MANILA – Filipina, satu-satunya negara selain Vatikan yang melarang perceraian, tengah mempertimbangkan legalisasi perceraian melalui sebuah RUU baru. Negara Asia Tenggara yang dikenal “sangat Katolik” ini telah lama menghadapi tantangan dalam mengakhiri pernikahan secara hukum, bahkan dalam kasus perselingkuhan atau kekerasan dalam rumah tangga.
Michelle Bulang, seorang ibu dari empat anak yang tinggal di provinsi Rizal, meninggalkan suaminya yang kasar enam tahun lalu. Namun, ia tidak bisa menceraikannya karena proses pembatalan yang mahal dan rumit.
“Saya hanya ingin merasakan kebahagiaan,” ujar Bulang, seperti dilansir dari Al Jazeera. RUU Perceraian Mutlak yang disahkan DPR pada bulan Mei kini menunggu persetujuan Senat. Jika disahkan, perceraian akan menjadi sah di negara yang sangat dipengaruhi oleh ajaran Katolik ini. AJ Alfafara, ketua pelaksana Koalisi Perceraian PILIPINAS, optimis bahwa kali ini RUU tersebut memiliki peluang besar untuk disahkan.
Presiden Ferdinand Marcos Jr telah menyatakan keterbukaannya terhadap legalisasi perceraian sejak menjabat pada tahun 2022. Sebuah survei oleh Social Weather Stations pada bulan Maret menunjukkan bahwa 50 persen orang dewasa Filipina mendukung legalisasi perceraian, sementara 31 persen menentangnya.
Meskipun warga Filipina dapat mengajukan pemisahan secara hukum atau pembatalan pernikahan, proses ini sangat mahal dan teknis. Biaya pengacara untuk mengajukan pembatalan bisa mencapai 4.000 dollar AS, belum termasuk biaya per sidang sekitar 100 dollar AS. Hal ini membuat banyak orang terjebak dalam pernikahan yang tidak bahagia.
Penentangan terhadap perceraian juga datang dari lobi Katolik konservatif yang kuat dan berpengaruh, termasuk Iglesia ni Cristo. Gereja ini melarang perceraian di antara umatnya dan memiliki pengaruh besar terhadap pilihan politik jemaatnya. []
Redaksi08