MALANG – Produsen ikan asin kerap menggunakan formalin untuk mengawetkan komoditasnya tersebut. Tentu saja langkah itu berbahaya bagi konsumen dan bertentangan dengan hukum. Namun kini produsen ikan asin bisa menggunakan bahan pengawet baru yang lebih menjanjikan keamanan.
Mahasiswa Jurusan Teknologi Hasil Pertanian yang tergabung dalam tim Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Pengabdian Masyarakat Fakultas Teknologi Pertanian (PKM-MFTP) Universitas Brawijaya, Malang, berhasil membuat pengawet alami ikan asin dari kombinasi teh dan daun pandan, atau disingkat, komhandan.
Di bawah bimbingan Endrika Widyastuti, tim PKM yang beranggotakan Ali Wafa, Annisa Ulfah, Oty Kiki, dan Moh. Arham memilih teh karena mempunya kandungan tanin dan flavonoid sebagai anti-mikroorganisme. Daun pandan dipilih karena mengandung saponin dan fenol yang berkhasiat sebagai antibakteri.
“Kedua unsur alami itu digunakan untuk menggantikan formalin sintetis sebagai pengawet produk ikan asin. Bahan pengawet buatan kami aman bagi kesehatan dan ramah lingkungan,” kata Ali Wafa, Ahad, 8 Juni 2014.
Dalam penelitian Ali dan kawan-kawan, penggunaan kombinasi teh dan daun pandan ternyata mampu menghasilkan rasa yang lebih lezat dan memperpanjang umur simpan ikan asin. Keunggulan lainnya yakni bahan bakunya lebih gampang dicari ketimbang formalin. Formalin hanya bisa dibeli di toko tertentu. Sedangkan teh dan daun pandan bisa didapatkan di pasar dan pekarangan.
Endrika menambahkan, komhandan sudah diperkenalkan kepada para janda anggota Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan. Desa ini merupakan sentra produksi hasil laut terbesar di Kabupaten Malang yang memiliki pelabuhan ikan di Dusun Sendangbiru.
Keempat mahasiswanya itu berambisi menjadikan Desa Tambakrejo sebagai sentra produksi ikan asin nonformalin, dengan tujuan meningkatkan pendapatan per kapita warga sehingga bisa mengoptimalkan perekonomian desa.
DELAPAN PENELITI
Delapan peneliti dari Universitas Brawijaya meraih penghargaan peneliti unggul di bidang penganekaragaman pangan dalam program Indofood Riset Nugraha (IRN). “Keberhasilan ini menunjukkan komitmen kami mengkontribusikan karya ilmiah buat masyarakat,” kata Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Uiversitas Brawijaya, Siti Chuzaemi, Jumat, 6 Mei 2011.
Kedelapan peneliti terdiri dari enam mahasiswa program S1 dan dua staf pengajar. Enam mahasiswa itu adalah Bonauli Ch. Siahaan, Mirza Hardani, Cokorda Javandira, Nyoman Agus Nova Udayana, Amin Zaenal Ma’arif, Ilhamza Hadijah. Sedangkan dua dosen adalah Sri Rahayu Utami dan Izmi Yulianah.
Mereka mendapatkan dana riset penelitian. Enam mahasiswa mendapatkan dana berkisar antara Rp 4 Juta – Rp 20 Juta, sedangkan dua dosen mendapatkan biaya riset hingga Rp 50 juta.
IRN adalah program penghargaan bagi peneliti unggul di bidang penganekaragaman pangan. Terdapat 10 komoditas yang menjadi perhatian utama IRN, yaitu kelapa sawit, jagung, pisang, singkong, ubi jalar, garut, sagu, susu, kentang, dan kedelai.
Tahun ini, IRN menyediakan dana riset sebagai penghargaan senilai Rp 1,25 Miliiar. Sebanyak 44 penelitian dinyatakan lolos dari 234 proposal yang masuk.
Nyoman, salah satu periset yang memenangi penghargaan dana Rp. 4, 7 menggunakan uangnya untuk meneliti edible film. Dia meneliti kemasan alami berbahan pati yang memiliki sejumlah keunggulan seperti mudah dicerna, mudah terurai jika dibuang serta larut dalam air. “Pemanfaatan kantong edible film ini merupakan alternatif pemakaian kemasan plastik dalam bumbu mie instan,” kata Nyoman.
CSR Manager Corporate Public Relations Division PT Indofood Sukses Makmur TBK, Deni Puspahadi, mengatakan program ini untuk mendorong peneliti kampus berkarya. “Memperkuat ketahanan pangan,” kata dia. [] RedHP/Temp