JAKARTA – Kasus polisi tembak polisi terjadi di Solok Selatan, Sumatera Barat, pada Jumat (22/11) dini hari. Insiden itu menewaskan Kasat Reskrim AKP Ulil Ryanto usai terkena tembakan Kabag Ops AKP Dadang Iskandar.
Peristiwa ini disoroti publik lantaran terjadi antara aparat penegak hukum yang seharusnya menjaga keamanan masyarakat.
Berdasarkan keterangan Kapolda Sumatera Barat Irjen Suharyono, peristiwa penembakan dari jarak dekat tersebut, karena pelaku tak setuju dengan penegakan hukum yang dilakukan korban terhadap tambang-tambang ilegal di wilayah Solok Selatan.
Pelaku pun sudah menyerahkan diri dan ditetapkan sebagai tersangka. Sedangkan senjata yang digunakan oleh pelaku diketahui berupa senjata api berisi 15 peluru, di mana sembilan di antaranya digunakan untuk menembak korban.
Lantas, bagaimana sebenarnya aturan atas kepemilikan dan penggunaan senjata oleh anggota kepolisian?
Penggunaan senjata api telah diatur ketat dalam Perkapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 47 ayat (1) dalam Perkapolri itu menyatakan bahwa senjata api hanya boleh digunakan untuk melindungi nyawa manusia.
Ayat selanjutnya menyebutkan sejumlah situasi yang mengizinkan penggunaan senjata api, antara lain:
Dalam hal menghadapi keadaan luar biasa;
Membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat;
Membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat;
Mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa orang;
Menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa; dan
Menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana langkah-langkah yang lebih lunak tidak cukup.
Sebelum melepaskan tembakan, polisi juga diwajibkan memberikan tembakan peringatan ke udara atau tanah (Pasal 15). Namun, dalam situasi darurat yang mengancam keselamatan jiwa, peringatan ini dapat diabaikan (Pasal 48 huruf c).
Melengkapi aturan tersebut, Peraturan Kepolisian Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perizinan Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api Standar Kepolisian Negara Republik Indonesia, anggota Polri yang ingin memiliki senjata api organik untuk menjalankan tugasnya harus memenuhi beberapa persyaratan.
Salah satunya dalam perizinan pembelian senjata api. Dalam Pasal 5, dijelaskan bahwa seorang petugas kepolisian harus memenuhi syarat:
Memiliki sertifikat pengguna akhir dari Kepala Satuan Kerja pengguna;
Memiliki surat keterangan pengadaan barang dari Kepala Badan Intelijen Keamanan Polri, untuk pembelian dalam negeri; dan
Memiliki surat keterangan sebagai importir dari Kepala Badan Intelijen Keamanan Polri, untuk pembelian luar negeri.
Senjata api yang digunakan anggota Polri pun harus melalui serangkaian persyaratan ketat seperti diatur dalam Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan. Hal ini mencakup tes psikologi, izin tertulis dari keluarga, hingga pengawasan berkala oleh atasan.
Kemudian, syarat diperbolehkannya seorang anggota Polri untuk menggunakan senjata api diatur dalam Pasal 8, yakni memiliki surat rekomendasi dari atasan langsung, surat keterangan lulus tes psikologi Polri dan surat keterangan sehat dari dokter Polri.
Penggunaan kekuatan senjata tersebut harus mematuhi prinsip legalitas, keperluan, dan proporsionalitas. Apabila senjata api tidak digunakan semestinya, anggota yang bersangkutan dapat dikenai sanksi administratif, pidana, atau kode etik.
Sanksi administratif dapat berupa teguran lisan atau tertulis, penundaan kenaikan pangkat, hingga pemecatan dari institusi Polri.
Sementara itu, sanksi pidana akan diterapkan jika pelanggaran melibatkan tindak kejahatan atau penyalahgunaan senjata api.
Pada prinsipnya, penggunaan senjata api oleh anggota Polri atau aparat penegak hukum lainnya dalam menjalankan tugas adalah langkah terakhir untuk mencegah ancaman yang mengancam jiwa atau keselamatan.
Aparat penegak hukum yang diperbolehkan menggunakan senjata api termaktub dalam Perpol Nomor 1 Tahun 2022 Pasal 16 yang mengizinkan penggunaan senjata api nonorganik oleh petugas Polsus, PPNS, Satpam, hingga Satpol PP dengan syarat memiliki Kartu Izin Penguasaan Pinjam Pakai yang diterbitkan Kepolisian Daerah.
Namun jika digunakan di luar lingkungan kerja, harus dilengkapi surat izin penggunaan tambahan.
Penggunaan senjata api di luar lingkungan kerja diperbolehkan untuk keperluan bela diri yang diatur dalam Peraturan Kapolri (Perkapolri) Nomor 18 Tahun 2015, dengan ketentuan sebagai berikut:
Peluru tajam: Minimal pangkat Komisaris Polisi/Mayor TNI/IV.a.
Peluru karet: Minimal pangkat Inspektur Polisi/Letnan TNI/III.a.
Peluru gas: Minimal pangkat Brigadir Polisi/Sersan TNI/II.a.
Lebih lanjut, maksimal kepemilikan senjata api untuk bela diri adalah dua pucuk per individu.
Polisi Tembak Polisi, AKP Ulil Baru Setahun di Polres Solok Selatan
Untuk pertanggungjawabannya, setiap tindakan yang menggunakan senjata api harus dilaporkan secara rinci, termasuk memberikan bantuan medis kepada korban dan memberitahukan pihak keluarga korban.
Menurut Pasal 49 ayat (2) Perkapolri Nomor 8 Tahun 2009, polisi yang menggunakan senjata api wajib membuat penjelasan rinci tentang alasan penggunaan, tindakan yang diambil, dan akibat yang ditimbulkan.
Setiap anggota Polri bertanggung jawab secara individu atas penggunaan senjata api dalam tindakan kepolisian berdasarkan Pasal 13 ayat (1).[]
Redaksi