NASIONAL – FIGUR pesohor masih menjadi magnet bagi partai politik (Parpol) untuk mendulang suara dalam perhelatan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Mereka dijadikan bakal calon anggota legislatif (bacaleg) yang diharapkan mampu menyedot perhatian masyarakat dan meraih kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Pesohor, artis hingga budayawan pun telah didaftarkan masing-masing parpol ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Selain wajah lama atau artis yang sebelumnya telah duduk di Senayan (lokasi Gedung DPR RI berada), terdapat juga muka-muka baru.
Artis-artis itu diantaranya adalah Rano Karno, Rieke Diah Pitaloka, Krisdayanti, Harvey Maleiholo, Nico Siahaan, Once Mekel, Marcel Siahaan, Taufik Hidayat Udjo, Denny Cagur, Tamara Geraldine, Sari Kuswoyo, Lita Zen, Andre Hehanusa dan Lucky Perdana yang diusung Partai Demokrasi Indonesia – Perjuangan (PDI-P).
Di Partai Gerindra ada nama Ahmad Dhani, Melly Goeslaw, Taufik Hidayat, Ari Sihasale, Rachel Maryam dan Jamal Mirdad. Sementara Tommy Kurniawan, Iyeth Bustami, Arzeti Bilbina, Camelia Lubis, Zora Vidya dan Norman Kamaru menjadi Bacaleg yang diusung Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Penyanyi Reza Artamevia, Annisa Bahar, Nafa Urbach menjadi artis yang diusung Partai Nasional Demokrat (Nasdem) bersama Choky Sitohang, Ali Syakieb, Didi Riyadi, Diana Sastra dan Ramzi. Sedangkan Partai Amanat Nasional (PAN) menempatkan Eko Patrio, Pasha Ungu, Muchtar Lutfi alias Opie Kumis. Ely Sugigi, Uya Kuya, Astrid Kuya (istri Uya Kuya), Desy Ratnasari, Verrel Bramasta, Primus Yustisio dan Tom Liwafa.
Di Partai Demokrat ada artis Dede Yusuf, Ingrid Kansil, Dina Lorenza, Emilia Contessa dan Arumi Bachsin. Perindo mengusung Prabu Revolusi, Aiman Witjaksono, Tommy Tjokro, Ratu Nabila, Dian Mirza, Vicky Prasetyo, Vena Melinda dan Chef Arnold. Sementara penyanyi Giring Ghanesa, Badai Kerispatih, Komika Mongol Stress dan Ade Armando menjadi Bacaleg PSI. Sedangkan di Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ada nama komedian Narji eks Grup Cagur menjadi satu-satunya artis yang diusung sebagai Bacalegnya.
SEJAK PEMILU 2004
Pencalonan para selebritas menjadi anggota legislatif menurut pengamat politik dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), Lucius Karus, adalah cara mudah partai politik untuk mendongkrak suara atau kursi di parlemen.
Tren seperti ini sudah berlangsung sejak 2004 atau ketika pemilu langsung diberlakukan. Demi meraup kursi atau suara lebih besar, pertimbangan populer jadi modal utama bagi caleg agar dipilih. Di sinilah akhirnya tuntutan atas kehadiran pesohor makin tinggi, simpul dia.
“Bagi parpol yang punya nafsu besar meraih kursi di DPR untuk bisa lolos syarat ambang batas parlemen, mengusung orang yang punya potensi dipilih itu akan lebih baik ketimbang mengangkat kader sendiri tapi menjualnya setengah mati,” jelas Lucius Karus dilansir dari BBC News Indonesia, Jumat (12/05).
Hal senada disampaikan Najmuddin Rasul. Pengamat politik dari Universitas Andalas ini menilai fenomena artis ramai-ramai didaftarkan menjadi calon legislatif oleh partai politik merupakan bukti bentuk kegagalan parpol melakukan kaderisasi. Sehingga parpol mengambil jalan pintas dengan memanfaatkan kepopuleran artis untuk meraup suara pada Pemilu Legislatif.
“Ini bukti kegagalan partai melakukan kaderisasi. Dan ini tentu berdampak negatif terhadap demokrasi di Indonesia,” kata Najmuddin, seperti dikutip dari Republika, Ahad (14/5/2023).
Selain itu Najmuddin melihat kemungkinan keengganan petinggi partai melakukan kaderisasi supaya kepemimpinan di parpol tetap berada di tangan mereka. Selain fenomena artis, Najmuddin menyebut ada juga banyak mantan pejabat yang turun gunung ikut mendaftar menjadi caleg.
“Di samping itu, para mantan pejabat pun ramai-ramai ikut mendaftar menjadi kader parpol, walaupun mereka sadar bahwa mereka hanya memanfaatkan kesempatan dan peluang belaka,” ujar Najmuddin.
Namun pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul M. Jamiluddin Ritonga mengingatkan bahwa asumsi artis menjadi caleg dapat mendulang suara banyak, tidak sepenuhnya terbukti. Ia mencontohkan Pileg 2019, mayoritas artis yang dicalonkan ternyata gagal masuk Senayan.
“Pada Pileg 2019, dari 91 caleg artis ada 77 caleg yang tidak masuk Senayan. Ini artinya, mayoritas artis yang jadi caleg tidak mendapat kursi di Senayan,” katanya seraya merincikan banyak artis yang jadi caleg hanya mendulang suara 2.000 hingga 5.000 suara. Ini artinya, artis tersebut tak mampu mendulang suara untuk membantu partai memperoleh kursi.
Jadi lanjut dia, partai lain yang tidak mengusung artis tak perlu gentar tidak memperoleh kursi. Kemampuan caleg di lapangan akan lebih menentukan dalam memperoleh suara. “Pileg 2019 sudah membuktikan, para artis banyak yang hanya mejeng tapi minus kursi. Mereka justru kalah bersaing dengan caleg yang rajin door to door menyapa warga di dapilnya. Caleg seperti ini yang justru banyak memperoleh kursi di Senayan,” kata Jamil.
KINERJA TIDAK MENONJOL
Fenomena caleg artis sebenarnya kian marak sejak Pemilu 2009 yang lalu. Meskipun mereka pada umumnya populer secara publik, tidak semua caleg artis lolos menjadi legislator di DPR dan DPRD. Untuk DPR, kurang lebih 18 orang artis tenar dari parpol yang beragam berhasil menjadi anggota parlemen. Mereka terdiri atas pemain film, bintang sinetron, penyanyi, pelawak, presenter televisi, dan profesi selebritas lainnya.
Pengalaman sejak 2009 memperlihatkan tidak semua legislator artis ini bisa bekerja dan berkinerja optimal sebagai wakil rakyat yang memperoleh mandat politik melalui pemilu. Mereka secara umum sama saja dengan sebagian besar anggota DPR nonartis yang juga kinerjanya tenggelam di balik hiruk-pikuk politik.
Ini pula yang diakui Lucius. Ia menilai kinerja anggota legislatif dari kalangan selebritas yang duduk di DPR selama ini tidak cukup menonjol dalam mengemukakan gagasannya di parlemen. Bahkan, ia menyebut, pemantauan secara menyeluruh terhadap kinerja DPR sepanjang 2019-2023 memprihatinkan.
“Pada 2022 misalnya, DPR cuma mengesahkan tiga Undang-Undang dari target 40 RUU yang masuk prolegnas prioritas DPR Tahun 2022. Lalu pada Masa Sidang IV tahun 2022-2023 DPR hanya menuntaskan satu UU prioritas yakni RUU Landas Kontinen,” bebernya.
Itu mengapa menurut dia, publik sebetulnya dirugikan dengan kehadiran caleg artis. Sebab nyatanya kemampuan mereka sebagai politisi atau yang berkaitan dengan kerja legislasi disebut kurang memadai. “Jadi tidak bisa dikatakan ada dampak positif yang mereka bisa tunjukkan di parlemen setelah menjadi anggota DPR,” ujarnya.
KADER SENDIRI
Tuduhan bahwa partai politik hanya mencari jalan pintas dengan merekrut artis sebagai calon anggota legislatif dengan tegas ditampik Ketua DPP Partai NasDem Willy Aditya.
Kata Aditya, bacaleg artis yang diusung partainya bukan orang baru di NasDem. Dia mencontohkan penyanyi dangdut Annisa Bahar yang sebelumnya pernah mau dicalonkan sebagai calon bupati di Jawa Timur.
“Annisa Bahar itu sudah enam tahun jadi kader. Jadi publik figur yang masuk ke NasDem sudah dari awal. Bukan ujug-ujug,” sanggah Willy Aditya.
Ia juga menegaskan, para artis tersebut secara sadar mendaftarkan diri ke NasDem alias tanpa bujukan. Saat menjadi kader, mereka pun dibekali pendidikan lewat sekolah politik serta mengikuti aktivitas kepartaian, kata Willy.
“Di pembinaan itulah, kader NasDem diminta untuk fokus pada satu isu yang akan mereka bawa ketika maju sebagai bacaleg. Jadi bukan cuma nongkrong atau mejeng,” katanya.
Hal senada juga disampaikan Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto. Ia mengatakan para selebritas yang dicalonkan pada pileg 2024 telah melewati pendidikan kaderisasi partai secara berjenjang.
Ia juga menegaskan, PDI Perjuangan tidak sembarang menggaet artis sebagai calon legislatif. Partai berlambang kepala banteng itu hanya merekrut artis yang memiliki narasi ke-Indonesiaan. “Kami tidak merekrut sembarang artis, yang kami rekrut mereka yang punya track record dan kompetensi untuk memperkuat narasi untuk cinta pada Tanah Air, narasi mewujudkan Indonesia yang berkepribadian dalam kebudayaan tersebut,” kata Hasto.
KEMBALI KE SISTEM
Sulit dipungkiri basis kompetisi dalam pemilu legislatif kita sejak 2009 adalah popularitas figur para caleg yang diajukan oleh partai politik di satu pihak, dan kemampuan finansial di lain pihak. Sistem proporsional dengan daftar terbuka melalui penetapan keterpilihan atas dasar suara terbanyak, memberi peluang besar bagi setiap figur tenar untuk terpilih dalam pemilu.
Sistem pemilu ini, apa boleh buat, lebih mengandalkan pada ketenaran belaka ketimbang kapabilitas para caleg, sehingga caleg artis memperoleh peluang besar untuk meraih dukungan dan terpilih.
Pemilu akhirnya menjadi pasar bebas yang memungkinkan siapa saja yang populer, entah artis, keluarga pejabat tinggi, atau pesohor lainnya, atau bahkan mantan napi korupsi untuk terpilih. Apalagi jika para pesohor ini memiliki kemampuan finansial memadai untuk membiayai promosi diri yang cenderung makin mahal dari pemilu ke pemilu.
Tidak menjadi penting apakah para caleg pesohor tersebut benar-benar memahami betapa berat tugas dan tanggung jawab mereka sebagai wakil rakyat di parlemen. Yang jelas, jika partai politik mau eksis, maka rengkuhlah kursi parlemen sebanyak-banyaknya. []
Penulis : Agus P Sarjono