Katanya saja e-prochurement menekan kolusi, ternyata tidak, justru lebih parah. Praktik culas lelang online ini terkuak di Kutai Kartanegara.
Pada 18 Maret lalu, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kutai Kartanegara (Kukar) mendapatkan Penghargaan Museum Rekor Indonesia (MURI). Award tersebut adalah ‘buah’ yang diterima Pemkab Kukar karena punya program Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) yang pada tahun lalu realisasinya sebanyak 1.000 unit rumah yang telah dibedah.
Sebuah penghargaan bergengsi yang patut dibanggakan. “Penghargaan dari MURI sangat membanggakan dan Kukar menjadi satu-satunya daerah yang mampu meraihnya melalui program bedah rumah 1.000 unit dalam setahun,” kata Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Kukar, Mursito melalui Kepala Bidang (Kabid) Kesejahteraan Sosial, Marmadi beberapa waktu lalu.
Pada 2014 ini, Pemkab Kukar kembali melanjutkan Program RTLH. Sistem kerjanya seperti yang sudah-sudah. Pemkab melalui Dinsos Kukar menyediakan material rumah dan pihak Komando Distrik Militer (Kodim) sebagai pelaksana kerjanya. Sayangnya, pada kegiatan penyediaan material bedah rumah ini sebuah masalah muncul ke permukaan.
Bau busuk menyeruak pada saat kegiatan lelang pengadaan berlangsung. Lelang yang digelar tahun ini, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Dilaksanakan secara online atau melalui electronic procurement (e-proc) di Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Pemkab Kukar. Siapa pun, calon rekanan dari mana pun bisa mengaksesnya di url: http://lpse.kutaikartanegarakab.go.id
Plafon anggaran pengadaan material itu adalah Rp 28.080.000.000,00 dengan perhitungan Harga Perkiraan Sementara (HPS) Rp 24.019.610.000,00. Sementara peserta lelang yang terlibat sebanyak 31 kontraktor dan yang benar-benar mengajukan penawaran harga hanya empat perusahaan.
Keempat perusahaan itu adalah PT Nadzif Putra dengan penawaran harga Rp 21.606.330.000,00. Lalu PT Surya Mega Jaya dengan penawaran Rp 23.039.603.000,00. Kemudian PT Mega Sanggah Buana dengan nilai penawaran Rp 23.165.338.000,00. Serta PT Batu Alam Jaya dengan harga yang ditawarkan Rp 23.295.606.000,00.
Meski nilai penawarannya bukan yang terendah, namun PT Surya Mega Jaya, perusahaan yang beralamat di Jl. Sukmawira No. 31 RT.10, RW.18 Kelurahan Baru, Tenggarong, Kukar ini dinyatakan menjadi pemenang dan hingga 22 Juni nanti dijadwalkan sudah tanda tangan kontrak.
Sedangkan PT Nadzif Putra dinyatakan gugur oleh panitia lelang karena alasan spesifikasi barang tidak sesuai dengan yang dipersyaratkan dalam dokumen lelang dan surat dukungan distributor dan toko material tidak sesuai. Lalu PT Mega Sanggah Buana dan PT Batu Alam Jaya, gugur karena tak melampirkan banyak dokumen yang dipersyaratkan, termasuk dokumen surat dukungan dari distributor.
Praktik lelang semacam itu seolah berjalan tanpa ada unsur rekayasa, padahal celah manipulasinya banyak. Setidaknya itu yang diyakini nara sumber media ini yang turut ikut dalam proses lelang tersebut. Nara sumber yang identitasnya tak ingin disebut itu mengungkapkan, lelang tersebut sudah dikondisikan dan pemenang lelang sudah ditentukan.
Kok bisa? Itu karena sejumlah persyaratan masuk ke Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kukar dianggap memberatkan kontraktor lainnya. Oleh karena itu, dari 31 kontraktor yang mendaftar, hanya empat perusahaan yang bersusah payah membuat penawaran. Dari empat perusahaan itu pun, hanya satu perusahaan yang memenuhi syarat mengajukan penawaran.
“Semula kami ingin ikut lelang proyek itu. Tapi ketika mengikuti lelang e-Procurement, banyak poin-poin memberatkan. Semua persyaratannya aneh dan mustahil,” jelas salah seorang pengusaha yang mengaku ikut dalam lelang itu kepada wartawan.
Sejumlah syarat dibuat dalam dokumen pelelangan tertulis itu, antara lain perusahaannya harus memiliki nilai investasi seluruhnya, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha sekitar Rp 3 miliar. Juga memiliki kemampuan keuangan atau saldo rekening sedikitnya Rp 3,5 miliar. Itu dibuktikan dengan rekening koran 2 bulan terakhir, sampai saat pembuktian kualifikasi.
“Kami yakin pengusaha atau kontraktor tidak ada mau mengendapkan saldo rekening perusahaannya sebanyak Rp 3,5 miliar itu. Karena dengan uang sebanyak itu lebih baik diinvetasikan kepada dua atau tiga proyek lainnya, selama tiga bulanan,” katanya lagi.
Hal lain dikeluhkan adalah melampirkan surat dukungan distributor untuk barang nomor 7, berupa papan pengganti kayu buatan pabrikan atau maksud panitia setara dengan Prima Plank, dengan spesifikasi ukuran 8 milimeter x 20 centimeter x 360 centimeter, itu merupakan produk impor dari Malaysia, dengan distributor PT Global Indonesia Asia Sejahtera.
“Kami juga sudah melakukan survei spesifikasi atas yang diwajibkan itu, ternyata tidak ada pesaing selain produk Malaysia terkait. Meskipun ada beberapa merk lain, tapi spesifikasinya tidak sesuai dipersyaratkan panitia,” tambah kontraktor ini.
Kemudian dari penelusuran dilakukannya, dengan menemui distributor utama atau tunggal untuk pengadaan barang ini, ternyata PT Global Cabang Samarinda beralamat di pergudangan pada 15 April 2014, tidak bisa memberikan surat dukungan. Alasannya, dari manajemen PT Global di Jakarta ataupun di Samarinda, tidak bisa memberikan dukungan material terkecuali setelah 16 April.
“Artinya dalam masa lelang tersebut, surat dukungan untuk kami sudah diblok kontraktor tertentu,” kata pria tersebut.
Kemudian dari pengecekan, lanjut dia, jelas lelang sudah dikondiskan instansi terkait dan panitia pelelangan di Unit Layanan Pengadaan (ULP). Karena persyaratan terkesan mengada-ada dan bertentangan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 70 Tahun 2012 dan terkait spesifikasi barang, juga mengarah merek tertentu. “Itu tercakup pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Praktik Monopoli,” ujarnya.
Karena itulah kondisi tersebut, agar dibenahi pihak terkait. Masalah tersebut dibeber ke media, katanya lagi, tak lain agar panitia lelang proyek pengadaan di Kukar bisa profesional.
“Kasihan bupati jika pekerjaan jajarannya seperti ini. Kan maksud proyek bedah rumah itu sangat mulia, menolong rakyat tidak mampu. Tapi jangan sampai disalahgunakan pihak terkait,” ucapnya.
Sedangkan menurut Kepala ULP Kukar, Pakhruddin, dijelaskan pembuat syarat lelang adalah Pokja, yakni Dinas Sosial selaku instansi terkait kegiatan lelang proyek itu. “Bukan kami membuat persyatan itu. Kami memasukan data ke lelang e-proc sesuai permintaan instansi terkait,” ujar Pakhruddin.
Menurut Pakhrudin, sebenarnya dalam lelang itu, ada masa sanggah. Kalau keberatan dengan syarat yang diajukan, maka bisa disampaikan. Kalau sanggahannya diterima, lelang pasti dilaksanakan ulang. “Nanti dalam masa sanggah ini dari pihak kami yang banding atau kontraktor yang banding,” jelasnya.
Secara terpisah, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) pengadaan material bedah rumah dari Dinsos Kukar, Gamal mengatakan, yang membuat persyaratan lelang adalah Pokja ULP, dirinya hanya menerima dokumen, dan mulai bekerja pun setelah pemenang lelang ditetapkan. “Jadi saya tak dilibatkan dalam pembuat persyaratan itu,” ujarnya.
Lebih jauh, kata dia, dari Pokja ULP hanya berkoordinasi dengan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Dinsos. “Yang membuat syarat dan poin-poin kelengkapan dokumen yang wajib dilampirkan oleh kontraktor adalah PPK dan Pokja ULP ini,” tuturnya.
Sementara Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Sunarko yang juga Kepala Bidang (Kabid) Program di Dinas Sosial (Dinsos) Kukar itu menolak jika pengadaan material bedah rumah di kawasan Mahakam Tengah itu terkesan disetir pihak tertentu.
“Semua pengadaan barang sudah mengacu Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Lembaga ini mengeluarkan aturan hukum serta sertifikasi panitia,” ungkapnya.
Sunarko malah mengaku tak tahu soal kabar pengedapan uang sebesar Rp 3,5 miliar yang disebut sebagai syarat. “Saya tak tahu persyaratan itu. Saya baru dengar,” sebutnya.
Dikatakannya, sesuai aturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), kontraktor yang menang lelang cukup menjaminkan 5 persen dari nilai kontrak. Jika dihitung-hitung, dari Rp 2,8 miliar hanya Rp 140 juta yang menjadi jaminan.
“Sebagai jaminan jika kontraktor tak 100 persen menyelesaikan proyek. Jika pekerjaan rampung, jaminan dikembalikan,” jelasnya.
Tentang barang impor dengan spesifikasi tertentu yang hanya didapat dari satu penyedia, Sunarko juga membantah. Dia membenarkan ada barang impor yang digunakan dalam proyek tetapi hanya 30 persen. Dengan demikian, barang lokal tetap dilindungi.
“Bisa saja ada barang impor tapi kandungan yang lebih banyak harus barang lokal. Barang yang diusulkan untuk pengadaan ini pun tak harus satu-satunya. Kami memberikan dua-tiga pilihan,” bebernya.
Dia menyebutkan, pagu anggaran bedah rumah mengacu pada pekerjaan tahun lalu. Lagi pula, harga material sewaktu-waktu dapat berubah. “Tugas saya hanya membuatkan draf kontrak dan draf perjanjian. Yang terpenting, kontraktor punya pengalaman sebelumnya,” kata dia.
CELAH KOLUSI
Sementara itu, Wakil Ketua Lembaga Investigasi dan Pemberantasan Praktik Rasuah (LIBAS) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Kukar, Dedi Irawan, mengungkapkan, adanya kolusi di e-proc sebenarnya sudah menjadi rahasia umum di kalangan kontraktor.
“Kalau ada yang bilang e-proc itu lebih baik, saya kira itu benar. Tetapi bukan berarti tidak ada celah manipulasi dan kolusi. Kalau dulu, lelang konvensional, pengaturan bukan saja di level panitia pengadaan, tetapi juga di kalangan kontraktor dan asosiasinya,” kata Dedi Irawan.
Kelebihan e-proc, kata Dedi, pertama, peserta lelang dari mana pun, sepanjang terdaftar di LPSE, bisa ikut andil dalam lelang. “Kalau lelang konvensional kan, umumnya daftar langsung ke panitia, kalau tidak direkturnya, orang lain yang diberi kuasa. Sekarang tidak. Perusahaan dari Aceh atau Irian Jaya juga bisa ikut lelang di Kukar,” kata Dedi.
Dengan sistem online itu, lanjut Dedi, pengadaan dilakukan secara murah dan lebih terbuka. Murah karena dokumen lelang tidak perlu membeli. “Kalau konvensional, kalau daftar kita akan diberikan dokumen lelang. Dokumen lelang itu kita beli. Kalau di e-proc, tinggal download saja berkasnya,” ungkap Dedi.
Lebih terbuka, kata dia, karena siapa pun bisa mengakses. Tapi kalau mau ikut dan mendaftar lelang terlebih dahulu harus punya akun di LPSE dengan mendaftarkan perusahaannya. Bagi yang perusahaan yang sudah terdaftar, di beberapa tahapan lelang, cukup mengikutinya dengan jarak jauh, seperti pendaftaran, penjelasan lelang, pengajuan penawaran dan sanggahan. “Di sini ada transparansi, meskipun masih setengah hati,” kata Dedi.
Kok bisa setengah hati? Karena masih ada yang ditutup-tutupi. Masyarakat umum itu bisa mengakses semua informasi lelang, pemenang lelang, alamat rekanan pemenang hingga nilai penawaran yang dimenangkan kontraktor.
“Tetapi dalam hal dokumen lelang dan spesifikasi teknis, masyarakat umum tidak bisa mengakses. Hanya yang terdaftar di LPSE dan terdaftar di lelang saja yang bisa mendownload dokumen lelang. Itu pun kalau metode lelangnya pasca kualifikasi, kalau pra kualifikasi, hanya dokumen lelang yang bisa didapat, spek teknisnya kita tidak bisa akses,” papar Dedi.
Karena itu, pihaknya akan mendesak LKPP untuk membuka selebar-lebarnya keran transparansi, dengan mengirim surat resmi agar dokumen lelang dan spesifikasi teknis pekerjaan yang dilelangkan dapat dibukan secara publik. Sementara sekarang ini, masyarakat umum hanya dapat mengakses pengumuman lelang, peserta lelang, harga penawaran dan pemenang.
“Saya kira dokumen lelang dan dokumen spesifikasi teknis itu bukan rahasia yang tidak boleh dibuka, seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Nah, kalau dokumen penawaran lelang, memang harus rahasia. Tetapi dalam E-Proc itu sudah terenskripsi kuat dengan aplikasi pengaman Apendo. Jadi siapa pun tidak bisa membuka, kecuali panitia lelang dan pada waktunya,” urai Dedi.
Lalu dimana celah terjadi kecurangannya? Pertama dalam penetapan persyaratan kualifikasi pengajuan penawaran lelang. Karena dengan persyaratan kualifikasi, biarpun penawarannya sangat rendah, kalau tidak lolos, ya tidak akan bisa menang. Penawarannya digugurkan oleh panitia lelang.
“Dalam kasus ini, sepertinya sama dengan yang terjadi pada lelang pengadaan material bedah rumah. Syaratnya aneh-aneh yang menyulitkan rekanan lain untuk lolos kualifikasi,” kata Dedi Irawan.
Lalu bagaimana dengan kontraktor yang bisa lolos kualifikasi? Itu permainan yang gampang bagi panitia, kata Dedi. Pertama, sebelum lelang diumumkan, oknum panitia atau oknum yang bisa mempengaruhi panitia, mencari kontraktor yang bisa memberikan keuntungan, misalnya setoran uang di muka.
Kedua, jika calon rekanan yang siap berkomitmen sudah ditemukan, selanjutnya oknum panitia lelang akan membocorkan persyaratan kualifikasi sebelum waktunya. “Jadi syarat-syarat kualifikasi diberitahu dulu, diminta untuk mengurus secepatnya. Misalnya Surat Dukungan dari Distributor Resmi, ini tidak mudah didapat. Satu perusahaan distributor resmi, sangat jarang mau memberikan surat dukungan lebih dari satu. Dan bisa saja, kebijakan distributor resmi dikunci dengan kesepakatan tertentu,” papar Dedi.
Ketiga, lanjut dia, adalah dengan memainkan waktu pengumuman lelang. Umumnya pendaftaran lelang dibuka sepekan, ada yang dua minggu, tapi ada juga yang cuma tiga atau empat hari.
“Di sini tentu akan menyulitkan pengusaha yang ingin ikut lelang. Solusinya, LKPP harus membuka satu layanan di LPSE, berupa pesan berlangganan tentang pengumuman lelang baru,” ujar Dedi.
Lantas bagaimana cara mengetahui praktik kolusi pengkondisian pemenang lelang? Menurut Dedi, sangat gampang, tetapi perlu keberanian untuk melakukan investigasi bagi masyarakat umum dan perlu political will bagi aparat penegak hukum untuk mengungkap.
“Setiap proyek yang dilakukan pengkondisian pemenangnya, umumnya ada unsur penggelembungan harga alias mark up. Seperti halnya pada kegiatan pengadaan material bedah rumah, saya yakin ada yang ganjil di situ. Harga material terlalu tinggi. Seandainya kita diberikan keleluasaan untuk memeriksa, saya yakin bisa temukan indikasi mark up,” ungkap Dedi meyakini.
Seperti diberitakan di sejumlah media, bersumber dari Dinsos Kukar, untuk membiayai program bedah rumah tahun 2013, Pemkab Kukar telah mengalokasikan dana APBD Rp 75 miliar untuk rehabilitasi 1.000 unit RTLH.
Anggaran rehabilitasi tiap rumah di wilayah Mahakam Hulu, Tengah dan Pesisir berbeda. Kawasan Mahakam Hulu dianggarkan Rp 90 juta per rumah, wilayah Tengah Rp 70 juta per rumah dan wilayah Pesisir Rp 75 juta per rumah. [] RedEks