BONTANG – Kasus dugaan korupsi alat peraga di SMK 1 dan SMK 3 Bontang kembali memakan korban. Setelah tiga orang divonis bersalah, kemarin (11/5) kasus yang diduga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 1.489.166.355 tersebut menyeret seorang pejabat Dinas Pendidikan (Disdik) Bontang. Kabid Pendidikan Non-Formal Informal (PNFI) Ilham Gani dibawa ke jeruji besi.
Ilham ditetapkan sebagai tersangka sejak 10 Februari, berdasarkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Nomor Print-02/Q.4.18/Fd.1/02/2015. Saat kasus itu mencuat pada 2010 silam, Ilham bertindak sebagai pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK).
Kajari Bontang Anang Supriatna mengatakan, Ilham disangka melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang perubahan atas UU 31/1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
“Ancaman hukumannya maksimal 20 tahun penjara dan minimal lima tahun penjara,” kata Anang yang didampingi Kasi Pidsus Affan M Hidayat, Kasi Pidum Romly Salijo, Kasi Datun Nasrullah Syam, dan Kasi Intel Bambang Winarno.
Mantan jaksa penuntut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu menjelaskan, terjeratnya Ilham bermula dari fakta-fakta di persidangan. Dari situlah, Korps Adhyaksa tersebut memeriksa 21 saksi.
“Berdasarkan hasil penelusuran dan fakta persidangan, yang bersangkutan disangka terlibat dan menyebabkan kerugian negara sekitar Rp 1,4 miliar (tepatnya Rp 1.489.166.355). Dan dari keterangan saksi-saksi, keterlibatan dan peran tersangka sangat dominan. Karena yang bersangkutan sebagai PPTK dan tersangkalah yang mengarahkan, bahkan tersangka yang menentukan untuk ambil harga HPS (harga pokok satuan),” katanya.
Dari pantauan media ini, Ilham tiba di kantor Kejari Bontang sekira pukul 11.00 Wita dengan didampingi penasihat hukumnya, Bahroddin yang juga ketua LKBH Korpri dan Raidon. Meski demikian, Ilham baru diantar ke Lapas Klas III Bontang sekira pukul 15.30 Wita menggunakan mobil tahanan Kejari Bontang. Informasi yang beredar, Ilham enggan menandatangani berita acara penahanan.
“Artinya, klien kami belum mengerti kesalahannya di mana dan kesalahannya apa. Makanya, beliau tidak mau tanda tangan. Klien kami tidak bersedia ditahan. Meski demikian, kami kooperatif dengan jaksa,” ujar Bahroddin.
Terkait ketidaktahuan kliennya, Bahroddin mengatakan jika Ilham sudah melapor ke Polres Bontang. Laporannya berupa tanda tangan palsu atas dokumen proyek tersebut. “Tanda tangan beliau untuk pembayaran dipalsukan dan sudah dilaporkan ke polisi. Oleh siapa (yang memalsukan), masih diselidik. Karena saat itu, Pak Ilham sebagai PPTK sudah menyampaikan ke PA (pengguna anggaran), Ahmad Mardjuki bahwa uang tidak bisa cair. Tapi, tiba-tiba kok cair,” katanya.
Saat ini, pihaknya masih menunggu hasil penyelidikan polisi. “Sudah kami laporkan. Nanti ada pemeriksaan laboratorium dan lainnya. Kalau terbukti palsu, klien kami jelas tidak bersalah. Yang pasti, sudah ada tanda tangan pembanding dan hasilnya sangat beda sekali dengan yang ada di dokumen,” jelasnya.
Diberitakan sebelumnya, kasus ini sebelumnya sudah menyeret tiga orang. Mereka adalah mantan kepala Disdik Bontang Ahmad Mardjuki yang divonis satu tahun penjara dan denda Rp 50 juta subsider satu bulan kurungan. Kemudian, Faisal, pemilik PT Klaprindo yang mengerjakan pengadaan alat peraga yang juga divonis 1 tahun penjara dan denda Rp 50 juta subsider satu bulan kurungan.
Terakhir adalah Jamaluddin yang bertindak sebagai pelaksana PT Klaprindo. Dia divonis empat tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider dua bulan kurungan, serta diwajibkan membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 1.489.166.355 atau diganti dengan hukuman satu tahun enam bulan.
Dalam kasus yang terjadi pada 2010 tersebut, Disdik Bontang melakukan pengadaan alat peraga dengan pagu anggaran mencapai Rp 3.468.677.300. Dalam perjanjian kerja, seharusnya alat peraga yang didatangkan masih baru. Namun, setelah diselidiki ternyata alat peraga tersebut bekas.
Bahkan sejak didatangkan, tidak bisa digunakan lagi. Berdasarkan penghitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melalui surat bernomor: SR-186/PW17/5/2014, kerugian negara akibat kasus itu sekitar Rp 1.489.166.355. [] KP