KUTAI TIMUR – Setelah dikukuhkan secara adat, masyarakat Wehea bertekad “Keltah Keldung Laas Wehea” atau hutan adat mereka mendapat pengakuan dari negara dan mendapatkan status minimal hutan lindung.
“Kami akan terus perjuangkan sehingga kawasan tersebut benar-benar terlindungi secara hukum negara, hukum adat, dan secara fisik oleh aparat dan kami sendiri,” kata Kepala Adat Besar Wehea Ledjie Taq, Kamis (13/8/2015).
Sebagai hutan adat, Keltah Keldung Laas Wehea dijaga oleh Petkueq Mehuey (PM) atau ranger para penjaga hutan yang beranggotakan para pemuda Wehea. Di hutan Keldung Laas Metgueen, hutan adat yang terlebih dahulu dimiliki Orang Wehea, para PM berpatroli di seluruh penjuru hutan untuk menjaga kelestarian flora dan fauna.
Kesuksesan menjaga dan mengelola di hutan Metgueen itu membuahkan penghargaan Kalpataru pada tahun 2009 kepada masyarakat Wehea yang diwakili Ledjie Taq.
Pada kesempatan berbeda Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat Rosa Vivien Ratnawati memaparkan sejumlah tahapan yang harus diikuti masyarakat adat Wehea untuk secara resmi mendapatkan pengakuan negara tersebut.
Menurut Direktur Rosa Vivien, untuk mendapatkan pengakuan negara atas hutan adatnya, masyarakat adat Wehea sendiri harus diakui mulai dari lingkungannya sendiri.
“Dalam hal ini di Kutai Timur. Bisa dengan Surat Keputusan atau SK Bupati, lebih bagus lagi dengan Peraturan Daerah (perda),” jelas Rosa Vivien.
Persyaratan itu digariskan oleh keputusah Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/2013. Bila masyarakat adatnya berada di lintas provinsi, maka yang digunakan adalah SK Gubernur dan atau perda provinsi. Bila sudah memiliki dasar SK atau Perda tersebut barulah pemerintah pusat memiliki dasar hukum untuk pengakuan secara nasional.
Direktur Penanganan Konflik Tenurial itu menyadari bahwa untuk mendapatkan SK bupati atau mengengolkan perda itu diperlukan proses politik.
Kebetulan sekali masyarakat Wehea sudah punya wakil di DPRD “Kutai Timur,” kata Rosa Vivien. [] ANT