KUTAI KARTANEGARA – Ini adalah kesekian kalinya sistem pengelolaan corporate social responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan seperti diamanahkan dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) dan lainnya, mendapatkan kritik. Adalah H Salehudin, Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang menyoroti bahwa pengelolaan CSR di Kukar masih belum transparan dan tidak jelas.
Ia pun secara tegas meminta kepada seluruh perusahaan yang beroperasi di Kukar agar secara serius memperhatikan soal CSR dan dikelola secara baik. “Penyaluran dana CSR harus diperbaiki karena masih tidak jelas,” tandas H. Salehudin.
Saleh–panggilan akrab anggota dewan daerah pemilihan Kembang Janggut ini–menilai bahwa masyarakat Kukar semakin berani untuk beraspirasi dan mengekspresikan tuntutannya terhadap perusahaan. Masyarakat telah semakin kritis dan mampu melakukan kontrol sosial terhadap dunia usaha.
Menurutnya, pelaku bisnis tidak hanya dituntut untuk memperoleh keuntungan dari lapangan usahanya, melainkan mereka juga diminta untuk memberikan kontribusi positif terhadap lingkungan sosialnya. Selain itu peran pemerintah kabupaten juga harus lebih konsen dan jeli terhadap pengelolaan CSR di Kukar.
“Fungsi dan aturan-aturan dari CSR tidak mengikat dan tidak mendorong kedua belah pihak. Yang dimaksud kedua belah pihak agar CSR itu berjalan dengan baik yakni yang pertama inisiasi dari pihak pemerintah daerahyaitu eksekutif, kemudian eksekutif itu mendorong karena di dalam proses pembuatan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, red) itu biasanya menjadi suatu dasar yaitu ada item yang berbeda dengan pengelolaan lingkungan, termasuk di dalamnya pemberdayaan masyarakat oleh perusahaan. AMDAL itu bisa kita jadikan patokan oleh kepentingan pemerintah untuk mendorong perusahaan agar konsen melaksanakan sesuai rencana AMDAL awal,” papar Saleh, Senin (28/8).
Politisi Partai Politik Golkar ini menjelaskan, CSR tidak berjalan sebagaimana mestinya karena pemerintah tidak konsen. Setiap perusahaan seharusnya punya satu unit organisasi yang mengatur tentang CSR itu sendiri. “Sehingga kita sarankan di dalam peraturan daerah kita, semua perusahaan itu wajib memberikan CSR,” ucapnya.
Namun lanjut dia, masih ada kelemahan dalam Perda CSR yang ada di Kukar. Dalam Perda CSR tidak ada satupun pasal yang mengintruksikan perusahaan tersebut mempunyai satu unit organisasi khusus yang berkaitan dengan kegiatan CSR.
“Satu unit ini harus konsen dan tidak boleh mengerjakan pekerjaan rutin lainnya, kecuali hanya mengerjakan proses pekerjaan CSR. Untuk sebagai rujukan kita ambil dari KPC (Kaltim Prima Coal, perusahaan tambang batu bara di Kutai Timur, red). Di KPC itu punya satu direktur yang di bawahnya punya unit yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan dan CSR. Jadi kita berkeinginan Perda CSR nanti kita berikan proses penguatan terhadap pasal di dalamnya sebagai kewajiban perusahaan punya unit organisasi CSR. Hal ini diupayakan agar urusan terkait CSR tidak lagi terabaikan,” urainya. [] Advetorial