JAKARTA – Drama revisi Undang-Undang Pilkada oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), selepas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah, dianggap memperlihatkan kejanggalan soal pemahaman prinsip demokrasi di sebagian besar partai politik yang duduk di parlemen.
“Saya terus terang sebagai orang yang mempelajari partai politik ini tanda tanya besar terhadap parpol kita,” kata Peneliti Senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof. Firman Noor dalam program Obrolan Newsroom di Kompas.com, Rabu (21/08/2024).
“Dan saya agak malu kalau berdialog dengan ilmuwan-ilmuwan politik di luar karena ternyata negara begini amat situasinya,” sambung Firman.
Dengan adanya revisi UU Pilkada terkait ambang batas pencalonan kepala daerah, Firman menilai yang akan terdampak adalah proses kaderisasi partai akan terhambat.
“Karena buat apa kaderisasi partai dilakukan kalau toh memilih kandidat partai lain. Ini kan juga aneh,” ujar Firman.
“Saya heran juga apakah tidak disadari? Atau memang ini suatu bukti bahwa kita bikin partai hanya untuk mengusung 1-2 orang untuk berkuasa,” sambung Firman.
Firman melanjutkan, jika proses kaderisasi di partai politik terhambat, dampak yang muncul kemudian adalah menguatnya praktik politik uang yang akhirnya juga merugikan partai itu.
“Karena akan semakin mahal (ongkos politik). Pendidikan politik yang seharusnya diemban oleh partai politik makin terbengkalai. Kemudian menguatnya oligarki karena politik semakin mahal yang ujungnya menghancurkan idealisme partai itu sendiri,” papar Firman.
Pada Selasa (20/8/2024) lalu MK memutuskan ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah tidak lagi sebesar 25 persen perolehan suara partai politik/gabungan partai politik hasil Pileg DPRD sebelumnya, atau 20 persen kursi DPRD.
Dalam putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 disebutkan, threshold pencalonan kepala daerah dari partai politik disamakan dengan pencalonan kepala daerah jalur independen/perseorangan/nonpartai sebagaimana diatur pada Pasal 41 dan 42 UU Pilkada.
Eks Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang sebelumnya kehabisan partai politik dengan perolehan suara 20 persen pada Pileg DPRD DKI Jakarta otomatis punya harapan.
Sebab, berdasarkan putusan MK ini, threshold pencalonan gubernur Jakarta hanya membutuhkan 7,5 persen suara pada pileg sebelumnya.
PDI-P yang juga tidak bisa mengusung siapa pun karena tidak punya rekan untuk memenuhi ambang batas 20 persen, kini bisa melaju sendirian.
Adapun PDI-P, satu-satunya partai politik di Jakarta yang belum mendeklarasikan calon gubernur, memperoleh 850.174 atau 14,01 persen suara pada Pileg DPRD DKI Jakarta 2024.
Akan tetapi, sehari setelah putusan MK, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui Badan Legislasi (Baleg) langsung bergerak membentuk Panitia Kerja (Panja) melakukan revisi UU Pilkada.
Dalam sidang Panitia Kerja (Panja) revisi UU Pilkada Baleg DPR pada Rabu (21/8/2024), putusan MK diakali dengan membuat pelonggaran threshold itu hanya berlaku buat partai politik yang tak punya kursi DPRD.
Ketentuan itu menjadi ayat tambahan pada Pasal 40 revisi UU Pilkada yang dibahas oleh panja dalam kurun hanya sekitar 3 jam rapat.
Sementara itu, Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada yang mengatur threshold 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah pileg tetap diberlakukan bagi partai-partai politik yang memiliki kursi parlemen.
“Disetujui Panja 21 Agustus 2024 Usulan DPR pukul 12.00 WIB,” tulis draf revisi itu. []
Redaksi08