SEKADAU – Warga Desa Ensalang, Kecamatan Sekadau Hilir, Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat (Kalbar), mengaku dibuat sengsara atas kehadiran perusahaan sawit yang operasionalnya berada di desa mereka. Pasalnya, sejak bercokol 2009, sungai dan saluran irigasi yang menjadi sumber air bagi pertanian mereka dibuat tercemar oleh limbah sawit.
Akibat pencemaran itu, produksi padi warga setempat sering mengalami gagal panen sejak tiga tahun terakhir. Piring nasi warga tentu saja terancam. “Peristiwa ini bukan baru-baru ini terjadi. Kami mulai gagal panen sejak tiga tahun terakhir. Sudah dua musim gadu dan satu musim rendengan kami tidak dapat hasil panen. Tapi, lahan kami sudah tercemar limbah setidaknya mulai tahun 2009,” ungkap Jerimi, salah seorang warga, saat melaporkan nasib mereka ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sekadau.
Menurut petani, faktor utama yang menyebabkan usaha mereka gagal adalah limbah pabrik kelapa sawit milik PT Multi Jaya Perkasa (MJP) yang mengalir dan menggenangi lahan pertanian mereka. “Genangan limbah CPO tersebut tidak membuat padi mati atau rusak. Padi yang mereka tanam di sawah tetap tumbuh. Namun, meskipun tumbuh normal, padi-padi tersebut tidak berbuah alias puso. Akibatnya, petani tidak mendapat hasil saat melakukan panen. Waktu panen padinya berbuah, tapi tidak ada isinya, apa yang mau dimakan,” keluh Jerimi.
Dia memaparkan, untuk memenuhi keperluan makan sehari-hari, mereka harus membeli beras di warung-warung. Menjadi ironi ketika para petani padi yang seharusnya menjadi produsen padi malah harus membeli dari warung untuk sekedar dimakan sehari-hari.
“Bukan hanya saya yang menjadi korban tercemarnya areal pertanian di wilayah Ensalang oleh limbah pabrik PT MJP. Setidaknya ada lebih kurang 20 hektare lahan sawah dan karet milik petani yang terendam limbah. Otomatis, lahan-lahan tersebut mandul,” paparnya.
Sementara itu, warga Ensalang lainnya, Wilhelmus Sabo mengaku mereka sudah pernah mengadukan perihal pencemaran areal pertanian kepada manajemen PT MJP. Namun, hingga kini belum ada reaksi apapun dari perusahaan.
“Sampai hari ini kami tidak melihat ada itikad baik dari perusahaan, apalagi ganti rugi. Permasalahan tersebut juga sudah pernah dilaporkan kepada pemerintah kabupaten Sekadau melalui instansi-instansi terkait seperti Badan Lingkungan Hidup. Namun, laporan petani hingga kini pun belum mendapat tanggapan serius. Kami juga sudah lapor ke lingkungan hidup. Kalau bisa turun lah ke lapangan cek limbahnya,” harap Sabo.
Sementara itu, Pastor David CP yang ikut bersama warga Ensalang menyampaikan keluhan ke DPRD Sekadau juga menuturkan hal yang tak jauh berbeda. Menurut pastor David, tak hanya lahan sawah yang gagal panen. “Bahkan karet dan tumbuh-tumbuhan pun rusak. Ada juga warga yang mengaku gatal-gatal (alergi) terkena air limbah,” kata pastor David.
Beberapa waktu lalu, manajemen pabrik CPO PT MJP juga dituding ikut bertanggungjawab atas matinya ikan-ikan di sungai Peniti, Sekadau Hilir. Untuk kasus ini, pihak perusahaan sudah mengabulkan tuntutan ganti rugi untuk warga Peniti beberapa waktu lalu. Belakangan, terungkap jika limbah pabrik tidak hanya mengalir ke sungai Peniti. Bahkan lahan pertanian warga di wilayah Ensalang yang berada di perhuluan desa Peniti pun ikut tercemar.
PENCEMARAN SUNGAI PENITI
Sementara Juni lalu, kasus pencemaran yang melibatkan PT MJP juga terungkap. Pencemaran terjadi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Peniti, di Sekadau Hilir. Diduga, pencemaran terjadi lantaran kolam penampungan limbah perusahaan sawit ini jebol sejak April lalu. Akibatnya, selain ikan dan biota air banyak yang ditemukan mati, warga setempat juga mengalami kerugian.
Warga kemudian melaporkan kasus itu dan menuntut ganti rugi. Setelah dimediasi pihak Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sekadau, manajemen pabrik Crude Palm Oil (CPO) PT MJP yang beroperasi di hulu Sungai Peniti, akhirnya bersedia berdamai dan memutuskan untuk mengganti rugi yang dialami warga.
“Kami sepakat berdamai dan perusahaan siap mengganti rugi. Dalam pertemuan itu juga tercapai kata sepakat antara masyarakat Peniti dan manajemen pabrik CPO. Inti kesepakatan itu, masing-masing perusahaan siap mengganti kerugian yang diderita warga,” ujar Kepala Desa Peniti, Abang Ramly, usai pertemuan di Desa Peniti yang melibatkan manajemen kedua perusahaan, Badan Lingkungan Hidup serta pihak kepolisian dan warga, pertengahan Juni lalu.
Sejak April 2015, Sungai Peniti diduga tercemar mengakibatkan matinya ikan-ikan di sungai serta memicu penyakit gatal-gatal sejumlah warga yang mandi di sungai tersebut. Hasil uji laboratorium belum dirilis secara resmi.
Beberapa poin kesepakatan antara kedua belah pihak diantaranya ganti rugi ikan di keramba warga yang mati akibat pencemaran sungai. Ikan-ikan yang mati akan diganti sesuai proposal dari masyarakat. Tak hanya itu, sebagai kompensasi hilangnya sumber air, warga juga mengajukan penyediaan sarana air bersih berupa sumur bor di tiap-tiap rumah warga yang terkena dampak pencemaran sungai.
“Karena warga kami sudah tidak punya sumber air, sebagai kompensasinya kami minta agar perusahaan menyediakan sarana air bersih untuk masyarakat. Lebih jauh, masyarakat Peniti juga mendesak perusahaan untuk memperbaiki pengelolaan limbah pabrik. Masyarakat tak ingin hal serupa terjadi lagi. Kami juga mendesak agar manajemen pabrik memperbaiki pengelolaan limbah supaya kejadian seperti ini tidak terulang lagi di masa mendatang,” tegas Abang Ramly.
Sebelumnya, perwakilan masyarakat Desa Peniti mendatangi kantor Badan Lingkungan Hidup (BLH) untuk mempertanyakan hasil pengujian sampel limbah. Namun, pihak BLH belum mendapat hasil dari laboratorium. Tak puas, warga pun melakukan audiensi dengan Bupati Sekadau pada hari yang sama. Dari hasil audiensi, Bupati menyarankan agar persoalan ini diselesaikan secepatnya dengan mengedepankan prinsip kekeluargaan.
“Pak Bupati menyarankan selesaikan secara kekeluargaan, jangan sampai anarkis. Warga masih menunggu hasil uji laboratorium terhadap sampel limbah dari dua pabrik CPo tersebut. Warga berharap BLH Kabupaten Sekadau bersikap transparan dalam memediasi masalah ini. Kami berharap BLH transparan,” kata Ramly.
Dalam undang-undang Lingkungan Hidup nomor 32 Tahun 2009 pasal 69 mengenai larangan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang meliputi larangan melakukan pencemaran,memasukan benda berbahaya dan beracun (B3) ke media lingkungan hidup, pelanggarnya sudah diatur dengan sanksi pidana penjara paling singkat 1 tahun dan denda minimal Rp1 miliar. [] ANT