Koalisi Masyarakat Sipil Kaltim Tolak Pengesahan Revisi UU ITE

 

Agar ruang bebas berekspresi atau memberikan pendapat tidak terkekang, Koalisi Masyarakat Sipil Kaltim mendorong dihentikannya revisi Undang-undang ITE

 

SAMARINDA – SEJAK disahkan pada 2008 hingga kini menjelang revisi kedua, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah memakan banyak korban akibat muatan pasal bermasalah di dalamnya yang bisa menjerat siapa saja.

Meminjam data dari Safenet, pada 2020 tercatat ada 84 kasus pemidanaan terhadap warga net, dan 64 di antaranya menggunakan UU ITE. Lembaga terpisah seperti Amnesty International Indonesia juga memberikan catatan sejak 2019-2022, setidaknya ada 332 orang dituduh melanggar pasal-pasal bermasalah yang multitafsir dalam UU ITE.

Koordinator Pokja 30, Buyung Marajo yang tergabung di dalam Koalisi Masyarakat Sipil menerangkan, korban tidak hanya berasal dari kalangan aktivis dan pejabat publik, tetapi juga warga biasa. Bahkan dari total 332 korban adalah mayoritas warga biasa.

Buyung menegaskan bahwasannya, dari data kasus 2008-2020 yang dikumpulkan Southeast Asia Freedom of Expression Network/SAFEnet 70 persen dari pelapor adalah pejabat publik. Sisanya berasal dari kalangan pengusaha, sesama warga dan latar belakang tak jelas. Sementara korbannya paling sering ialah aktivis, jurnalis dan akademisi.

Karena itulah, dalam konferensi pers yang digelar di Jalan Kusuma Wijaya 2, Samarinda, Jumat (14/07/2023), Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Timur (Kaltim) memandang bahwa rencana pengesahan revisi UU ITE harus ditolak. Sebab, revisi tersebut tidak menyertakan pasal-pasal yang selama ini dianggap pasal karet.

Koalisi Masyarakat Sipil Kaltim sendiri menjadi tempat berhimpunnya sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang selama ini dikenal lantang menyuarakan kepentingan dan keberpihakan kepada masyarakat.

Mereka terdiri dari AJI Samarinda, YLBHI Samarinda, Pokja 30, Fraksi Rakyat Kutai Timur, KIKA Chapter Kaltim, SAKSI FH Unmul, BEM KM Unmul, FKMKPPU Samarinda, Walhi Kaltim, AMAN Kaltim, HDI Society dan Perkumpulan Nurani Perempuan.

Pertemuan Koalisi Masyarakat Sipil Kaltim di Jalan Wijaya Kusuma 2, Samarinda, Jumat (14/07/2023). Mereka dengan tegas menolak revisi UU ITE yang saat ini tengah bergulir di DPR RI dan akan disahkan dalam waktu dekat. -(Foto : Salsabila)

 

Adapun dalam siaran pers yang dibagikan kepada wartawan adalah sikap Koalisi Masyarakat Sipil Kaltim terhadap revisi UU ITE. Ada tiga poin yang disampaikan, yakni pertama, Hentikan pengesahan revisi UU ITE yang saat ini sedang berlangsung di DPR RI. Sebab dalam prosesnya, masyarakat tak dilibatkan hingga tuntas.

Tuntutan kedua adalah Cabut atau hapus pasal-pasal bermasalah dari UU ITE seperti, Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2), serta Pasal 45 dan Pasal 45A yang rentan mengkriminalkan banyak orang, mencederai alam demokrasi dan kelompok rentan.

Dan yang ketiga adalah proses revisi UU ITE kedua di DPR RI harus melibatkan masyarakat sipil. Dengan demikian ada ruang pembahasan yang bermakna dan partisipatif.

Menurut Buyung, revisi UU ITE memang diperlukan agar ruang bebas berekspresi atau memberikan pendapat tidak terkekang. Khususnya revisi terhadap sejumlah pasal yang mendapat sorotan, yakni Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) tentang pencemaran nama dan hasutan kebencian, serta Pasal 45 dan Pasal 45A tentang pemidanaan.

Di lain sisi, revisi UU ITE yang diajukan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) justru mengusulkan pasal baru, yakni Pasal 28A tentang keonaran. Pasal ini juga dinilai Buyung, berpotensi menjadi instrumen pembungkaman masyarakat sipil.

“Pembahasan perubahan regulasi terkait informasi dan transaksi elektronik ini harus bisa menjadi momentum untuk melakuan revisi menyeluruh UU ITE,” ungkap dia.

Dikatakan Buyung, revisi UU ITE seharusnya tidak hanya terbatas pada sejumlah pasal yang dianggap bermasalah versi pemerintah. Pembahasan kompreshensif kata dia, penting dilakukan untuk memastikan UU ITE nantinya benar-benar menjadi produk legislasi yang melindungi HAM, menghilangkan ketidakadilan dalam hukum, dan tidak menjadi alat kriminalisasi masyarakat.

Buyung mengungkapkan, dalam proses revisi publik tidak ada transparansi. Berdasarkan catatan Indonesian Parliamentary Center (IPC) hingga 7 Juli 2023 yang dihimpun dari pemberitaan media dan risalah rapat, setidaknya Panja Komisi 1 telah menggelar 12 kali rapat terkait revisi kedua UU ITE.

“Dari jumlah tersebut, ternyata hanya lima rapat yang diumumkan secara resmi di website DPR. Itu pun hanya mencantumkan siapa saja yang hadir tanpa menyertakan isi pembahasan,” ungkap dia.

Komisi 1 lanjut Buyung, hanya menggelar dua kali Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama perwakilan masyarakat sipil. RDPU tersebut tanpa penjelasan lebih lanjut, sejauh mana masukan masyarakat sipil diakomodasi dalam revisi kedua UU ITE.

Menurut Buyung, tertutupnya pembahasan revisi kedua UU ITE menyalahi prinsip negara demokrasi yang seharusnya membuka partisipasi bermakna bagi publik, sebuah prinsip dimana seharusnya masyarakat memiliki hak untuk didengarkan, hak untuk mendapatkan informasi, hak untuk dipertimbangkan masukkannya, hak untuk mendapatkan penjelasan, serta hak untuk mengajukan komplain.

Pasalnya, Panitia Kerja (Panja) Komisi 1 DPR RI bersama Pemerintah saat ini mempercepat pembahasan revisi kedua UU ITE. Sikap tersebut tidak serius menjawab permasalahan yang diakibatkan UU ITE.

“Inilah yang membuat gejolak penolakan terhadap pasal-pasal bermasalah tersebut kian menjadi. Itu sebab, kami dari Koalisi Masyarakat Sipil Kaltim menolak pengesahan Revisi UU ITE,” tegasnya. []

Penulis : Hernanda
Penyunting : Agus P Sarjono

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com