PARTAI Demokrasi Indonesia Perjuangan bungah. Mereka ‘menyulap’ tragedi tempo dulu menjadi kejayaan masa kini. Di atas tanah di mana 19 tahun lalu terjadi kerusuhan berdarah, kini berdiri bangunan megah berdinding putih.
Namun di balik kokohnya gedung enam lantai itu, kelima pilarnya yang berwarna merah darah seakan mengingatkan bahwa di masa silam, ruangan-ruangan di dalam bangunan itu dipenuhi ceceran darah, saat kantor tersebut diserbu massa dari kubu rival Megawati Soekarnoputri yang dibantu aparat polisi dan tentara.
Tragedi itu dikenal dengan sebutan Peristiwa Kudatuli (Kerusuhan dua puluh tujuh Juli) atau Sabtu Kelabu. Kala itu PDI –belum bernama PDIP seperti sekarang– terbelah ke dalam kubu pimpinan Megawati dan dan Soerjadi.
Kongres PDI di Medan, atas intervensi Soeharto, mendudukkan kembali Soerjadi sebagai Ketua Umum. Hal ini lantas dilawan para pendukung Megawati dengan menggelar mimbar bebas di Kantor PDI yang berlokasi di Jalan Diponegoro 58, Menteng, Jakarta Pusat –gedung yang kini telah direnovasi dan difungsikan kembali sebagai Kantor PDIP.
Pada 1996, Kantor PDI di Diponegoro yang rutin menggelar mimbar bebas praktis dikuasai oleh pendukung Mega. Mimbar ini dibenci rezim Orde Baru karena membangkitkan sikap kritis rakyat untuk menentang penguasa.
Maka Sabtu, 27 Juli 1996, kantor PDI yang diduduki pendukung Megawati dikepung oleh massa Soerjadi, dengan tentara dan polisi di sisi mereka. Kerusuhan pun pecah dan merembet dari Diponegoro ke Salemba, Kramat, dan kawasan lain di pusat Jakarta. Sejumlah kendaraan dan gedung terbakar.
Data Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyebutkan 5 orang tewas, 149 orang terluka, dan 136 lainnya ditahan akibat peristiwa tersebut. Investigasi Komnas HAM juga menyatakan Komando Daerah Militer (Kodam) Jaya terlibat penyerbuan dan pengambilalihan Kantor PDI. Hal ini, menurut Komnas HAM, atas sepengetahuan Markas Besar ABRI dan Badan Intelijen ABRI –saat ini disebut TNI.
Berikut kronologi peristiwa kerusuhan 27 Juli di Kantor PDI:
Dini hari pukul 01.00-03.00 WIB: Kantor PDI di Diponegoro 58 dijaga kurang lebih 300 orang. Sebagian tertidur dan lainnya terjaga. Mereka mulai curiga karena melihat mobil patroli polisi berulang kali melintas.
Bakda subuh pukul 05.00 WIB: sekelompok orang berkaus merah PDI mengarah ke Kantor PDI dengan diangkut sekitar delapan truk.
Pukul 06.15 WIB: Kelompok kaus merah tiba di depan Kantor PDI. Pendukung Megawati melempari mereka dengan batu, yang segera dibalas dengan lemparan batu pula disertai lontaran api yang kemudian membakar bagian depan kantor. Jalan ke arah Diponegoro pun diblokir polisi.
Pukul 09.00 WIB: Massa di samping Kantor PDI dan PPP –yang berlokasi persis di sebelah kanan Kantor PDI– saling lempar batu dengan pasukan ABRI bersenjata. Mereka kemudian terdesak mundur. Sementara massa di depan Megaria bernyanyi mengeluk-elukkan Megawati.
Menjelang pukul 10.00 WIB: Asap hitam membubung dari Kantor PDI. Dikabarkan kantor itu telah dibakar dan dokumen-dokumen di dalamnya pun dibakar.
Menjelang zuhur pukul 12.00 WIB: Jumlah massa bertambah. Mimbar bebas digelar dengan dipantau helikopter yang berputar-putar di langit di kawasan itu. Massa kemudian melempari aparat dengan batu. Mereka juga mengecam kabar adanya rekan mereka yang tewas di dalam Kantor PDI.
Bakda zuhur pukul 13.00 WIB: Aparat meminta perwakilan dari massa yang menggelar mimbar bebas untuk masuk melihat situasi di dalam Kantor PDI bersama petugas keamanan. Sekeluarnya dari Kantor PDI yang hancur berantakan, dikatakan darah terlihat berceceran di ruangan-ruangan di dalam kantor itu.
Pukul 14.30 WIB hingga larut malam: Massa melempari polisi dengan batu. Polisi mengejar massa dan mementungi beberapa orang yang berhasil ditangkap. Beberapa bus dibakar massa. Rambu dan lampu lalu lintas dirusak, menyusul mobil dan berbagai bangunan, termasuk bank-bank dan pertokoan, ikut dibakar.
Kudatuli berujung pada perburuan dan penangkapan sejumlah aktivis Partai Rakyat Demokratik –partai politik ekstraparlementer yang dianggap dalang kerusuhan. Ketua PRD saat itu, Budiman Sudjatmiko yang kini bergabung dengan PDI Perjuangan, dijebloskan 13 tahun ke penjara.
Semua petaka di masa silam itu, Senin (1/6), bagai lenyap disihir, berganti megahnya Kantor PDIP Diponegoro yang telah direnovasi dengan anggaran Rp 42,6 miliar. Di gedung gagah ini, PDIP hendak menorehkan sejarah baru sebagai partai penguasa yang tak lagi tertindas.
BERHANTU
Ketua Forum Komunikasi Kerukunan 124-27 Juli 1996, Kuncoro mengatakan bahwa di lokasi yang sekarang dibangun gedung lantai enam bernilai Rp 42,6 miliar itu sempat menjadi markas pergerakan aktivis pasca penyerangan tahun 1996.
“Ini gedung bersejarah hasil perjuangan. Banyak orang yang terkapar, saya menginjaknya juga. Orang terinjak-injak karena panik. Disini penuh asap karena aparat melepas gas air mata,” kata Kuncoro yang ditemui di Kantor DPP PDIP bersama rekan-rekannya itu.
Kuncoro lalu mengenang peristiwa itu. Saat kejadian dia baru berumur 19 tahun. Ia bercerita kejadian bermula adanya perpecahan partai yang dipimpin Suryadi dengan dukungan pemerintahan Orde Baru.
“Saat itu kami berkumpul disini semua,” kata Kuncoro.
Sekitar 500 pendukung Megawati bergiliran menjaga kantor tersebut. Mereka berorasi mengkritik kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat.
“Kami disini bergabung mendukung Megawati lalu terjadi peristiwa 27 Juli yang didukung Suryadi dan pemerintah,” kenang Kuncoro.
Ia ingat saat peristiwa yang disebutnya “serangan fajar” terjadi pada 27 Juli 1996. Saat itu sebagian pendukung Megawati masih tertidur. Sekitar pukul 05.00 WIB terjadi penyerbuan dari sekelompok orang yang terlatih dengan berpakaian hitam.
“Akhirnya terjadilah pertempuran,” ujarnya.
Orang terlatih tersebut, kata Kuncoro, melempari markas PDI dengan batu dan bom molotov. Mereka yang berada di dalam kantor mencoba bertahan dengan membalikkan meja serta membalas lemparan batu. Gas air mata pun dilontarkan oleh orang terlatih tersebut. Serangan membabi buta itu terus dilancarkan hingga pukul 08.00 WIB.
“Ada batu ya kawan-kawan balas. Jalan ditutup enggak bisa keluar. Justru yang luar bisa masuk dibantu tentara,” kata Kuncoro yang mengenakan kemeja kotak-kotak tersebut.
Mengenai korban jiwa, Kuncoro tidak mengetahuinya. Ia hanya melihat banyak orang terkapar didalam markas tersebut.
“Enggak tahu mati atau enggak,” ujar Kuncoro.
Akhirnya, kelompok yang bertahan itu terjebak. Mereka berpencar ke banyak ruangan. Sebagian dari mereka berkumpul lagi.
“Yang terkapar kemana, kita enggak tahu,” kata Kuncoro.
Sedangkan aktivis Repdem Masinton Pasaribu mengaku saat peristiwa terjadi masih berstatus mahasiswa. Ia ikut menggelar orasi-orasi menentang otorianisme orde baru.
“Aku tidak ikut dalam orasi disini (di gedung PDIP) tapi kita tetap support,” kata Masinton yang kini duduk di Komisi III DPR.
Ia melihat Megawati saat itu ditindas oleh kesewenang-wenangan pemerintahan orde baru. Hal itu memunculkan perlawanan.
“Kita selama ini memperjuangkan demokrasi. Sebelumnya kita bebas berorganisasi. Disini mencekam jelang peristiwa mau penyerangan, saat itu diawasi oleh intelejen,” kata Masinton.
Mengenai peristiwa misteri, Ketua FKK Kuncoro mengaku mendengar cerita dari warga sekitar. Namun selama ia menginap tidak pernah mengalami pengalaman tersebut.
Ia sempat menceritakan pasca kantor tersebut kosong, dia sempat mengajak kader PPP yang memiliki gedung tepat di sebelah kantor PDIP untuk menginap. Saat itu kantor PPP sedang banyak orang yang bermalam.
“Saya ajak tidur disini,” kata Kuncoro.
Tetapi saat ia terbangun, kader PPP itu sudah tidak ada. Setelah tiga hari, Kuncoro bertemu kader tersebut sedang memesan nasi goreng tak jauh dari situ.
“Saya tanya kok enggak jadi tidur. Dia jawab saya diusir ada makhluk halus. Saya enggak percaya. Dia bilang sudah tiga kali diusir,” tuturnya.
Setiap tahun, kata Kuncoro, ia bersama temannya menggelar peringatan doa bersama. Sedangkan Masinton hanya mendengar seputar kejadian misteri itu tapi tidak pernah mengalaminya.
“Dulu saya enggak pernah menginap disini,” imbuh Masinton. [] CI / TN