OJK lahir dengan dianugerahi kekuatan super. Seluruh otoritas Bapepam-LK dan sebagian kewenangan BI jadi miliknya. Bahkan lembaga keuangan dan pembiayaan kecil di pelosok desa yang selama ini tak tersentuh pun masuk radar OJK. Termasuk di Kutai Kartanegara.
Oleh Hadi Purnomo
TERBITNYA Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melahirkan sebuah lembaga independen yang mengambil seluruh peran Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) di bawah Kementerian Keuangan dan sebagian tugas wewenang Bank Indonesia (BI).
Kemunculan OJK memberi harapan besar akan lahirnya sebuah lembaga yang bukan saja mampu mengatur dan mengawasi, tetapi juga bisa menjadi lembaga pembina bagi keberlangsungan industri jasa keuangan dan perbankan. Perannya diyakini bisa turut memperbaiki perekonomian masyarakat di negeri ini.
Meski berdirinya didasarkan pada aturan yang terbit pada 2011, namun baru pada 31 Desember 2012, OJK resmi diserahi kekuasaan. Ditandai dengan pengalihan seluruh wewenang Bapepam-LK ke OJK, yakni terkait regulasi dan pengawasan kegaitan jasa keuangan di sektor pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan. OJK juga baru sah memperoleh sebagian kewenangan BI dalam hal pengaturan dan kontrol perbankan sejak 31 Desember 2013 lalu.
Itu artinya belum banyak yang telah dilakukan OJK, termasuk soal pengaturan, pengawasan hingga pembinaan lembaga-lembaga keuangan dan pembiayaan yang ada di pelosok desa. Padahal menurut UU No. 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM), lembaga-lembaga tersebut masuk dalam ‘radar’ OJK.
Sementara yang termasuk LKM adalah lembaga-lembaga yang selama ini kurang sekali mendapatkan pengawasan dan pembinaan, seperti lembaga pembiayaan dan perkreditan di tingkat desa dan kecamatan. Di tahun 2014 ini, semua lembaga tersebut sudah harus mendapatkan izin dari OJK. Tahun depan, jika operasinya ilegal, maka ancamannya pidana.
OJK sendiri kini baru mempersiapkan tiga peraturan pelaksana terkait LKM, yakni tentang perizinan usaha dan kelembagaan LKM, soal penyelenggaraan usaha LKM serta terkait pembinaan dan pengawasan LKM. Selain itu, OJK juga tengah menginventarisasi dan membangun database seluruh LKM yang ada di Indonesia.
Berat sekali tugas OJK. Jangankan mengawasi dan membina, mendata LKM saja bukan persoalan mudah, dibutuhkan anggaran super besar. Terlebih dari data yang selama ini dihimpun pemerintah, masih simpang siur.
Bahkan dalam sebuah keterangan pers awal Juni lalu, Direktur Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan Lain OJK M. Ihsanuddin bahkan mengungkapkan sulitnya menginvetarisasi jumlah LKM di republik ini. Sementara ini datanya simpang siur.
Berdasarkan uraian naskah akademis Rancangan Undang-Undang tentang LKM inisiatif DPR yang pernah diperoleh pihak OJK, jumlah LKM di Indonesia mencapai 637.838. Sementara sumber lain dari berbagai kementerian tercatat ada lebih dari 90.000 LKM.
Kenyataan tersebut sekaligus menjadi indikasi bahwa LKM selama ini tak mendapatkan perhatian penuh, jangankan diawasi dan dibina, mengidentifikasi keberadaannya pun minim dilakukan. Itu lah yang terjadi di daerah-daerah.
Berkaca terhadap LKM yang tumbuh di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim). Ada banyak lembaga jasa keuangan tingkat akar rumput yang modalnya didukung pemerintah, tapi tak berjalan baik, bahkan tak survive.
Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Kukar Tahun Anggaran 2012, sejak tahun 2001, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kukar membuat program Kredit Usaha Kecil Pedesaan (KUKP).
KUKP direalisasikan di setiap desa dengan bentuk Lembaga Perkreditan Desa (LPD). Pemkab mengucurkan dana segar ke masing-masing LPD dimana uang tersebut digulirkan dengan tujuan membantu pengembangan usaha masyarakat berupa kredit lunak. Sayangnya, kredit macet justru terjadi.
Untuk realisasi KUKP tahun anggaran 2001-2002, Pemkab Kukar mengucurkan Rp 116,13 miliar, sementara hingga tahun 2012 kredit yang disalurkan yang tak mungkin dapat ditagih senilai Rp 88,2 miliar lebih. Pada tahun anggaran 2006, KUKP kembali dijalankan dengan nilai anggaran Rp. 76,7 miliar. Parahnya, kredit macet kembali terjadi dan uang yang diyakini tak dapat ditagih lagi mencapai Rp 26,6 miliar lebih.
Pada tahun 2012, Pemkab Kukar punya program baru terkait pinjaman lunak untuk usaha rakyat ini. Penyalurannya dikhususkan pada usaha-usaha yang dijalankan kaum hawa. Melalui Kelompok Usaha Bersama Perempuan (KUBP) yang dibentuk di tingkat desa dan kelurahan, Pemkab menyalurkan dana segar berupa hibah senilai Rp 32,19 miliar.
Di tahun tersebut, ada sebanyak 430 KUBP yang mendapatkan kucuran dana dari Pemkab. Uang itu digulirkan ke masing-masing usaha yang dikelola perempuan berupa kredit lunak. Masing-masing KUBP mendapatkan modal hingga ratusan juta.
Berjalan mulus kah program KUBP? Menurut penilaian tim auditor BPK, penyaluran KUBP tak sesuai dengan substansi yang dibiayai. Bahkan, kerja KUBP untuk menggulirkan kredit lunak, disebut-sebut tak dibarengi dengan pengawasan dan pembinaan yang ketat dan berkesinambungan. Sehingga, selain berdampak pada penyalurannya yang tak tepat sasaran juga menyebabkan kredit macet, uang itu hilang sia-sia tak bergulir seperti program KUKP.
Meski demikian, Pemkab Kukar tetap melanjutkan program tersebut. Berdasar dokumen Rencana Kerja Anggaran (RKA) Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kukar, di tahun 2014 ini telah dianggarkan dana puluhan miliar rupiah bagi ratusan KUBP yang tersebar di desa dan kelurahan se-Kukar.
Seiring terbitnya UU No. 1/2013 tentang LKM, OJK memiliki kendali penuh atas keberadaan dan operasional lembaga-lembaga keuangan di daerah ini. Berdasarkan amanah peraturan tersebut, di tahun 2015, LPD dan KUBP di Kukar setidaknya harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari OJK sebelum menjalankan kegiatan meminjamkan uang. []