Tak mendapatkan respon cepat dari Wali Kota Samarinda tampaknya membuat Masdari menjadi geregetan. Pasalnya, rekomendasi yang ditujukan ke Wali Kota Samarinda dari lembaga di tempat ia mengabdi sudah melewati masa tenggat untuk mendapatkan jawaban.
Masdari adalah Asisten Bidang Penagwasan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Kalimantan Timur (Kaltim). Pada 7 April lalu, pihaknya mengirim surat rekomendasi terkait tindak lanjut dugaan pemalsuan berkas para peserta yang lolos seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) kategori 2 (K2).
Diungkapkan Masdari, rekomendasi tersebut adalah hasil dari investigasi yang dilakukan ORI terkait adanya laporan 327 berkas peserta CPNS K2 yang diduga bermasalah. Laporan tersebut diterima dari Forum Pemerhati Pembela Kebenaran.
Masdari menyebut, Wali Kota seakan menutupi permasalahan tersebut karena tak mengambil tindakan tegas. “Harusnya Wali Kota dan jajarannya belajar taat pada undang-undang. Sebagai pemimpin harus bisa bersikap tegas dan membuat tindakan konkret. Bila surat dari kami tak digubris, mungkin ORI akan menjatuhkan sanksi.Sebab kami telah memberi tenggat 14 hari untuk membalas surat, tapi tak digunakan,” kata dia.
Masdari mengaku tak menelusuri seluruh berkas yang terindikasi bermasalah. Hanya 80 persen berkas yang diperiksa. Dia membeberkan dari sampel yang diteliti, ada tujuh berkas yang dinyatakan melanggar dan masuk kategori berat.
“Untuk pelanggaran kategori sedang ada dua berkas. Sedangkan untuk kategori ringan, dari catatan kami ada 37 berkas,” ujarnya.
Pada kategori berat, pelanggaran terjadi karena adanya manipulasi surat keputusan (SK) dari kepala sekolah. Termasuk melakukan aktivitas di dunia politik yakni mencalonkan diri pada pemilu legislatif (pileg).
Sedangkan untuk kategori sedang, kata Masdari, pelanggaran berupa SK yang meragukan. “Sekolah yang kami datangi pun tidak mengenal yang bersangkutan pernah mengajar atau tidak. Itu sebabnya SK yang dipegang diragukan keasliannya,” kata Masdari.
Untuk kategori ringan, pelanggaran terjadi karena SK yang dikantongi dicetak sekaligus. Penyebabnya, kata dia, sebagian pegawai honorer ini tak menyadari pentingnya SK pengangkatan hingga buru-buru ketika mengurus.
Sementara Inspektur Inspektorat Daerah (Itda) Samarinda, Hermanus Barus mengatakan, masih melakukan verifikasi berkas CPNS K-2 bersama tim yang melibatkan Kejaksaan Negeri (Kejari) bagian Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun).
“Beberapa pelanggaran memang kami temukan. Ada juga yang menarik berkas, secara tidak langsung mereka mengakui telah melakukan kesalahan. Walau otomatis dianggap gugur, kami tetap memeriksa siapa, bagaimana, dan mengapa mereka melakukan pelanggaran. Nantinya bakal dijatuhkan sanksi untuk memberi efek jera,” kata dia.
Pria berkacamata ini juga mengatakan, hasil investigasi yang dilakukan ombudsman pun akan dipakai untuk mempermudah pekerjaannya. Namun ketika ditanya apa sanksi yang akan dijatuhkan bagi para honorer yang melakukan manipulasi, dia menggeleng menyatakan tak tahu. Dia mengatakan hal tersebut tergantung sikap yang bakal diambil Wali Kota.
Secara terpisah, Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Samarinda Aji Syarif Hidayatullah menegaskan tak tinggal diam menangani hal ini. Tim khusus dari berbagai unsur seperti Kejari dan Itda Samarinda pun dikerahkan untuk proses verifikasi.
“Terkait investigasi dari Ombudsman RI Perwakilan Kaltim, telah kami tanggapi dengan baik. Bahkan kami mengajak perwakilan ombudsman untuk ikut turun ke lapangan bersama tim,” ucap pria yang akrab disapa Dayat ini.
Dia mengatakan agar lebih efektif, empat tim akan dibentuk untuk memeriksa seluruh berkas dan bukti-bukti di setiap sekolah. Terkait surat investigasi CPNS K2 yang masih dicueki Wali Kota Samarinda, Dayat mengaku bakal mengingatkan.
Seleksi tenaga honorer ini memang menimbulkan polemik panjang. Sebelumnya ombudsman mendapatkan laporan dari Forum Pemerhati Pembela Kebenaran. Awalnya hanya 64 berkas yang diadukan bermasalah. Tapi jumlahnya bertambah 327 berkas dari laporan yang baru disampaikan.
Sayang, hasil investigasi ombudsman tak menarik perhatian Wali Kota Samarinda Syaharie Jaang, untuk mengambil sikap. Asisten Bidang Pengawasan ORI Perwakilan Kaltim Masdari pun mengaku kecewa karena surat yang dilayangkan sejak awal April lalu tak juga mendapat tanggapan.
Tentang verifikasi, Kepala Seksi (Kasi) Datun Kejari Samarinda M Sochib mengatakan, metode verifikasi diubah untuk mempercepat tahap verifikasi.
“Agar pemeriksaan berkas bisa mencakup secara keseluruhan. Tidak hanya berkas yang banyak dilaporkan, tapi secara keseluruhan,” ungkapnya.
Jika dengan alasan sekolah pernah mengalami musibah seperti kebakaran yang mengakibatkan beberapa berkas hilang, dikatakan Sochib harus ada rasionalisasi yang jelas.
“Harus dicarikan bukti yang lain. Mungkin menghadirkan guru senior atau ada surat kehilangan dari pihak kepolisian. Memang benar tidak bisa menghindari musibah, tapi tetap kami harus lakukan verifikasi,” paparnya.
Sementara terkait tudingan apatis yang dilayangkan, Wali Kota Syaharie Jaang mengklarifikasi.Dia menegaskan tak menutup mata terkait banyaknya berkas yang diduga dimanipulasi.
“Sudah ada BKD (Badan Kepegawaian Daerah) bersama timnya yang menyelesaikan masalah ini. Soal surat Ombudsman RI bukan saya abaikan. Hasil investigasi itu langsung kami tindak lanjuti,” jelas Jaang, kepada wartawan, awal Mei lalu.
Dia mengatakan bila memang terbukti melanggar, pemkot tentu akan memberi tindakan tegas. Sanksi pidana pun bisa saja dijatuhkan bila pelanggaran yang dilakukan sangat berat.
KASUS SERUPA
Di Sangatta, Kutai Timur (Kutim) kasus pemalsuan berkas peserta CPNS K2 juga menyeruak. Dugaan pemalsuan terungkap setelah Dinas Pendidikan (Disdik) Kutim mendapat laporan dari berbagai pihak.
Atas laporan ini, kemudian dibentuk tim verifikasi yang beranggotakan dari Disdik, BKD, dan Itda Kutim.
Kepala Disdik Kutim Iman Hidayat mengatakan, laporan tersebut awalnya diterima melalui telepon. Namun, untuk dapat menindaklanjuti perlu laporan resmi.
“Nah, setelah itu, baru satu persatu laporan masuk ke kami. Ada yang dalam bentuk surat resmi, ada yang datang langsung, ada juga yang dalam bentuk pesan singkat. Dari laporan yang masuk, ada 13 orang yang diduga menggunakan dokumen palsu,” papar Iman kepada media.
Dia menerangkan, beberapa dokumen yang dilaporkan palsu itu sebagian besar merupakan berkas catatan waktu pengabdian. Semisal, guru honorer tersebut mengabdi sejak 2005 dan dicantumkan dalam berkas, namun menurut laporan baru itu baru masuk tahun 2007 atau tahun di atasnya. Meski begitu, Disdik tidak dapat langsung menyatakan itu palsu sebelum ada pembuktian dengan menelusuri keaslian berkas itu.
“Ada kemungkinan guru itu pada 2005 mengenyam pendidikan di sekolah itu. Kemudian pindah ke sekolah lain. Karena baru pindah, jadi kemungkinan yang melapor tidak tahu,” paparnya.
Karena sebagian berkas dari ketigabelas guru ini masih dalam proses pendalaman, Iman mengaku tidak berani menandatangani dokumen tersebut. Bila ada guru yang tetap meminta mempercepat proses pemberkasan, maka Disdik membuat kebijakan untuk melampirkan surat pernyataan dari guru yang dilaporkan tersebut.
“Format surat pernyataan itu sudah ada. Jadi isinya, guru yang dilaporkan menyatakan secara tertulis bahwa dokumen yang dilegalisir itu dijamin kebenarannya. Apabila terbukti ada pemalsuan, maka siap menanggung sanksi pidana,” jelas Iman.
Setelah membuat syarat itu, lanjut dia, dari ke 13 guru honorer yang dilaporkan ada yang tidak mengembalikan berkas. Namun, dia masih enggan menyebutkan berapa guru yang tidak mengembalikan berkas itu dan nama-namanya. [] RedEks