Eskalasi Ganjil Harga Kontrak Feri

KMP Bili, salah satu feri milik PT ASDP Persero yang dikontrak untuk melayani penyeberangan di Tenggarong pasca runtuhnya Jembatan Kukar. Pembiayaan feri ini disebut tak memiliki dasar hukum.

Ada yang janggal dalam pengadaan jasa feri penyeberangan pasca runtuhnya Jembatan Mahakam II. Sudah tak ditender, tiap tahun ada eskalasi harga dengan nilainya mengejutkan.

Tragedi ambruknya Jembatan Mahakam II di Tenggarong, Kutai Kartanegara (Kukar) pada 26 November 2011 silam memberi pengaruh terhadap aktivitas perekonomian masyarakat. Jembatan tersebut adalah jalur alternatif terdekat penghubung Tenggarong-Samarinda.

Sebab itu, pasca runtuhnya jembatan, ferry penyeberangan tradisional laris manis, baik yang mengangkut kendaraan roda dua maupun roda empat. Karena dinilai vital, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kukar membuat terobosan dengan menyediakan jasa penyeberangan gratis dengan feri penyeberangan modern.

Rencana awalnya, pengadaan feri penyeberangan gratis tersebut akan dilakukan sampai pembangunan jembatan yang ambruk selesai. Akhirnya, pada awal Desember 2011, dua unit feri didatangkan dari PT Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry (Persero) dan beroperasi melayani pengguna kendaraan bermotor yang menyeberang.

Lokasi dermaganya, untuk sisi Tenggarong, tepat di seberang Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kukar. Sementara sisi Tenggarong Seberang, berada di Desa Loa Lepu. Untuk mempersiapkan lokasi, ponton dermaga, dan lain-lainnya, Pemkab Kukar telah mengucurkan dana miliaran rupiah.

Sementara kedua yang dioperasikan itu adalah Kapal Motor Penumpang (KMP) Bili, berkapasitas 14 roda empat, 40 roda dua dan 200 penumpang. Lalu KMP Kerapu berkapasitas 16 roda empat, 50 roda dua dan 200 penumpang. Di awal pengoperasiannya, kedua feri ini melayani penyeberangan puluhan perjalanan atau trip per harinya.

Pada tahun anggaran 2012, sebesar Rp 13.961.275.186 dihabiskan untuk penyediaan pengangkutan melalui KMP itu. Dalam kontraknya, dalam satu hari masing-masing KMP harus mengangkut 26 trip.

Pada 2013, ada kenaikan bahan bakar minyak dan dilakukan penambahan trip menjadi 30 dan membuat nilai kontrak juga naik menjadi Rp 18.490.808.305. Pada tahun 2014, kontrak kedua feri menembus angka Rp 22 miliar. Penyebabnya, karena biaya operasional kapal baik perawatan dan lainnya mengalami kenaikan. Serta ada kenaikan harga bahan bakar minyak di pengujung tahun.

Sementara tahun 2015 ini, sejak 1 Januari volume trip bertambah menjadi 36 trip. Sehingga menyebabkan nilai kontrak feri naik jadi Rp 25 miliar. Namun dalam realisasinya terlebih dahulu diaudit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Hal tersebut seperti diungkapkan Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Kukar, Marsidik melalui Kepala Seksi Lalu Lintas Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (LLASDP) Suminto.

Dengan 36 trip, KMP Bili dan Kerapu melayani penyeberangan dari dermaga Tenggarong ke Tenggarong Seberang sampai jam 18.00 Wita. Sebelumnya, dengan 30 trip, kedua feri hanya beroperasi sampai pukul 16.00 Wita.

Terkait pembayaran operasional KMP itu, uang yang dibayar ke pihak PT ASDP Indonesia Ferry berasal dari anggaran Pemkab Kukar dan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan. Berdasarkan pantauan media ini, sistem pembayarannya adalah sharing ‘belah semangka’ yang dituangkan dalam Memorandum of Understanding atau nota kesepahaman, diteken pada 2011 dan 2013.

Terkait eskalasi harga yang terjadi tiap tahun, Ketua Laskar Anti Korupsi Indonesia (LAKI) Kukar, Deni Ruslan menilai, kenaikan kontrak tersebut tidak rasional. Ia menduga, ada praktik mark up atau penggelembungan harga dalam kontrak sejak 2012 lalu.

Menurut dia, Pemkab Kukar lebih baik membeli kapal feri sendiri, meski bekas. Apalagi harga kapal feri tidak semahal nilai kontrak. Setelah jembatan jadi, bisa dialihkan atau dijual. “Bisa juga dijadikan opsi lain bagi masyarakat yang ingin menyeberang. Kalau beli kapal feri sendiri, bisa jadi aset pemkab,” jelasnya.

Senada dengan pihak LAKI Kukar, Fatahudin selaku Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Masyarakat Pro Pembangunan (MAPPAN) Kukar, menyangsikan bahwa nilai kontrak yang telah dibuat itu wajar. “Dalam tiga tahun habis Rp 54 miliar, belum di tahun ini. Itu nilai yang luar biasa besar,” kata Fatahuddin.

Dengan melihat nilai kontrak per tahun, lanjut Fatahudin, sebenarnya ongkos menyeberangkan mobil dan motor melalui feri milik PT ASDP itu jauh lebih mahal dibanding ongkos menyeberangkan melalui feri tradisional.

“Kalau melihat volume trip per tahun dan nilai kontrak, kita bisa menghemat ratusan juta, jika memakai feri tradisional. Seandainya kontraknya dengan feri tradisional, maka masyarakat lokal jauh lebih diuntungkan,” papar Fatahuddin.

Dari sisi keamanan, memang feri tradisional relatif lebih beresiko, namun kata dia, jika pemerintah aktif melakukan pengawasan dan perangkat serta prosedur keselamatan dan keamanan dipenuhi, resiko tentu akan dapat ditekan. “Tinggal pengawasan dan pembinaannya,” kata dia.

Namun karena tahun 2015 merupakan kontrak terakhir dan operasional feri telah berjalan sejak 1 Januari dengan bertugas melayani penyeberangan sebanyak 36 trip per harinya, Fatahuddin menyebut, sudah tidak mungkin dirubah.

“Sekarang yang kita lakukan adalah mengawasi dan memeriksa, apakah kontrak beserta realisasi pekerjaan dan pembayarannya sudah sesuai peraturan atau tidak. Apakah di dalamnya ada unsur korupsi dan kolusi atau tidak. Itu yang harus kita cari. Bagaimanapun uang rakyat, uang negara harus diselamatkan,” papar Fatahuddin.

Ada beberapa yang menjadi catatannya terkait kontrak feri milik PT ASDP ini, pertama, kontrak dilakukan tidak dengan sistem lelang. “Karena tidak melalui lelang, maka pihak PT ASDP bisa saja menaikkan harga seenaknya, dengan alasan yang bisa dibuat-buat. Kalau dilelang, ada tawar menawar harga,” ujar Fatahuddin.

Menurut dia, di Indonesia perusahaan jasa penyeberangan laut, sungai dan danau cukup banyak. Selain PT ASDP, ada PT Dharma Lautan Utama dan PT Jemla Ferry. “Bahkan kualitas layanan jasa swasta terbilang lebih baik. Pada tahun 2013, diberikan penghargaan dari Kementerian Perhubungan, PT ASDP hanya mendapat peringkat ketiga. Sementara PT Dharma dan PT Jemla di posisi pertama dan kedua,” ungkap Fatahuddin.

Catatan lainnya, lanjut dia, adalah anggaran yang dikeluarkan Pemkab Kukar untuk membayar sewa feri, sewa dermaga dan segala hal terkait penyeberangan. “Kita sangat sulit mencari informasi berapa total yang dihabiskan Pemkab Kukar untuk memenuhi layanan penyeberangan ini. Yang saya tahu, ada item-item lain, seperti sewa ponton, lahan, dan persiapan dermaga yang kesemuanya tidak melalui lelang,” ujar Fatahuddin.

Jika semua pengadaan jasa sewa dan pembangunan dilakukan tidak melalui lelang, maka rentan terjadi penggelembungan harga serta kolusi. “Kalau alasannya mendesak karena jembatan runtuh, tentu tidak tepat untuk tidak melelang. Karena ini tiap tahun terus berjalan,” kata Fatahuddin.

Soal pembayaran, dia juga menggaris bawahi soap banyaknya trip yang telah dilakukan. “Siapa yang menghitung dan mengawasi kalau jumlah tripnya sesuai? Apa buktinya? Kalau catatan dari Dishub, tentu bisa dimanipulasi. Misalnya bukti tiket dari pengguna, ini bisa digunakan. Tetapi kan tidak ada. Jadi rawan diselewengkan,” sebut Fatahuddin.

Catatan terakhir adalah soal dasar hukum. Menurut mantan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) ini, pengucuran dana untuk sewa feri PT ASDP tidak ada dasar hukumnya. “Kalau hibah, maka harus ada usulan yang diajukan. Kalau subsidi, berarti tidak semua digratiskan. Ini yang punya mobil, orang kaya juga bayar. Bukan subsidi namanya,” tandasnya.

Dikatakan Fatahuddin, selama ini, pihak Pemkab Kukar selalu beralasan, untuk kepentingan masyarakat, tetapi masyarakatnya tidak jelas. “Siapa yang bisa menjamin bahwa yang menumpang di feri tersebut masyarakat Kukar semua? Siapa yang menjamin bahwa yang menggunakan jasa feri itu kalangan tidak mampu?” paparnya.

Menurut Fatahuddin, sebenarnya yang paling menikmati keberadaan feri modern itu adalah kalangan berduit, pemilik roda empat. “Mestinya prioritas gratis diberikan kepada kendaraan roda dua, untuk roda empat ditarik bayaran,” kata dia.

Berdasarkan catatan tersebut, Fatahuddin menilai bahwa dalam pengadaan jasa penyeberangan modern tersebut mengandung unsur melawan hukum dan merugikan negara dan patut diselidiki pihak berwajib. Terlebih pada penganggaran tahun 2012, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan kelebihan pembayaran.

“Yang tak kalah pentingnya, dalam realisasi pembayaran kontrak di tahun 2015 harus diawasi secara ketat, karena jembatan dipastikan rampung tahun ini. Kalau uang Rp 25 miliar itu habis semua, patut dipertanyakan,” tandasnya.

Di lain pihak, Bupati Kukar Rita Widyasari menanggapi tudingan yang disampaikan pihak LAKI Kukar. Ia menegaskan, pengadaan kapal feri juga bukan kebutuhan utama di Kukar. Menurut, Rita pascaruntuhnya Jembatan Kartanegara, keadaan begitu mendesak untuk mengangkut kendaraan menyeberangi Sungai Mahakam.

Kementerian Perhubungan lantas menawarkan jasa transportasi tersebut, dengan biaya sharing 50:50, dan Bupati Kukar pun menyepakatinya. “Kami harus mengiyakan untuk meringankan beban. Itu harga dari Kementerian Perhubungan. Jadi yang dinilai mark up itu yang mana?” kata Rita.

Ia pun menegaskan Kukar tidak perlu membeli kapal feri. Sebab, apabila jembatan sudah jadi, maka penggunaan kapal feri diprediksi akan berkurang. Pertimbangan lain, Pemkab Kukar bakal dibebani biaya perawatan apabila membeli kapal penyeberangan tersebut. “Saya sebenarnya butuh helikopter. Tapi saya tidak beli karena tidak semua masyarakat merasakan manfaat helikopter,” lanjutnya.

Terpisah, Wakil Ketua DPRD Kukar Rudiansyah mendukung upaya kritis yang dilakukan masyarakat terkait pengadaan jasa penyeberangan tersebut. Ketua Gerindra Kukar ini berharap ormas anti rasuah tersebut dapat menyajikan data konkret. “DPRD Kukar siap membahas masalah ini,” Rudi.

Ia menambahkan, apabila benar ada temuan tersebut, inspektorat daerah harus melakukan pemeriksaan. “Jangan rampok uang rakyat Kukar dengan kongkalikong antara instansi dan kontraktor. Membeli kapal feri itu mubazir. Apalagi jembatan dalam waktu dekat bakal rampung,” tegasnya.

KELEBIHAN BAYAR

Sementara itu, Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Kukar Marsidik menyebutkan, kenaikan kontrak tidak sampai 100 persen. Menurutnya, nilai kontrak bukan perkara sepele. Sebelum meneken kontrak, nilainya tersebut harus diaudit terlebih dahulu. “Bahkan gemuk (pelumas, red) saja diaudit per liternya,” ucapnya.

Soal temuan BPK, Marsidik menjelaskan, kelebihan pembayaran operasional sebesar Rp 757 juta, sudah lama dikembalikan. “Kelebihan pembayaran itu sudah kami setorkan ke kas negara. Lama sudah dikembalikan sebelum penilaian WTP,” jelasnya.

Untuk diketahui, kelebihan pembayaran itu timbul dari dana Rp 973 juta yang dibayarkan Pemkab Kukar kepada PT ASDP. Dari dana tersebut ASDP hanya membayarkan kepada PT Jasa Raharja Putera sebesar Rp 216 juta, sehingga terdapat kelebihan pembayaran Rp 757 juta kepada PT ASDP. Kelebihan pembayaran itu diketahui setelah diaudit BPK.

Salah satu unsur biaya operasional angkutan penyeberangan yang terdapat dalam surat perjanjian adalah asuransi tanggung jawab pengangkut, PT ASDP. Dalam laporan hasil audit BPKP, biaya asuransi tanggung jawab pengangkut sebesar Rp 1.947.660.000. Dari biaya tersebut beban Pemkab Kukar 50 persen atau sebesar Rp 973.830.000 dan beban Kementerian Perhubungan 50 persen.

Menurut Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK terkait kelebihan pembayaran tersebut, kepala BPKAD menerbitkan Surat Nomor 900/709/Bid.I.II/BPKAD/IV/2013 tertanggal 18 April 2013 kepada pimpinan ASDP perihal pengembalian kelebihan pembayaran biaya tanggung jawab pengangkut sebesar Rp 757.587.187.

BPKAD menjelaskan, Dishub membayar biaya operasional kapal feri kepada ASDP pada 21 Desember 2012, sebelum diaudit oleh BPKP. Audit BPKP dilaporkan pada 22 Maret 2013. Sementara LHP-BPKP baru diterima April 2013.

Pihak Dishub Kukar memang mengklaim sudah mengembalikan kelebihan pembayaran Rp 757 juta ke kas daerah, dari asuransi yang dibayarkan PT ASDP kepada PT Jasa Raharja Putera. Namun Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Taufan Hidayat, kepada wartawan, mengaku tidak tahu dengan kelebihan pembayaran itu.

“Saya tak pernah dengar, saya rasa kontrak feri belum pernah ada masalah, tapi untuk memastikan laporan selisih bayar itu bisa dicek ke inspektorat,” ungkapnya.

Taufan sebelum di BPKAD juga pernah menjabat kepala inspektorat Kukar pada 2013 lalu, anehnya kelebihan pembayaran ini sama sekali tak diketahuinya, begitu pun ketika media ini melakukan konfirmasi ke bagian akuntansi BPKAD, salah satu staf berkata tak bisa berkomentar. “Lebih tepatnya ditanyakan ke instansi teknisnya (Dishub) di sana minta salinan pembayarannya ke kas negara jika betul sudah dibayar,” tuturnya.

Tak hanya Taufan yang lupa, Asisten III Setkab Kukar Machmudan juga demikian. Ia juga tak mengetahui ada kelebihan pembayaran untuk asuransi penyeberangan ferry Tenggarong-Tenggarong Seberang itu, padahal Machmudan pernah menjabat kepala inspektorat pada 2012, dan sempat menjabat kepala BPKAD beberapa bulan pada 2014 sebelum menjadi asisten III. “Saya belum pernah dengar kelebihan pembayaran asuransi feri ASDP,” ucapnya. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com