PONTIANAK (Beritaborneo.com)-Mashur, salah satu politisi yang sekarang menjadi ketua partai politik di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat, disebut-sebut ikut terseret dalam kasus dugaan korupsi pengadaan gerobak bantuan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) senilai Rp76 miliar di Kementerian Perdagangan (Kemendag) Tahun Anggaran 2018-2019.
Menurut sumber Beritaborneo.com, selain Mashur, seorang pengusaha berinisal BO juga dikabarkan ikiut terlibat. Keduanya bersama-sama beberapa kali mendatangi Bareskrim Polri di Jakarta untuk menjalani pemeriksaan.
Mashur diketahui secara aklamasi terpilih menjadi ketua salah satu partai politik di Kabupaten Melawi pada rapat di Pontianak, Minggu 4 Juli 2021 silam. Mashur awalnya bukan sebagai kader di partai politik yang sekarang dinakhodainya itu.
Selain memiliki kekayaan yang cukup melimpah, Mashur juga dikenal memiliki akses atau jaringan ke banyak pejabat penting di berbagai kementerian di Jakarta, terutama dengan Kementerian Perdagangan.
Dari rekam jejaknya, Mashur pada 2014 lalu diketahui sempat ditangkap pihak kepolisian atas tuduhan pemerasan dan penipuan terhadap terdakwa kasus pungutan liar di Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Entikong, Syafrudin.
Saat itu Mashur merupakan politikus Partai Persatuan Pembangunan yang terpilih sebagai anggota DPRD Kalbar periode 2014-2019 dari daerah pemilihan Sintang.
Menurut keterangan polisi, Mashur menipu dan memeras Syafrudin dengan menjanjikannya bisa lepas dari kasus PPLB Entikong. Pada Januari 2014, MS mengaku bisa melepaskan Syafrudin yang saat itu tengah diperiksa sebagai tersangka oleh Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI dengan syarat menyetor uang kepadanya Rp4 miliar.
Karena takut, keluarga Syafrudin menyanggupi permintaan Mashur dan menyetor uang Rp2,7 miliar. Uang ini diserahkan di sebuah hotel di Jakarta. Tetapi, setelah uang tersebut disetorkan, Syafrudin ternyata tetap diperiksa dan akhirnya disidangkan di pengadilan. Keluarga Syafrudin pun melaporkan kejadian ini kepada polisi.
Sebelum akhirnya ditangkap, MS sempat masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) atas kasus pemerasan dan penipuan.
Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, ESDM Pemprov Kalbar, Syarif Kamaruzaman mengaku dirinya sempat beberapa kali dihubungi pihak media terkait adanya dugaan keterlibatan sejumlah pejabat dalam kasus dugaan korupsi pengadaan gerobak bantuan UMKM di Kemendag ini.
“Saya sudah menjelaskan bahwa Provinsi Kalbar tidak menerima pelimpahan proyek gerobak tersebut dari pusat. Prgram bantuan gerobak itu setahu saya disalurkan langsung ke pemerintahan kota dan kabupaten dan ketika program itu ada, saya juga belum menjabat sebagai kepala dinas,” jelasnya.
Seperti diketahui, Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dittipidkor) Bareskrim Polri saat ini tengah menyelidiki dugaan tindak pidana korupsi pengadaan bantuan gerobak untuk pelaku UMKM senilai Rp76 miliar di Kemendag Tahun Anggaran 2018-2019. Namun, hingga kini penyidik masih kumpulkan bukti untuk menetapkan tersangka.
“Teman-teman masih bekerja dan dalam rangka penguatan alat bukti. Jika alat bukti cukup dan kuat kita akan tetapkan tersangka,” kata Direktur Tindak Pidana Korupsi Bareskrim, Brigjen Cahyono Wibowo, belum lama ini.
Penyidikan kasus ini berdasarkan pengaduan masyarakat. Sebab, ada masyarakat yang melaporkan tidak mendapatkan bantuan pemerintah berupa gerobak dari Kementerian Perdagangan periode 2018 sampai 2029.
Kasus tersebut sudah naik ke tahap penyidikan sejak 16 Mei 2022. Polisi menduga ada mark up atau penggelembungan, dan pengadaan gerobak fiktif.
“Setelah kita dalami, maka kita tingkatkan penyidikan pada 16 Mei 2022. Itu menjadi dasar kita,” kata Cahyono.
Cahyono menjelaskan dalam proses penyelidikan pihaknya sudah memanggil 20 saksi. Pihaknya juga telah bekerja sama dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mendalami soal nilai kerugian negara terkait pengadaan ini.
Hasil penyelidikan sementara, penyidik menemukan dugaan adanya aliran dana ke pejabat di Kemendag.
“Kita lihat dari tataran pelaksana dulu ya, tataran pelaksana kalau memungkinkan bisa ke atas kita ke atas,” ujarnya.
Cahyono menjelaskan kronologi kasus ini bermula pada tahun 2018, pihak Kementerian Perdagangan menyiapkan anggaran proyek sebesar Rp49 miliar untuk mengadakan 7.200 unit gerobak.
Harga per satu unit gerobak dipatok sekitar Rp7 juta. Selanjutnya, di tahun 2019, disiapkan anggaran proyek sekitar Rp26 miliar untuk pengadaan 3.570 unit gerobak dengan harga satuan sekitar Rp8.613.000.
“Jadi totalnya ini sebanyak 2 tahun anggaran sektar Rp76 miliar,” ujar Cahyono.
Kemudian dalam laporan warga, melaporakan tidak mendapat gerobak. Sejatinya gerobak tersebut diberikan kepada pelaku UMKM secara gratis.
“Setelah kita lakukan pendalaman kita cek lokasi pabriknya itu masih ada sisa. Sisanya sekitar beberapa ratus unit,” ujarnya.
Meski dalam kasus ini pihaknya belum menetapkan tersangka, namun sejumlah bukti permulaan adanya dugaan aliran uang, pengelembungan dana dan penerima fiktif sudah dikantongi penyidik.
Menurutnya tidak menutup kemungkinan tersangak dijerat Pasal 2 dan atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
“Kita akan melakukan beberapa upaya paksa di beberapa tempat, mengingat berdasarkan fakta penyidikan itu ada barang bukti atau alat bukti yang masih kita perlukan dalam penguatan dalam proses penyidikan,” ujar Cahyono.
Sementara itu, Karo Penmas Divhumas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan kepada wartawan mengatakan, Bareskrim Polri telah pula memeriksa sebanyak 40 orang saksi terkait kasus ini. Saksi-saksi itu merupakan korban penerima gerobak fiktif.
“Ini keterangan saksi-saksi ini banyak termasuk orang-orang yang tercatat, orang-orang yang tercatat yang semestinya mendapat gerobak dagang tersebut,” ucap Ramadhan.
Selanjutnya, Ramadhan mengatakan Dittipidkor Bareskrim telah menyurati Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hal itu dilakukan guna menghitung kerugian negara akibat kasus tersebut.(rac)