JAKARTA – Kerja komunikasi berbasis data yang juga mensyaratkan penguasaan teknologi adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat dipungkiri. “Di era digital ini, kita semua bergelut dengan big data dan komunikasi dua arah yang sangat intens. Sehingga strategi PR pun harus adaptif,” ujar Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Budi Arie Setiadi dalam acara the Iconomics 5th Indonesia Public Relations Summit 2024 – PR Forum & PR Awards 2024 “Consolidation for Reputation (09/08). Budi mengatakan bahwa hal tersebut beriringan dengan risiko kejahatan siber, penyalahgunaan data pribadi, penipuan, hingga maraknya judi online.
“Oleh karenanya, Kementerian Komunikasi dan Informatika pun bersikap responsif dengan cara memperkuat sistem data, bekerjasama lebih erat dengan pengelola platform media sosial dan operator seluler – salah satunya untuk mencegah transaksi berbasis pulsa. Hal-hal seperti inilah yang perlu dilakukan oleh dunia komunikasi dan informatika saat ini,” imbuhnya.
Forum ini menghadirkan sejumlah pejabat pemerintah, praktisi dan tokoh senior sebagai key note speaker dan pembicara panel baik luring maupun daring, antara lain Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, Sandiaga Uno; Kepala Staf Kepresidenan Republik Indonesia, Moeldoko; Ketua Umum Perkumpulan Humas (PERHUMAS), Boy Kelana; Ketua Umum Public Affairs Forum Indonesia (PAFI), Agung Laksamana; Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Public Relations Indonesia (APPRI), Sari Soegondo; CEO Nexus Risk Mitigation & Strategic Communication, Firsan Nova; Pendiri Cyrus Network, Hasan Nasbi; serta Founder & CEO Theiconomics, Bram S. Putro.
Jelang pergantian kabinet Republik Indonesia di bulan Oktober mendatang, Ketua Umum PAFI Agung Laksamana mengatakan, “Para praktisi PR perlu menyajikan insights dan memberikan masukan kepada kabinet baru melalui berbagai saluran.” Ia juga menyoroti tren unik bahwa perilaku publik kini bergerak terbalik, tidak lagi mempublikasikan dan mendiskusikan pembicaraan politik atau bertukar wacana serius di media sosial, melainkan membawanya ke ranah yang lebih personal dan terbatas seperti WhatsApp Group, untuk menghindari debat yang terbuka. Sementara media sosial, menurutnya, kini lebih suka dipenuhi dengan konten ringan yang lucu dan menghibur.
Sementara Ketua Umum APPRI Sari Soegondo mengingatkan bahwa PR perlu terbiasa berpikir strategis untuk mencapai tujuan tertinggi dari organisasi. Sari menjelaskan, “PR perlu memahami dan menguasai kerja kehumasan secara holistik sebagai bagian dari fungsi manajemen strategis. Sehingga ia perlu menguasai pengetahuan dan mengikuti tren perkembangan sektor, serta bekerja dengan semua kelompok pemangku kepentingan – dan bukan hanya dengan insan media.” PR tentunya perlu menguasai teknologi yang terus bertransformasi serta merujuk pada data dan rasional sebelum memulai kerja. “Hal ini termasuk menetapkan formula pengukuran keberhasilan kerja humas secara menyeluruh. Ini berarti PR harus mau menanam investasi untuk melakukan riset sebelum dan setelah suatu program kerja berakhir,” tambahnya. APPRI pun saat ini mendorong strategi PR yang lebih terintegrasi untuk dapat mendorong perubahan perilaku dan konversi sikap, misalnya berkontribusi pada angka penjualan, sehingga sumbangsihnya tidak berhenti di tataran peningkatan kesadartahuan publik saja.
Director of Brand, Research and Strategy the iConomics Alex Mulia menyambung, “PR dapat mengajukan pertanyaan riset atau problem statement yang tajam, untuk dapat mengukur kesuksesan kerjanya. Apakah itu terkait brand equity yang umumnya terdiri dari brand awareness, brand image, brand satisfaction, dan brand loyalty, atau pun terkait customer satisfaction dan net promoter score.” Alex menegaskan bahwa penetapan tujuan riset dan metodologi yang tepat akan mempengaruhi keberhasilan riset.
CEO Nexus Risk Mitigation & Strategic Communication, Firsan Nova berulang kali menyatakan bahwa PR harus membiasakan diri melakukan analisis risiko secara rutin, siap dengan rencana manajemen isu, manajemen krisis dan manajemen pemulihan reputasi. “Krisis terjadi karena PR tidak berhasil memitigasi risiko dan isu, sehingga berkembang menjadi kontraproduktif bagi organisasi. Krisis terjadi karena ada kesenjangan antara harapan dan kenyataan, antara demand dan supply, serta antara kebutuhan dan ketersediaan sumber daya.” Oleh karenanya Firsan, yang juga adalah Ketua Bidang Hukum dan Kebijakan APPRI di kepengurusan 2021-2024, menggarisbawahi kemampuan PR untuk bersikap kritis dan antisipatif. []
Redaksi08