Mengetuk Keadilan dari Tragedi Keracunan Massal Sebulu Ulu

SEBULU – SUASANA tegang menyelimuti Balai Pertemuan Umum (BPU) Desa Sebulu Ulu, Kecamatan Sebulu, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Selasa (8/10/2024). Pagi itu, digelar mediasi terkait insiden keracunan massal yang menimpa warga usai menyantap konsumsi kegiatan keagamaan di desa itu pada 14 September lalu.

Peristiwa yang awalnya dianggap insiden tak terduga itu, kini telah berkembang menjadi simbol ketidakadilan, perlambatan, dan kurangnya perhatian terhadap nasib korban yang masih bergulat dengan dampak fisik dan psikologis.

Keracunan massal itu merupakan peristiwa luar biasa. Sebanyak 255 warga yang hadir dalam acara keagamaan saat itu menjadi korban. Keadaan semakin mencekam setelah dua warga dikabarkan meninggal dunia akibat tragedi tersebut.

Kini, nyaris sebulan berlalu. Namun warga masih merasakan trauma yang mendalam. Beberapa diantaranya bahkan masih merasakan dampak dari keracunan yang menurut hasil uji laboratorium Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Kukar, makanan yang dikonsumsi warga terkontaminasi bakteri Salmonella.

Sayangnya, warga merasa tidak ada perhatian dari pihak terkait terhadap permasalahan tersebut. Kekecewaan warga yang merasa berjuang sendiri mengatasi insiden itu, kini bertransformasi menjadi kekecewaan mendalam, terutama bagi keluarga korban yang terus memperjuangkan haknya,

Di depan forum mediasi, seorang pria muda angkat bicara mewakili keluarganya. Orang tuanya turut menjadi salah satu dari ratusan korban yang masih merasakan dampak serius dari keracunan tersebut. Dengan suara yang sedikit bergetar, ia menyampaikan unek-unek yang selama ini tertahan.

“Kami tidak menyalahkan siapa pun, tapi proses ini terlalu lama. Kondisi bapak saya belum pulih, tapi kami tidak tahu bagaimana kelanjutannya. Kami butuh kejelasan, bukan janji-janji yang terus tertunda,” ucapnya.

 

Kata-katanya disambut dengan anggukan penuh simpati dari warga lain yang mengalami hal serupa. Keluarga-keluarga yang masih merawat anggota mereka yang terdampak merasa diabaikan. Meski tenaga medis telah berupaya semaksimal mungkin, kekosongan informasi terkait langkah-langkah medis lanjutan dan kompensasi membuat banyak pihak merasa tidak diperhatikan.

Kepala Desa Sebulu Ulu Zulhaidir yang hadir dalam pertemuan itu dengan tenang berusaha menjelaskan, pihak desa siap memberikan bantuan, meski keputusan terkait kompensasi masih harus mengikuti prosedur hukum.

“Kami tidak ingin melanggar aturan. Tapi, kami juga memahami apa yang dirasakan oleh warga. Kami berjanji akan mencari solusi terbaik,” ujarnya. Namun, bagi sebagian warga, janji tersebut terdengar hampa setelah sebulan penuh tanpa tindakan nyata.

Di sisi lain, pihak kepolisian turut hadir dalam upaya menengahi konflik ini. Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek) Sebulu AKP Heru Erkahadi menegaskan komitmennya untuk mengawal proses hukum jika diperlukan.

“Mediasi adalah langkah pertama, tetapi kami tidak akan menutup jalan hukum jika warga menginginkannya,” katanya dengan tegas.

Insiden keracunan massal ini telah mengungkap sisi lain dari dinamika masyarakat Desa Sebulu Ulu -bahwa dalam krisis, masyarakat tak hanya mencari kesembuhan fisik, tapi juga keadilan.

Setiap korban memiliki cerita, setiap keluarga memendam rasa cemas yang tidak terucapkan. Dan di tengah semua itu, mereka berjuang untuk mendapatkan kepastian: bukan hanya soal siapa yang harus bertanggung jawab, tetapi juga bagaimana kehidupan mereka dapat pulih dari luka yang tak kasat mata.

Bagi masyarakat Sebulu Ulu, kasus ini menjadi pelajaran pahit tentang pentingnya ketanggapan dalam menangani masalah kesehatan publik. Transparansi, tindakan cepat, dan keadilan kini menjadi tiga pilar yang mereka nantikan. Harapan akan pemulihan tidak hanya dalam bentuk kesehatan fisik, tetapi juga dalam kembalinya rasa percaya kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab.

Bayangan peristiwa 14 September masih menghantui. Para korban, yang sebagian besar adalah keluarga sederhana, masih terus berjuang, berharap agar suara mereka didengar lebih keras. Dan di balik setiap kata yang terucap dalam mediasi ini, tersimpan harapan besar: bahwa suatu hari nanti, keadilan akan hadir untuk menyembuhkan luka mereka, lebih dari sekadar janji. []

Nur Rahma Putri Aprilia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com