TANAH BUMBU – HINGGA kini, longsor yang terjadi di jalan nasional kilometer 171 Kecamatan Satui Kabupaten Tanah Bumbu (Tanbu), Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) belum ada tanda-tanda akan diperbaiki. Padahal, longsor yang memutuskan jalan penghubung dari Banjarmasin ke Kotabaru terjadi sejak Oktober 2022 lalu.
Jalan nasional Km 171 mengalami longsor pertama kali pada 28 September 2022 lalu. Akibatnya setengah badan jalan amblas ke arah lubang galian tambang di tepi jalan. Kemudian, terjadi longsor susulan pada 7 dan 16 Oktober 2022 yang membuat seluruh badan jalan amblas. Jalan nasional itu pun terputus.
Dampak dari ambrolnya tanah di bantaran jalan nasional km 171 tersebut tentu saja meninggalkan banyak pekerjaan rumah. Arus lalu lintas tersendat, jalur distribusi antara Kalsel dan Kalimantan Timur (Kaltim) nyaris terputus. Bahkan belasan kepala keluarga terpaksa mengungnsi.
PT Mitra Jaya Abadi Bersama (MJAB) sempat dituding sebagai biang kerok longsornya Km 171. Namun kepolisian menunjuk sejumlah nama perusahaan lain, yakni PT Autum dan PT ABC. IUP mereka-lah yang berada di bibir jalan nasional itu. Sementara di sebelah kanan jalan merupakan tambang milik PT Arutmin.
Sementara Direktorat Jendral Mineral dan Batu bara (Ditjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan bahwa longsornya jalan km 171, disinyalir merupakan dampak dari kegiatan pertambangan batubara di area tersebut. Akan tetapi, Dithen Minerba menegaskan bahwa aktivitas tambang batubara yang dimaksud adalah kegiatan penambangan tanpa izin atau tambang ilegal.
Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) Kalsel sedianya sempat menargetkan penguatan atau bahkan perbaikan jalan selesai dalam waktu sepekan sejak 21 Oktober lalu. “Kita target sepekan sudah bisa difungsionalkan, kalau cuaca mendukung,” ucap Kepala BPJN Kalsel Sauqi Kamal, kala itu.
Hal sama juga sempat dilontarkan Sekretaris Provinsi Kalsel Roy Rizali Anwar. Selain menarget pengerjaan jalan itu dalam sepekan, dirinya juga sudah meminta para perusahaan tambang yang mengapit jalan nasional turut membantu dalam penanganan.
“Kami sudah memanggil sejumlah perusahaan dan meminta turut membantu dalam perbaikan,” kata Roy pada Oktober 2022 silam. Namun rencana tersebut bak menguap begitu saja. Delapan berlalu, target meleset jauh.
Meski jalan tersebut berstatus jalan nasional yang harus menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, namun Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tanbu berinisiatif untuk melakukan koordinasi dengan Kementerian Pekerjan Umum Perumahan Rakyat (PUPR) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Hasilnya, Plt Direktur Jenderal Minerba pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rida Mulyana mengatakan perbaikan kerusakan jalan Km 171 merupakan tanggung jawab bersama. “Antara Kementerian ESDM, Kementerian PUPR, BPJN Kalimantan Selatan, Pemkab Tanbu, dan pemangku kepentingan terkait,” katanya melalui siaran pers pada 25 Mei lalu.
Namun belakangan, Kementerian ESDM menyerahkan permasalahan penanganan longsor Km 171 kepada Kementerian PUPR. “Coba tanyakan ke PUPR,” ujar Menteri ESDM Arifin Tasrif ketika ditanya awak media mengenai masalah tersebut di Jakarta, Jumat (9/6/2023).
Menurut Arifin Tasrif, Kementerian ESDM bukan tempatnya untuk mencari kepastian perbaikan Km 171. “Saya tidak mengetahui jalan,” imbuhnya.
Ini berbeda dengan pernyataan dia sebelumnya pada pertengahan Januari 2023 lalu. Kala itu Tasrif berjanji akan mengevaluasi izin perusahaan tambang yang beroperasi di sekitar longsornya Km 171.
Saat permasalahan tersebut disampaikan kepada Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, dia mengutarakan kendala perbaikan Km 171 adalah karena belum ada tindak lanjut atau kepastian dari Ditjen Minerba Kementerian ESDM.
Dirjen Bina Marga PUPR sendiri telah menyurati Dirjen Minerba ESDM tertanggal 9 Februari 2023 guna memfasilitasi penambang dalam mengakomodir perbaikan Km 171 yang ambrol akibat tambang. Namun hingga saat ini surat tersebut masih belum mendapat balasan.
Selain itu, sampai saat ini belum tercapai kesepakatan. Khususnya terkait desain maupun biaya penanganan longsor baik dari pihak Ditjen Minerba maupun penambang terhadap desain yang sudah disampaikan oleh Ditjen Bina Marga melalui Balai Pelaksanaan Jalan Nasional BPJN Kalsel.
Sebenarnya Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) Kalsel sudah menghitung budget perbaikan di Km 171. Nilainya ditaksir sebesar Rp275 miliar. Pondasinya menggunakan tiang pancang. Sayangnya, mereka tak punya uang untuk merealisasikan.
Belakangan justru kabar yang lebih konyol mencuat. Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara, Lana Saria, meminta perusahaan batu bara, tidak hanya di Tanah Bumbu, tapi semua perusahaan di wilayah Kalimantan Selatan untuk memberikan kontribusi terhadap pembangunan Jalan Nasional Kilometer 171 di Desa Satui Barat, Kecamatan Satui.
“Untuk pertemuan berikutnya kami akan undang semua yang ada di Kalsel, untuk sama-sama gotong royong memperbaiki jalan tersebut,” kata Lana Saria saat mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPRD Provinsi Kalsel melalui zoom meeting dari lantai 4 kantor Bupati Tanah Bumbu, Senin (19/6/2023).
Kontribusi yang diminta itu berupa Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan tambang batubara. “Kami memerintahkan mereka untuk bertanggung jawab melalui CSR,” kata Lana Saria.
Tentu saja pernyataan Lana Saria itu membuat berang Ketua DPRD Kalsel H Supian HK yang memimpin RDP tersebut didampingi Sekretarus Daerah Provinsi Kalsel Roy Rizali Anwar. Supian mengancam akan memboyong sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk meneruskan perjuangan ke Jakarta.
Supian menjelaskan, sebenarnya melalui RDP ini diharapkan segera ada solusi sebagai titik terang permasalahan yang ada. Ia juga mendesak agar secepatnya mendapat keputusan siapa yang bertanggung jawab atas kerusakan ruas jalan nasional di kilometer 171 tersebut.
“Intinya tidak ada kejelasan, maka kami mengambil keputusan DPRD Provinsi Kalsel membuat surat untuk kementerian terkait menanyakan kejelasan pihak mana yang bertanggung jawab, kami juga akan ikut sertakan para LSM nantinya ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia di Jakarta,” ucap Supian HK.
Langkah untuk melibatkan pengusaha untuk ikut urunan memperbaiki jalan longsor Km 171 tersebut tentu saja mendapat penolakan dari sejumlah perusahaan. Sebab ada perusahaan yang jauh dari Tanah Bumbu, seperti PT Adaro Indonesia dan PT Mantimin Coal Mining yang operasionalnya di Tabalong dan Balangan, juga diminta ikut urunan.
Supian pun mempertanyakan ide patungan tersebut. Menurutnya, tidak masuk akal jika harus membebani perusahaan yang tak tahu apa-apa. “Ya nyatanya, mereka tidak bersedia,” ungkap dia.
Bagi Supian hal tersebut rancu. Apalagi yang diminta oleh pusat adalah dana CSR. Ia tak sepakat. “Maunya perusahaan yang berkaitan dengan jalan itu mengeluarkan uang khusus untuk perbaikan. Bukan dana CSR,” tekannya.
Sementara itu, aktivis lingkungan Berry Nahdian Furqon menilai pemerintah telah salah kaprah dalam menangani jalan nasional yang longsor di Km 171. Sebab menimpakan persoalan bukan pada tempat dan pihak yang tepat.
“Kacau ini, suka-suka dalam membuat rekomendasi dan keputusan. Tidak taat asas dan norma hukum maupun kepatutan,” kata Berry ditemui di Banjarmasin, Senin (26/6/2023).
Mantan Direktur Walhi ini juga menegaskan membebankan tanggung jawab perbaikan Km 171 ke perusahaan lain jelas mencederai asas keadilan. “Merusak tatanan hukum, tidak benar turut membebankan tanggung jawab pada pihak lain yang tak ada sangkut pautnya,” jelas Berry.
Keputusan Kementerian ESDM tak ubahnya mengangkangi hukum. Kementerian seolah tidak mampu menentukan pihak yang salah terhadap ambrolnya jalan nasional Km 171. “Padahal sangat jelas sekali siapa saja yang melakukan aktivitas pertambangan di sana dan baik yang beroperasi maupun yang memiliki konsesi,” jelas inisiator Jatam Kalsel itu.
Berry menduga Kementerian ESDM sedang mencari aman. Menghindari benturan dengan korporasi besar pemegang konsesi. “Mungkin ESDM nyari aman tidak mau berbenturan dengan pihak-pihak yang harusnya bertanggung jawab terhadap kerusakan jalan tersebut,” jelasnya.
Hal senada disampaikan aktivis lingkungan Anang Rosadi. Ia memandang lucu putusan Kementerian ESDM tersebut. “Mungkin ada yang main belakang,” ujar Anang dihubungi lewat ponselnya.
Dia justru melihat sikap Kementerian ESDM berpotensi mengaburkan kesalahan perusahaan pemegang konsesi di sekitar Km 171 Tanbu.
“Harus yang bersalah yang tanggung jawab dong. Kalau polanya seperti ini, membiaskan tanggung jawab, dan mengaburkan tindak pidana yang semestinya tetap diusut,” jelasnya. “Kementerian ESDM jangan jadi makelar kasus,” sambung Anang. []
Penulis/Penyunting : Agus P Sarjono