JAKARTA – Ketua Bidang Energi dan sumber daya alam di DPP PKB, Daniel Johan, meminta pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) mempertimbangkan ulang kebijakan yang mengizinkan kembali ekspor pasir laut setelah ditutup selama lebih 20 tahun.
Menurut Daniel, keputusan membuka kembali ekspor pasir laut itu bisa berdampak pada ekologi laut dan menimbulkan masalah sosial.
Dia yang juga anggota Komisi IV DPR Fraksi PKB itu mengingatkan penambangan pasir laut untuk diekspor bisa menimbulkan permasalahan dalam berbagai aspek kehidupan alam dan masyarakat.
“Dibukanya keran ekspor pasir laut ini memiliki banyak dampak, baik pada lingkungan dan sosial. Terutama terhadap lingkungan laut yang berdampak secara serius,” tutur Daniel dalam keterangannya, Senin (23/9).
Daniel merinci dampak serius yang dapat terjadi pada lingkungan laut Indonesia dengan adanya penambangan pasir laut seperti degradasi terumbu karang karena ekstraksi pasir laut dapat merusak habitat laut. Dampak serius lainnya adalah penurunan kualitas air dikarenakan aktivitas penggalian dapat menyebabkan pencemaran dan perubahan kualitas air laut.
“Pengambilan pasir laut juga dapat mempercepat erosi pantai dan mengubah bentuk garis pantai serta mengganggu habitat spesies laut yang bergantung pada substrat dasar laut untuk berkembang biak,” jelas Daniel.
“Kebijakan ini pun dapat menyebabkan penurunan populasi spesies sebab aktivitas penggalian dapat mengancam spesies yang tinggal di area tersebut. Belum lagi adanya potensi besar gangguan jaring makanan laut karena perubahan lingkungan dapat mempengaruhi rantai makanan di ekosistem laut,” tambahnya.
Selain mengancam lingkungan hidup, Daniel menerangkan berbagai dampak sosial yang dapat ditimbulkan dengan diterapkannya kembali kebijakan ekspor pasir laut Indonesia. “Penambangan pasir laut dalam skala besar bukan hanya dapat menghancurkan ekosistem laut, tapi juga berdampak langsung pada hasil tangkapan ikan dan kesejahteraan nelayan,” kata Daniel.
Daniel juga mengingatkan dampak besar lainnya dari kebijakan penambangan pasir untuk diekspor, yakni hilangnya pulau-pulau kecil Indonesia seperti yang sudah pernah terjadi sebelumnya.
“Kejadian pulau-pulau kecil akan hilang seperti 20 tahun yang lalu selama proses penambangan pasir laut yang diekspor akan terulang,” kata Legislator dari Dapil Kalimantan Barat I tersebut.
Tak ada pelibatan Komisi IV DPR
Daniel juga menyatakan sampai aturan tersebut dikeluarkan, Komisi IV DPR RI sebagai mitra kerja Pemerintah yang mengurusi bidang lingkungan hidup tidak dilibatkan dalam pembahasan terkait peraturan ini.
“Minimal informasi terkait landasan pembuatan peraturannya itu apa, kami Komisi IV kita tidak tahu, apalagi larangan ekspor pasir laut sudah 20 tahun tidak diperbolehkan,” ujar anggota dewan dari dapil di Kalimantan Barat tersebut.
“Masyarakat mempertanyakan adanya peraturan ini. Terutama para pecinta lingkungan, mereka ramai-ramai ‘berteriak’ menolak kebijakan ekspor pasir laut,” lanjut dia.
Oleh karena itu lah, dia kembali meminta pemerintahan Jokowi untuk meninjau ulang aturan membuka lagi ekspor pasir laut tersebut.
“Kami mewanti-wanti pemerintah untuk kembali mempertimbangkan kebijakan ini karena ekspor pasir bisa menyebabkan ekologi laut terancam bencana! Dan bila terjadi bencana ekologi, itu bisa merugikan Indonesia berkali-kali lipat dibandingkan keuntungan yang didapat,” kata Daniel.
Larangan ekspor pasir laut yang sudah berjalan selama sekitar lebih dari 20 tahun lalu–sejak masa kepemimpinan Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri–kini disebut dibuka kembali di ujung masa kepresidenan Jokowi pada 2024 ini.
Pembukaan kembali ekspor pasir laut diatur lewat Permendag 20/2024 dan Permendag 21/2024 yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Berdasarkan aturan tersebut, Jokowi memberikan ruang kepada sejumlah pihak untuk mengeruk pasir laut sebagai upaya pengendalian hasil sedimentasi di laut. Belakangan Jokowi berdalih yang diekspor itu bukanlah pasir laut, melainkan hasil sedimentasi laut.
“Yang dibuka itu sedimen, sedimen yang mengganggu alur jalannya kapal. Sekali lagi bukan, kalau diterjemahkan pasir, beda lho ya,” kata Jokowi di Menara Danareksa, Jakarta Pusat, Selasa (17/9).
“Sedimen itu beda, meskipun wujudnya juga pasir, tapi sedimen. Coba dibaca di situ, sedimen,” imbuh pria yang akan mengakhiri masa jabatannya pada Oktober mendatang.
Namun, keputusan Jokowi membuka kembali ekspor tersebut setelah dilarang di masa pemerintahan dua presiden sebelumnya–Megawati dan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama dua periode–terlanjur menuai beragam tanggapan dari berbagai pihak yang terdampak.
Berbagai keberatan dilayangkan atas langkah pemerintahan Jokowi itu, baik dari nelayan, pemerhati lingkungan, LSM, Susi Pudjiastuti yang eks menteri Jokowi di KKP, hingga PDIP dan Gerindra. []
Redaksi08