Kasus Polisi Tembak Polisi: AKP Dadang Ditetapkan Tersangka, Diduga Terkait Tambang Ilegal

JAKARTA – Pengamat kepolisian Rangga Afianto menyebut perlu dilakukan evaluasi secara personal terhadap para anggota Polri khususnya dari sisi pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM).

Hal ini terkait kasus polisi tembak polisi yang kembali terulang. Teranyar, adalah kasus penembakan Kabag Ops Polres Solok Selatan AKP Dadang Iskandar terhadap Kasat Reskrim Kompol Anumerta Ulil Ryanto Anshari.

Menurut Rangga, titik berat evaluasi dilakukan pada mekanisme pembinaan dan kelayakan psikis dan psikologis. Ini dipadukan dengan kompetensi para personel polisi baik di tingkat atas yaitu Asisten SDM Kapolri sampai dengan tingkatan Biro SDM yang berada di wilayah.

Kelayakan kapabilitas dan mentalitas personel menjadi sebuah hal yang seringkali terabaikan dalam pengelolaan SDM Polri. Sebab, kata dia, penempatan tugas dan jabatan yang didasarkan pada ‘atensi’ atau ‘titipan’ seringkali mengabaikan aspek kelayakan.

“Di kasus Sumbar, pelaku penembakan dapat kita simpulkan adalah contoh dari personel Polri yang memiliki gangguan psikis dan psikologis oleh karena irisan masalah pribadi yang tidak bisa dipisahkan dari kepentingan polisi,” kata Rangga lewat keterangan tertulis, Senin (25/11).

Rangga juga menyoroti soal kelayakan penguasaan senjata api (Senpi) bagi anggota Polri. Diketahui, senpi yang digunakan Dadang untuk menembak Kasat korban merupakan senjata organik yang seharusnya digunakan untuk menegakkan hukum.

Rangga menyebut aksi penembakan yang dilakukan Dadang menjadi catatan penting bagi biro personel dalam mengeluarkan dan monitoring terhadap kelayakan penguasaan senjata api bagi para personel Polri yang dibekali senjata api tersebut.

“Perlu dievaluasi secara secara berkala dari para personel yang dibekali, apakah yang bersangkutan masih dalam kondisi mentalitas baik psikis dan psikologis yang matang melalui berbagai instrumen pengecekan yang tersedia,” tuturnya.

Lebih lanjut, Rangga juga menggarisbawahi isu backing mafia tambang ilegal yang muncul di balik kasus polisi tembak polisi ini.

Rangga menilai ada tarik menarik kepentingan dan upaya penegakan hukum antara kewenangan yang berada di pusat atau pucuk pimpinan (Bareskrim maupun Polda) dengan kewenangan yang berada di wilayah (Polres) ataupun sebaliknya.

Menurutnya, ini menjadi masalah yang sering muncul dalam upaya pemberantasan segala bentuk bisnis-bisnis ilegal yang ada.

Rangga menuturkan benturan kepentingan inilah yang menjadi cikal bakal dari konflik internal di Polri sehingga berujung pada pengaruh kondisi mentalitas baik psikis dan psikologis anggota.

Di kasus Solok Selatan Sumbar, lanjut dia, terlihat dugaan ada kekhawatiran dari pelaku bahwa apabila tindakannya selama ini untuk melindungi tambang ilegal akan ikut terungkap, sehingga dengan emosi menghabisi korban yang akan membongkar kasus tersebut.

“Kondisi ini lah yang dalam kajian ilmu kepolisian disebut dengan ‘Over Paranoid’ dan ‘Code of Silence’,” ucap Rangga.

Rangga menyebut ‘over paranoid’ dan ‘code of silence’ di kasus Solok Selatan bisa diartikan ada kekhawatiran berlebih dari pelaku untuk melindungi kesalahan karena adanya tekanan dan cenderung melakukan pengkondisian terhadap tindakan kejahatan yang dilakukan oleh para oknum personel kepolisian.

“Ironisnya di kasus yang terjadi di Sumbar, kedua fenomena tersebut berjalan berdampingan dengan ketidaklayakan mentalitas dari pelaku sehingga tidak mampu mengendalikan dirinya,” ujarnya.

Rangga juga menyebut segala bentuk dan jenis backing oknum-oknum anggota Polri terhadap bisnis-bisnis ilegal perlu didalami secara komprehensif dan berkesinambungan.

Kata dia, kepentingan penegakan hukum harus ditempatkan pada strata tertinggi diatas kepentingan pribadi maupun irisan bisnis dari para personel Polri.

Rangga juga berharap peran serta dari seluruh instrumen pengawasan Polri. Dari sisi internal yaitu Propam, Itwasum,maupun dari sisi eksternal yaitu Kompolnas, Komisi III DPR-RI hingga masyarakat.

“Gugurnya AKP Ulil Anshar harus menjadi tamparan keras bagi institusi Polri untuk berbenah diri,” kata Rangga yang merupakan Kandidat Doktor Ilmu Kepolisian STIK-PTIK.

Kasat Reskrim Polres Solok Selatan Kompol Anumerta Ulil Riyanto Anshari menjadi korban penembakan yang dilakukan Kabag Ops AKP Dadang Iskandar di Mapolres Solok Selatan, Jumat (22/11).

Kini, Dadang telah ditetapakn sebagai tersangka dan ditahan. Ia dijerat Pasal 340 KUHP subsider Pasal 338 KUHP dan Pasal 351 KUHP ayat 3 dengan ancaman maksimal hukuman mati.

Kapolda Sumatera Barat Irjen Suharyono menyebut peristiwa itu terjadi karena sikap AKP DI yang tidak terima terhadap penegakan hukum yang dilakukan korban terhadap tambang-tambang ilegal di Solok Selatan.Kata dia, kepentingan penegakan hukum harus ditempatkan pada strata tertinggi diatas kepentingan pribadi maupun irisan bisnis dari para personel Polri.

Rangga juga berharap peran serta dari seluruh instrumen pengawasan Polri. Dari sisi internal yaitu Propam, Itwasum,maupun dari sisi eksternal yaitu Kompolnas, Komisi III DPR-RI hingga masyarakat.

“Gugurnya AKP Ulil Anshar harus menjadi tamparan keras bagi institusi Polri untuk berbenah diri,” kata Rangga yang merupakan Kandidat Doktor Ilmu Kepolisian STIK-PTIK.

Kasat Reskrim Polres Solok Selatan Kompol Anumerta Ulil Riyanto Anshari menjadi korban penembakan yang dilakukan Kabag Ops AKP Dadang Iskandar di Mapolres Solok Selatan, Jumat (22/11).

Kini, Dadang telah ditetapakn sebagai tersangka dan ditahan. Ia dijerat Pasal 340 KUHP subsider Pasal 338 KUHP dan Pasal 351 KUHP ayat 3 dengan ancaman maksimal hukuman mati.

Kapolda Sumatera Barat Irjen Suharyono menyebut peristiwa itu terjadi karena sikap AKP DI yang tidak terima terhadap penegakan hukum yang dilakukan korban terhadap tambang-tambang ilegal di Solok Selatan.[]

Redaksi10

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com