Meski sejumlah guru Jakarta Internasional School lapor ke polisi karena menganggap nama baik mereka dicemarkan, namun Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengharapkan kepolisian untuk tetap memprioritaskan laporan dugaan kekerasan seksual yang terjadi di sekolah itu.
Sebab menurut Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi, Minggu 15 Juni 2014, berdasarkan pasal 10 Undang-Undang Saksi dan Korban, baik saksi maupun korban tidak bisa dituntut atas kesaksian yang diberikannya.
Hal ini menjadi penting karena bisa menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia. Saksi dan korban akan ketakutan dan enggan melaporkan tindak pidana yang dialaminya, sehingga tujuan penegakan hukum tidak tercapai.
“Aparat penegak hukum jangan sampai dipergunakan pelaku untuk melemahkan posisi korban”, kata Edwin dalam siaran persnya.
Kepolisian, kata dia, harus fokus mengungkap dulu apakah benar ada guru JIS yang melakukan tindak pidana seperti yang dituduhkan. “Hal ini sesuai peraturan Kapolri juga,” kata dia.
DE orang tua korban pelecehan dan anaknya, kata Edwin, akan segera mendapat perlindungan dari LPSK.
“Tadi pagi mereka menyampaikan akan segera mengajukan permohonan perlindungan dan segera setelah permohonan dikabulkan, mekanisme sesuai pasal 10 ayat 1 UU Perlindungan Saksi dan Korban dapat diterapkan,” kata Edwin.
Dia juga mengharapkan JIS kooperatif, karena jika tidak maka akan menimbulkan dampak buruk bagi JIS sendiri.
Korban kekerasan seksual terhadap anak menjadi perhatian besar bagi LPSK karena dampaknya yang berkepanjangan. LPSK sebagai lembaga yang diamanatkan UU untuk melindungi hak-hak Saksi dan Korban akan memberikan perlindungan sesuai kebutuhan korban. “Termasuk melindungi korban dari tuntutan balik pihak JIS atau guru-gurunya,” kata dia.
Sebelumnya, guru-guru JIS melaporkan DE, orangtua murid JIS yang diduga menjadi korban kekerasan seksual, dengan tuduhan pencemaran nama baik. [] RedFj/VN