Madurasa tergabung 18 peternak aktif. Rata-rata per orang memelihara 100 ekor kelinci. Pada kontes kelinci pedaging yang diadakan kemarin (1/6) di halaman parkir GOR Segiri, Jalan Kesuma Bangsa, Samarinda, Madurasa mengikutkan tujuh ekor kelinci andalannya.
Diterangkan panitia kontes kelinci pedaging, Akhmad Yani dari Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluh Daerah Kota Samarinda, kegiatan ini menjadi yang perdana di Kota Tepian. Tujuannya memasyarakatkan daging kelinci sebagai bagian ketahanan pangan. Total ada 30 ekor kelinci yang diikutkan dalam kontes kali ini. “Penilaian didasarkan pada bulu, telinga, berat, kebersihan kuku, gigi dan kesehatan kelinci,” jelasnya. [] RedFj/KP