KUTAI TIMUR – Masyarakat yang bermukim di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Sangatta, Kabupaten Kutai Timur (Kutim), Kalimantan Timur (Kaltim), sepertinya harus waspada dan tak sembarangan menggunakan air sungai Sangatta, terlebih untuk makan dan minum. Hal itu karena berdasarkan berdasarkan kajian terbaru, kondisi Sungai Sangatta masuk dalam kategori kelas III.
Bila disandingkan dengan kelas II yakni air untuk kategori peternakan, budidaya perikanan dan pengairan, tergolong tercemar ringan. Tapi bila disandingkan dengan kelas I yakni sebagai sumber air baku PDAM, Sungai Sangatta termasuk kategori tercemar berat. Sementara sampai hari ini, air sungai Sangatta merupakan air baku PDAM di Sangatta untuk dinikmati seluruh masyarakat. Hal itu terungkap dalam rapat semiloka Pengendalian dan Pencemaran Sungai Sangatta gelaran Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kutim, di Hotel Royal Victoria, Rabu (10/6/2015).
“Berdasarkan parameter Biochemical Oxygen Demand (BOD) ditemukan potensi pencemar terbesar pada DAS Sangatta berasal dari sektor rumah tangga. Mencapai 1.650 Kg/hari atau 50,36 persen. Diikuti sektor pertambangan/industry dan peternakan masing-masing 517,8 atau 15,8 persen dan 465,92 atau 14,2 persen,” kata M Kamaruddin, anggota tim penyusun kajian daya tampung beban pencemaran di Sungai Sangatta.
Untuk parameter Chemical Oxygen Demand (COD), menurut Kamaruddin juga berasal dari sektor rumah tangga yang mencapai 44,7 persen atau 2.269 Kg/hari. Disusul pertambangan dan peternakan. Begitu juga dengan beban pencemar Total Suspended Solid (TSS), potensi paling besar disumbang oleh kegiatan domestik rumah tangga maupun industri. Yakni 1.567,7 Kg/hari atau 68 persen. “Penurunan beban pencemaran diperkirakan rata-rata lebih besar dari 50 persen untuk ketiga parameter pengukuran. Tentunya untuk menurunkan memerlukan perencanaan yang baik, pendanaan yang besar, kerja keras dan partisipasi aktif dari stakeholder,” ujar Kamaruddin.
Terpisah, Kepala BLH Kutim Encek Rizal Rafidin mengatakan, dengan kategori tercemar ringan, air sungai Sangatta termasuk tidak layak minum. “Itu kondisi yang ada sekarang. Tidak layak minum. Tapi kita sudah bersyukur. PDAM sudah melaksanakan fungsinya. Kami mendapat informasi, kualitas air bersih yang dialirkan ke warga sudah memenuhi syarat baku mutu dari Departemen Kesehatan RI. Untuk standar air bersih. Bukan air minum,” ungkap Encek.
Kondisi air yang masuk ke mesin pengolahan PDAM dan yang keluar selalu melalui tes kelayakan. Ketika hasil tes, ternyata TSS-nya tinggi, PDAM tidak memproses pengolahan air bersih. Mereka berhenti, seperti yang terjadi pada 2014 lalu. TSS-nya tinggi, jadi tidak produksi. “Tahun 2014, BLH mengetahui ada pencemaran yang berasal dari tambang melalui air Sungai Bendili. Itu kasus tertangkap tangan. PDAM berhenti produksi selama tiga hari karena kondisi cemar yang terjadi jauh melebihi kapasitas pengolahan air bersih yang dimiliki mesin PDAM,” ujar Encek.
Untuk rumah tangga, BLH bersama dinas terkait lainnya tak henti-henti melakukan sosialisasi pada masyarakat agar tidak membuang limbahnya ke sungai. Berdasarkan kajian terbaru, kondisi Sungai Sangatta masuk dalam kategori kelas III. Bila disandingkan dengan kelas II yakni air untuk kategori peternakan, budidaya perikanan dan pengairan, tergolong tercemar ringan. “Penurunan beban pencemaran diperkirakan rata-rata lebih besar dari 50 persen untuk ketiga parameter pengukuran. Tentunya untuk menurunkan memerlukan perencanaan yang baik, pendanaan yang besar, kerja keras dan partisipasi aktif dari stakeholder,” ujar Kamaruddin. [] TBK