Kenya Susul Sri Langka, Terjerat “Jebakan” Utang China

Presiden China Xi Jinping dan Presiden Kenya Uhuru Kenyatta. -(Foto : Istimewa)

 

INTERNASIONAL – CHINA terus menggenjot program pembiayaan Belt and Road Initiative (BRI) kepada negara-negara berkembang dunia. Tercatat, pendanaan infrastruktur internasional ala Beijing ini masih terus menjadi lirikan negara-negara berkembang, khususnya di Afrika.

Data yang dihimpun Universitas Boston menunjukkan, China telah menggelontorkan hampir 160 miliar dolar AS ke negara-negara Afrika, terhitung dari tahun 2000 hingga 2020.

Salah satunya adalah Republik Kenya yang saat ini tengah kelimpungan membayar pinjaman pada China. Kenya sendiri mendapat pinjaman lebih dari 9 miliar dolar AS. Itu digunakan untuk mendanai proyek jalur kereta api, pelabuhan, dan jalan raya. Alhasil, Beijing menjadi kreditor bilateral terbesar bagi negara di timur Afrika itu.

Saat ini Kenya merasakan beban utang yang luas biasa lantaran banyak proyek yang dibiayai pinjaman China belum menghasilkan pendapatan yang cukup. Secara keseluruhan, negeri Panda ini memiliki 72 persen utang luar negeri Kenya yang hampir mencapai 40 miliar dolar pada akhir tahun 2022.

Presiden Kenya Uhuru Kenyatta melepas kereta api Mandaraka Express dari Mombasa menuju Nairobi melalui jalur baru yang dibangun dengan bantuan China senilai 1,5 miliar dolar AS. -(Foto : Istimewa)

Di Kenya, China terlibat dalam pembangunan jalur kereta api yang menghubungkan kota Mombasa dengan Rift Valley, dengan biaya 5 miliar dolar AS, dengan China membiayai 90 persen proyek tersebut.

Auditor Jenderal Kenya telah memperingatkan bahwa negara tersebut berisiko kehilangan kendali atas Pelabuhan Mombasa jika gagal membayar pinjaman dari Bank EXIM China. Namun, penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa ancaman ini tidak pernah nyata karena pelabuhan bukanlah jaminan atas pinjaman tersebut.

Sejak beberapa tahun terakhir, pengaruh negeri Tirai Bambu itu di Afrika, termasuk Kenya, semakin besar. Banyak ahli menilai strategi negara komunis itu di Afrika berbahaya.

“Tiongkok menawarkan pinjaman untuk proyek infrastruktur yang mahal dan ketika suatu negara tidak dapat membayar kembali pinjamannya, Tiongkok mengambil alih aset strategisnya,” ujar Anna Borshchevskaya dari Institut Washington.

Menurut Paul Nantulya dari Pusat Studi Strategis Afrika, satu dari tiga proyek infrastruktur besar di Afrika dibangun oleh perusahaan milik negara China, satu dari lima dibiayai oleh bank institusional China.

Badan-badan PBB baru-baru ini memperingatkan bahwa banyak dari negara-negara termiskin di Afrika sedang menghadapi utang berlebih atau gagal bayar. Peringatan ini disampaikan pada Konferensi PBB tentang negara-negara kurang berkembang yang diselenggarakan di Qatar pada awal Maret 2023.

 

BELAJAR DARI SRI LANKA

Kasus Kenya ini mengingatkan publik dengan nasib Sri Lanka. Negara pulau yang berada di sebelah pesisir tenggara India ini mengalami kebangkrutan dan gagal bayar utang. Sri Lanka menyatakan gagal bayar utang luar negeri senilai 51 miliar dollar AS atau sekitar Rp 755,33 triliun sejak 12 April 2022 lalu.

Rakyat Sri Lanka mengepung Sekretariat Kepresidenan Sri Lanka di tengah krisis ekonomi yang melanda negara tersebut akibat jeratan utang, tahun 2022 kemarin. -(Foto : dok.Antara)

 

Ini merupakan yang terburuk sejak kemerdekaan dari Inggris pada 1948. Krisis Sri Lanka menimbulkan kesengsaraan rakyat yang meluas. Masyarakat di sana harus sangat berhemat. Gaji yang ada, bahkan tidak bisa mencukupi kehidupan keluarga di tengah naiknya harga sejumlah komoditas. Mereka terpaksa mengandalkan bantuan dari pemerintah untuk dapat bertahan hidup.

Sementara untuk menghemat penggunaan energi, Sri Lanka menutup sekolah dan menghentikan layanan yang tidak penting. China merupakan salah satu kreditur terbesar negara yang gagal bayar utang ini. Diberitakan Times of India, total utang Sri Lanka ke China mencapai US$ 8 miliar. Jumlah ini sekitar 1/6 dari total utang luar negerinya.

Pemerintah Sri Lanka meminjam dari China untuk sejumlah infrastruktur proyek sejak 2005, melalui skema Belt and Road (BRI). Salah satu proyek yang didanai oleh pinjaman tersebut adalah pembangunan pelabuhan Hambantota.

Pelabuhan itu dibangun pada 2008 silam dengan bantuan dana segar dari China sebesar US$ 361 juta (Rp 5 triliun). Pada 2016, Kolombo akhirnya menyerahkan pelabuhan itu kepada perusahaan China untuk mengelolanya.

Negara lain yang juga disebut tengah bergulat dengan utang China adalah Uganda. Negara berjuluk Mutiara Afrika ini dilaporkan tengah berusaha mengubah perjanjian pinjamannya dengan China. Supaya, memastikan sejumlah aset tidak hilang karena default (gagal bayar). Salah satu di antaranya, bandara internasional Entebbe.

Diberitakan Bloomberg, perjanjian itu dibuat pada 2015. Negara itu meminjam US$ 200 juta dari Bank Export-Import (EXIM) China untuk memperluas bandara Entebbe. Klausul yang ingin diubah, antara lain perlunya Otoritas Penerbangan Sipil Uganda untuk meminta persetujuan dari pemberi pinjaman China untuk anggaran dan rencana strategisnya.

Aturan lain mengamanatkan, setiap perselisihan antara para pihak harus diselesaikan oleh Komisi Arbitrase Ekonomi dan Perdagangan Internasional China. Pinjaman itu sendiri memiliki tenor 20 tahun, termasuk masa tenggang tujuh tahun.

Selain Uganda, negara lain yang diyakini terjerat utang China adalah Maladewa. Utang negara kepulauan ini terhadap China membengkak. Maladewa atau Maldives kini memiliki utang miliaran dolar AS kepada China. Utang digunakan untuk pembangunan infrastruktur seperti jembatan dan infrastruktur lainnya.

Awalnya, negara ini meminjam dana sebesar US$ 200 juta atau setara Rp 2 triliun untuk menghubungkan pulau ibukota Male ke pulau Hulhumale. Di sana bandara dan lahan luas masih banyak tersedia. Sehingga diharapkan dapat menjadi jalan keluar mengenai keterbatasan lahan properti dan akses menuju kawasan ekonomi baru.

Jembatan penghubung pulau itu rampung pada 2018. Jembatan itu diberi nama “China-Maldives Friendship Bridge”. Namun, Maladewa juga terus meminjam uang untuk pengembangan infrastruktur lainnya.

Pada tahun ini, beberapa mantan pejabat Maladewa dan perwakilan China menunjukkan angka utang terbaru. Mereka menyebutkan, Maladewa berutang ke China antara US$ 1,1 miliar hingga US$ 1,4 miliar.

 

BAGAIMANA DENGAN INDONESIA?

Presiden Joko Widodo bersama Presiden China Xi Jinping. Indonesia tercatat memiliki utang Rp245 triliun dari China seperti dilaporkan AidData. -(Dok. Kemenlu).

Jika merujuk data Bank Indonesia (BI), Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia ke China hingga akhir Maret 2023 mencapai US$ 20,38 miliar atau setara Rp 301,62 triliun (kurs Rp 14.800/US$). Jumlah itu bertambah US$ 370 juta jika dibandingkan dengan posisi utang pada Februari 2023 yang sebesar US$ 20,01 miliar.

Secara keseluruhan, BI mengumumkan, posisi ULN Indonesia pada kuartal I-2023 mencapai US$ 402,8 miliar atau setara Rp 5.961,4 triliun.

Melansir data SULNI Mei 2023, posisi ULN Indonesia hingga akhir Maret 2023 meningkat atau bertambah US$ 2,7 miliar atau setara Rp 39,96 triliun, jika dibandingkan dengan posisi ULN Indonesia pada Februari 2023 yang sebesar US$ 400,1 miliar.

Kendati demikian, jika dibandingkan secara tahunan (year on year/yoy), ULN Indonesia pada kuartal I-2023 mengalami kontraksi pertumbuhan 1,9 persen, melanjutkan kontraksi pada kuartal sebelumnya 4,1 persen.

China sendiri banyak terlibat dalam proyek-proyek besar di Indonesia. Proyek-proyek besar yang dibangun itu umumnya menggunakan skema kerja sama pemerintahan (G2G) atau kerja sama bisnis (B2B).

Waduk Jatigede menjadi salah satu proyek yang melibatkan pendanaan dari China. Proyek yang digagas sejak era Presiden Soekarno ini memiliki nilai investasi Rp 4 triliun melalui dana APBN dan pinjaman Bank Exim China sebesar 90 persen.

Kemudian pembangunan Jalan Tol Medan-Kualanamu. Tol sepanjang 17,8 km ini menelan biaya Rp 1,347 triliun. Dari total konstruksi Rp 1,347 triliun, 90 persen di antaranya berasal dari pinjaman China melalui Bank Exim China dan 10 persen dari APBN.

Yang cukup fenomenal adalah proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung. Awalnya proyek tersebut akan dibiayai JICA atau Japan International Cooperation Agency. JICA memasukkan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dalam rencana bantuan pembangunan luar negeri untuk Indonesia.

Saat itu sekitar 75 persen dari total biaya proyek akan dilakukan melalui skema pinjaman dengan bunga 0,1 persen. Di sisi lain, China ternyata juga kepincut proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dan berupaya menyalip Jepang memenangkan kontrak tersebut. Bahkan, China menawarkan keunggulan dari Jepang dari dimensi pembangunan, kecepatan, hingga pembiayaan.

Pemerintah akhirnya memilih China menggarap proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Kemudian China Development Bank akan meneruskan pinjaman ke sebuah perusahaan yang dibentuk atas patungan China dan Indonesia.

Pada 2017 CDB meneken perjanjian pinjaman senilai US$ 3,96 miliar dengan PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) yang 60 persen saham dimiliki oleh Indonesia dan 40 persen China untuk mengerjakan proyek kereta cepat ini.

Selain proyek tersebut, investasi China yang masuk ke Indonesia dengan nilai cukup signifikan adalah Kawasan Industri Morowali. China tercatat berinvestasi di Indonesia senilai US$ 1,63 miliar, untuk membangun kawasan industri di sana.

Meski bukan pemberi pinjaman terbesar bagi Indonesia, namun China masuk lima besar. Justru Singapura yang menjadi negara pemberi pinjaman terbesar untuk Indonesia berdasarkan Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI):

Jumlah pinjaman yang digelontorkan negeri Singa itu mencapai US$ 57,455 miliar. Di tempat kedua ada Amerika Serikat dengan US$ 32,575 miliar, disusul Jepang dengan US$ 23,764 miliar. Lalu China US$ 20,011 miliar dan Hong Kong US$ 17,741 miliar.

Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang pembangunannya sebagian besar dibiayai dana pinjaman dari China.

 

DIGAGAS XI JINPING 

Program pembiayaan Belt and Road Initiative (BRI) kepada negara-negara berkembang dunia digagas Presiden China Xi Jinping pada 2013 lalu di Kazakhstan. Sejak dimulai, proyek kumulatif Belt and Road China telah mencapai US$ 962 miliar, termasuk US$ 573 miliar dalam kontrak konstruksi dan US$ 389 miliar dalam investasi non-keuangan.

Akan tetapi, perlambatan ekonomi global serta kenaikan suku bunga dan inflasi yang tinggi telah membuat banyak negara berjuang untuk membayar utang mereka ke China.

Di Asia Selatan, utang ke China telah meningkat dari US$ 4,7 miliar pada tahun 2011 menjadi US$ 36,3 miliar pada tahun 2020. Beijing juga sekarang menjadi kreditor bilateral terbesar ke Maladewa, Pakistan, dan Sri Lanka,

Sri Lanka gagal membayar utangnya untuk pertama kalinya tahun lalu. Pada tahun 2017, negara tersebut menandatangani hak atas pelabuhan strategis Hambantota ke China, yang memicu kekhawatiran atas praktik pinjaman Beijing.

Kedutaan Besar China di Singapura mengatakan bahwa benar risiko utang yang dihadapi negara-negara berkembang baru-baru ini meningkat secara signifikan. Namun ada berbagai faktor eksternal.

“Kami tidak pernah memaksa orang lain untuk meminjam dari kami. Kami tidak pernah melampirkan ikatan politik apa pun pada perjanjian pinjaman, atau mencari kepentingan politik yang egois,” kata juru bicara Meng Shuai.

“Kami selalu melakukan yang terbaik untuk membantu negara-negara berkembang meringankan beban utang mereka,” ujarnya lagi.

Menurut laporan yang dilakukan AidData, Bank Dunia, Harvard Kennedy School, dan Institut Kiel untuk Ekonomi Dunia, China telah mengeluarkan 128 pinjaman penyelamatan darurat senilai US$ 240 miliar ke 22 negara. Diantaranya kepada Pakistan, Sri Lanka, dan Turki. Hampir 80 persen pinjaman dilakukan antara 2016 dan 2021.

Namun, dana talangan darurat China tidak murah. Bank-bank dari Negeri Tirai Bambu mematok suku bunga 5 persen untuk pinjaman darurat tersebut. “Tingkat tersebut jauh lebih tinggi dari tingkat bunga rata-rata IMF, yang telah sekitar 2 persen untuk operasi pinjaman non-konsesi selama 10 tahun terakhir,” tulis laporan AidData.

Peneliti senior di Mercatus Center di Universitas George Mason di Virginia, Weifeng Zhong, menyebut upaya China untuk memperbaiki BRI telah berlangsung sejak 2020. Menurutnya, sejak tahun 2020, fokus Beijing telah bergeser ke pentingnya apa yang disebut sebagai ‘pembangunan berkualitas tinggi’.

“Sebuah anggukan atas keprihatinan bahwa banyak proyek Belt and Road tidak layak secara ekonomi sejak awal. Inisiatif minimal belum hemat biaya,” katanya.

Zhong pun mengakui bahwa ada fenomena yang tidak biasa dilakukan China sebelum 2020. Ia menjelaskan hal ini terlihat pada bagaimana Beijing melakukan cenderung berlebihan dalam memberikan pinjamannya.

“China tidak hanya mencoba untuk meminjamkan banyak proyek infrastruktur yang tidak dapat menemukan pemberi pinjaman lain, tetapi juga ditujukan untuk komersial, atau setidaknya tidak dengan persyaratan konsesi, membuat kemungkinan pembayaran kembali menjadi lebih kecil,” tambahnya lagi. []

Penulis/Penyunting : Agus P Sarjono (Dari berbagai sumber)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com