Ketua Divisi Lingkungan Hidup di LLHPB Aisyiyah, Hening Parlan. -(Foto : Salsabila)

Memproteksi Alam dengan Kerjasama Lintas Agama di OICCA 2023

Ketua Divisi Lingkungan Hidup di LLHPB Aisyiyah, Hening Parlan. -(Foto : Salsabila)

 

SAMARINDA – UNIVERSITAS Muhammadiyah Kalimantan Timur (UMKT) turut terlibat dalam rangkaian terselenggaranya Organization Islamic Cooperation Culture Activity (OICCA) 2023 dengan menggelar konferensi internasional bertemakan “Protecting the Nature, Saving the People: An Interfaith Action” pada Senin (10/7/2023) di Aula Gedung E UMKT, Jalan Juanda Samarinda, Senin (10/07/23).

Ketua Divisi Lingkungan Hidup di Lembaga Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim (LLHPB) Aisyiyah, Hening Parlan menerangkan mengenai bagaimana kegiatan ini dapat memproteksi alam dengan kerjasama lintas agama.

“Ada beberapa pemateri yang dipanelkan dengan berbagai persfektif mengenai bagaimana peran agama dalam perubahan iklim,” ungkap Hening Parlan, aktivis yang kerap menyuarakan lingkungan di berbagai lintas agama itu.

Ia mengaku, ini bukan kali pertama dirinya menjadi pemateri bersama tokoh internasional. Tetapi Hening sangat mengapresiasi pemerintah dan beberapa universitas yang sangat antusias dengan konferensi internasional tersebut.

Apalagi lanjut dia, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menangani perubahan iklim secara global. Komitmen tersebut berupa rencana pencapaian target untuk mengurangi 29 persen emisi rumah kaca pada 2030 dan diikuti nol emisi pada 2060.

Pemerintah juga telah mensinergikan kebijakannya menuju pencapaian komitmen perubahan iklim melalui beberapa aksi. Misalnya skema keuangan, kebijakan penetapan harga karbon, dan pembiayaan campuran.

“Indonesia setidaknya membutuhkan sekitar Rp 266,2 triliun atau 18,3 juta USD tiap tahun untuk menerapkan adaptasi perubahan iklimnya,” ungkap Hening.

Dikatakan Hening, sekitar 85 persen warga dunia adalah umat beragama atau mempunyai kepercayaan. “Jika kita lihat dengan jumlah segitu besar artinya kalau ada kedesakan atau kebaikan di dunia ini harusnya kelompok atau umat beragama bisa punya peran yang sangat besar,” ujarnya.

Menyikapi hal tersebut, banyak organisasi berbasis agama menerapkan kegiatan adaptasi perubahan iklim sebagai bagian dari program kemanusiaan atau lingkungan. Salah satunya adalah Green Faith Indonesia.

Green Faith Indonesia menjadi organisasi pelopor di Indonesia yang memfasilitasi dan mengkolaborasikan dengan iman untuk mengambil tindakan bersama dalaam adaptasi perubahan iklim,” terangnya.

Hening Parlan menambahkan bahwasanya, sejak dari 2017 sebenarnya United Nations sudah mulai menghubungkan antara satu agama dan agama lain. “Dari 2017 sampai skrg sudah banyak kemajuan yang terpenting salah satunya dapat menggunakan value agamanya masung-masing guna menjadi aksi,” tambahnya.

Aksi yang dimaksud adalah sebagai umat beragama dan sebagai individu kemudian melalui keluarga hingga komunitas dapat menjadi gerakan di kemudian hari.

Adapun, melalui aksi bersama dan kolaborasi, maka mampu mendorong proses pembangunan perdamaian dan mengembangkan pemahaman bersama antar umat beragama. Termasuk memberikan pengakuan terhadap peran pemuka agama dalam hal adaptasi perubahan iklim dan mendorong anggota kelompok keagamaan untuk beraksi.

“Ini juga termasuk memperkuat peran pemuda dan kelompok perempuan dalam organisasi berbasis agama untuk secara aktif mengambil bagian dalam program adaptasi perubahan iklim,” ujarnya.

Hening berharap, Kalimantan Timur bisa menjadi salah satu model sebagai multifaith yang melakukan gerakan untuk lingkungan.

“Saya tahu di Kaltim ini secara agama sangat beragam bahkan masyarakat adatnya yang memiliki kepercayaan, sehingga kompleksitas keberagaman yang plural itu sangat menarik jika masing-masing bisa menghargai satu dan lainnya,” tandasnya.

Dengan menggunakan cara sendiri yang dapat dikombinasikan dengan cara lapangan atau bersama-sama akan semakin kaya.

“Saya pikir Kaltim jadi salah satu model jika mau dilakukan, karena selama ini yang terkenal dengan keberagaman di Kalbar dan Salatiga dua daerah itu lebih keberagaman dalam arti konflik tetapi tidak ada provinsi yang melakukan kolaborasi cukup apik untuk urusan lingkungan sehingga ini bisa jadi model,” tutupnya.

Turut hadir sejumlah mahasiswa UMKT, beberapa mahasiswa dari universitas lain, serta tamu organisasi agama-agama yang hadir secara langsung. Konferensi internasional juga berlangsung penuh dalam bahasa Inggris yang diikuti peserta secara daring. []

Penulis : Salsabila
Penyunting : Agus P Sarjono

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com