INTERNASIONAL – SETELAH 78 tahun, akhirnya Pemerintah Belanda resmi mengakui ‘sepenuhnya tanpa syarat’ kemerdekaan Indonesia jatuh pada tanggal 17 Agustus 1945. Pengakuan itu disampaikan oleh Perdana Menteri (PM) Belanda Mark Rutte di parlemen Belanda pada Rabu (14/6) waktu setempat.
“Kami (Belanda) sepenuhnya sudah mengakui 17 Agustus zonder voorbehaud (tanpa keraguan). Saya masih akan mencari jalan keluar bersama Presiden (Indonesia, Joko Widodo) untuk mencari cara terbaik agar bisa diterima kedua pihak,” ujar PM Rutte menjawab pertanyaan anggota parlemen, sebagaimana dikutip media Historia.
PM Rutte sendiri hadir didampingi Menteri Luar Negeri Wopke Hoekstra dan Menteri Pertahanan Kajsa Ollorongren. Selain memberikan pernyataan permintaan maaf atas terjadinya kekerasan ekstrem, Rutte menyampaikan pengakuannya terhadap Proklamasi 17 Agustus 1945 –pernyataan resmi pertama pemerintah Belanda setelah 78 tahun– ketika menjawab pertanyaan anggota parlemen dari Partai GroenLinks, Corinne Ellemeet pada kegiatan diskusi di parlemen mengenai kajian dekolonialisasi 1945-1950.
Pascapengakuan itu, Mark Rutte memastikan bakal segera menghubungi Presiden Joko Widodo untuk dilakukan ‘pengakuan bersama’. “Kami akan berkonsultasi dengan Presiden Indonesia Joko Widodo untuk mencapai interpretasi bersama tentang hari kemerdekaan itu,” janji Rute.
Gugatan mengenai pengakuan terhadap Proklamasi RI kepada Belanda terus menjadi topik panas lantaran selama ini Belanda mengakui kemerdekaan RI pada 27 Desember 1949 seiring penyerahan kedaulatan berdasarkan hasil Konferensi Meja Bundar.
Hal inilah yang diangkat parlemen Belanda dengan menggelar diskusi terhadap hasil penelitian bertajuk “Onafhankelijkheid, Dekolonisatie, Geweld en Oorlog in Indonesië, 1945-1950” (Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang di Indonesia, 1945-1950)
15 anggota parlemen yang masing-masing mewakili partainya mempersoalkan setidaknya tiga hal terkait penelitian itu. Pertama, soal aspek hukum. Penelitian itu cenderung menggunakan istilah “kekerasan ekstrem”, bukan “kejahatan perang”.
Kedua, adalah soal tanggung jawab dan permintaan maaf pemerintah terhadap para korban dan veteran Belanda itu sendiri. Serta ketiga, soal kompensasi dan rehabilitasi para veteran perang yang dianggap penjahat perang.
Menurut Rutte, Bangsa Indonesia memahami bahwa 17 Agustus 1945 merupakan momentum berdirinya Republik Indonesia, yang terjadi dua hari setelah berakhirnya pendudukan Jepang. Sementara itu setidaknya hingga 2005, pengakuan Belanda terhadap kemerdekaan 17 Agustus 1945 baru sebatas ‘secara politik dan moral’, tapi itu tidak pernah datang dari pengakuan penuh.
Rutte mengakui bahwa pemerintah Belanda selama ini telah memberikan perhatian penuh terhadap pengakuan kemerdekaan Indonesia tiap 17 Agustus 1945. “Misalnya, raja sudah mengirimkan telegram ucapan selamat ke Indonesia pada 17 Agustus setiap tahun,” ujar dia.
Pernyataan PM Rutte itu jadi permulaan baru untuk membuka lebih terang sejarah hubungan kedua negara. Terkait pengakuan 17 Agustus 1945,
Sebelumnya Menlu Belanda Ben Bot juga sudah mengakui proklamasi kemerdekaan itu walau secara de facto semata. Sementara pemerintah Belanda masih keukeuh menyatakan Indonesia meraih kedaulatannya pada 27 Desember 1949.
Kendati begitu, bukan berarti PM Rutte mengakui adanya kejahatan perang yang dilakukan militer Belanda selama periode 1945-1949 secara yuridis. Ia masih bersikeras menyebutnya kekerasan ekstrem dengan mendasarkan pernyataannya pada Konvensi Jenewa 1949.
“Masa kekerasan itu terjadi sebelum Konvensi Jenewa. Kesimpulannya kami tidak setuju itu kejahatan perang secara yuridis. Secara moral, ya, tapi tidak secara yuridis,” tukas Rutte. []
Penyunting : Agus P Sarjono (dari berbagai sumber)