Ironi Lembaga Antirasuah : Ada Maling, Korupsi, Pungli hingga Pelecehan Seksual

 

KPK tengah menjadi sorotan. Lembaga antirasuah yang semestinya menegakan marwah pemberantasan korupsi di negeri ini, nyatanya terbelengu skandal korup yang dipraktekan para pegawainya.

 

NASIONAL, JAKARTA – ADA apa dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)? Demikian pertanyaan masyarakat belakangan ini melihat berbagai skandal melibatkan pegawai komisi antirasuah itu satu persatu naik ke permukaan dan menjadi konsumsi publik.

Berdasarkan data yang diungkap Indonesia Corruption Watch (ICW), ada beberapa kasus yang melibatkan unsur pegawai KPK sejak dipimpin oleh Firli Bahuri. Pertama, pencurian 1,9 kg emas dari gudang barang bukti yang dilakukan oleh oknum pegawai.

Kemudian, penerimaan suap oleh pengamanan dalam (pamdal) KPK dari para tahanan KPK, salah satunya dari mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi. Berikutnya, suap yang diterima oleh penyidik KPK, Stepahnus Robin Patuju, dari mantan Wali kota Tanjungbalai, M Syahrial.

Lalu, ada juga dugaan penerimaan gratifikasi oleh mantan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar berupa fasilitas menonton MotoGP di Mandalika. Bahkan, terkini adanya dugaan penerimaan pungutan liar (pungli) sebesar Rp4 miliar oleh oknum petugas KPK di bagian tahanan yang didahului adanya pelecehan terhadap istri seorang tahanan KPK.

Termasuk juga adanya isu pegawai KPK yang diduga menilap uang perjalanan dinas hingga menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 550 juta. “Dugaan kasus pemotongan anggaran perjalanan dinas KPK ini semakin menambah rentetan skandal yang terjadi di bawah kepemimpinan Firli Bahuri,” kata peneliti ICW Diky Anandya kepada awak media, di Jakarta, Rabu (28/6/2023).

Gedung Merah Putih KPK di Jalan Kuningan, Setiabudi, Jakarta Selatan. -(Foto : Istimewa)

Berangkat dari banyaknya permasalahan yang menderu KPK saat ini, ICW mendesak Firli Bahuri segera menanggalkan jabatannya sebagai ketua KPK. Sebab menurut Diky, kepemimpinan KPK di bawah komando Firli Bahuri tidak bisa dijadikan teladan bagi pegawai komisi antirasuah itu.

Selain itu, kata dia, penting juga untuk dicatat bahwa buruknya wajah KPK saat ini tidak terlepas dari campur tangan Presiden Joko Widodo. “Sehingga Presiden harus segera mengambil sikap tegas melihat persoalan KPK saat ini sebagai bentuk tanggungjawab karena secara administratif KPK berada di bawah komandonya,” kata Diky.

“Jika tidak, maka masyarakat akan semakin yakin bahwa rezim pemerintahan Joko Widodo telah berhasil meluluhlantakkan upaya pemberantasan korupsi, dan sejarah akan mencatat soal itu,” imbuhnya.

Hal senada disampaikan pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar. Menurut dia, kepemimpinan KPK periode 2019-2024 dianggap menjadi yang terburuk karena para petingginya dan sejumlah pegawainya melakukan pelanggaran etik.

Rentetan pelanggaran di internal KPK itu dinilai menjadi wujud pengaruh budaya buruk birokrasi yang pragmatis dan berupaya saling menutupi kesalahan. “Inilah wajah KPK paling buruk dan tidak independen karena isinya orang-orang bekas dan bahkan masih berstatus birokrat,” ujarnya dikutip dari kompas.com, Rabu (28/6/2023).

Diketahui, empat pimpinan KPK saat ini sebelumnya berkarier di bidang penegak hukum. Firli Bahuri (Polri), Alexander Marwata dan Nawawi Pomolango (hakim), serta Johanis Tanak (Kejaksaan). Sedangkan Nurul Ghufron berlatar akademisi dan dosen di Fakultas Hukum Universitas Jember dengan status pegawai negeri sipil golongan IV-A.

Fickar mengatakan, salah satu bukti kultur birokrat pragmatis di KPK saat ini adalah ketika pimpinan tertingginya juga terjerat kasus pelanggaran.

“Penyelesaiannya juga model-model aparatur sipil negara (ASN). Apalagi KPK sendiri sudah tegas dinyatakan sebagai bagian dari eksekutif, karena itu budaya kerjanya hampir tidak berbeda. Ditambah isinya pun ASN yang dipindahkan atau ditarik dari institusi ASN lainnya, ya sudah sempurna lah,” papar Fickar.

Dia menilai sistem birokrasi yang diterapkan di KPK saat ini terjadi setelah pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat melakukan revisi terhadap undang-undang lembaga itu dan menempatkannya di bawah Presiden. Sistem itu, kata dia, kurang tepat karena hanya membentuk birokrasi yang pragmatis dan kerap mencari celah untuk mengakali dan melanggar peraturan.

 

KOLUSI DI KPK

Sebagai informasi, belakangan KPK tengah disorot karena kasus dugaan suap, gratifikasi, atau pemerasan terhadap tahanan korupsi. Kasus itu terungkap saat Dewan Pengawas (Dewas) KPK memeriksa dugaan pelanggaran etik petugas rumah tahanan (Rutan) KPK berinisial M kepada istri tahanan KPK.

Dewas KPK menjelaskan dugaan pungli di Rutan KPK dalam konferensi pers di Gedung Juang KPK, Jakarta, Selasa (27/6/2023) lalu. -(Foto : Istimewa)

 

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, kasus suap atau pemerasan di Rutan KPK merupakan kolusi. Ia menuturkan, awalnya para tersangka korupsi yang ditahan di Rutan KPK menginginkan keleluasaan yang lebih. Seperti berkomunikasi dengan pihak keluarga ataupun mendapatkan makanan yang diinginkan.

Untuk mewujudkannya, tahanan KPK memanfaatkan petugas dengan memberikan imbalan dalam jumlah tertentu. “Itu yang kemudian mereka manfaatkan. Jadi kolusi sebenarnya,” ujar dia.

Kasus pungli di rutan KPK terungkap saat lembaga itu memproses laporan dugaan pelanggaran etik. Anggota Dewas KPK Albertina Ho mengatakan, pihaknya telah mengungkap dugaan pungli itu dilakukan dengan setoran tunai. “Semua itu menggunakan rekening pihak ketiga dan sebagainya,” ujar Albertina Ho.

Menurut dia, nilai pungli di rutan KPK cukup fantastis, yakni Rp 4 miliar dalam satu tahun. Albertina juga menyebut adanya kemungkinan jumlah uang pungli itu bertambah. “Periodenya Desember 2021 sampai dengan Maret 2022 itu sejumlah Rp 4 miliar, jumlah sementara, mungkin akan berkembang lagi,” ujar Albertina Ho.

Setelah itu muncul kasus dugaan pemotongan uang perjalanan dinas pegawai KPK. Sekretaris Jenderal (Sekjen) KPK Cahya H. Harefa mengatakan, peristiwa ini merupakan dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) yang terjadi di lingkup bidang kerja administrasi.

Menurut Cahya, terdapat keluhan dari pegawai KPK lain mengenai proses administrasi yang berlarut dan terjadinya pemotongan uang dinas. “Potongan uang perjalanan dinas yang dilakukan oleh oknum tersebut kepada pegawai KPK yang melaksanakan tugas perjalanan dinas,” kata Cahya dalam konferensi pers di Gedung Juang KPK, Jakarta, Selasa (27/6/2023) lalu.

Atasan dan pegawai KPK yang menjadi tim kerja oknum tersebut, kemudian melaporkan peristiwa itu ke Inspektorat KPK yang mengawasi internal lembaga antirasuah.

Inspektorat kemudian melakukan pemeriksaan dan menghitung dugaan korupsi dengan berbentuk kerugian keuangan negara. Dugaan kerugian keuangan negara dalam skandal pemotongan uang dinas itu diduga mencapai Rp 550 juta dalam kurun waktu 2021-2022.

 

DIPENGARUHI PENGUASA

Mencuatnya sejumlah dugaan pungli dan korupsi yang dilakukan oleh pegawai komisi antirasuah itu, membuat Ketua KPK periode 2010 – 2011 Busyo Muqoddas sedih. Pasalnya, KPK lahir dari buah gerakan reformasi ’98.

“Meradang, sedih, merana, tapi tetap optimis. Mengapa meradang, sedih? Karena KPK itu lembaga negara, anak kandung gerakan reformasi ’98,” kata Busyro, di Jakarta, Rabu (28/6/2023).

Menurut dia, KPK adalah anak kandung reformasi bersama Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan undang-undang lama pun, kata dia, KPK merupakan independen. Namun, ia menganggap nasib KPK kini dipengaruhi penguasa.

”KPK berdasarkan UU yang lama merupakan lembaga independen, bukan di bawah presiden yang presiden itu di bawah partai, dipengaruhi oleh elit bisnis. Maka KPK masa lalu saya sebut KPK ori, sekarang KPK KW berapa saya nggak tahu,” ucapnya.

Busyro menyebut, di masa orisinalitas KPK masih terjaga, lembaga antirasuah itu berhasil membongkar berbagai kasus korupsi sistemik. Tapi KPK yang baru setelah UU 19 Tahun 2019 adalah KPK yang mulai lumpuh. Bukti perusakan itu, sambung Busyro, adalah UU Nomor 19 Tahun 2019. Selain itu ditambah mengeluarkan lima anggota KPK yang dinyatakan tidak lulus tes wawasan kebangsaan.

“KPK yang sekarang ini setelah UU yang baru, UU 19 Tahun 2019, KPK yang sekarang ini direvisi akibatnya KPK lumpuh, bukan dilemahkan. Maka kalau sekarang ada permainan suap, permainan di kalangan sampai petugas Lapas KPK dan istri tahanan dilecehkan itu cermin semata-mata akibat KPK yang dirusak secara moral, perusaknya pemerintah bersama DPR,” jelas Busyro.

 

DI LUAR NALAR

Sementara itu, Anggota Komisi III DPR RI Didik Mukrianto mengaku kaget dan prihatin dengan sejumlah masalah yang terjadi di internal KPK. Termasuk soal pungutan liar (pungli) yang dilakukan oleh pegawainya sendiri.

Didik mengatakan, apa yang terjadi itu di luar nalar, lantaran KPK seharusnya memberantas korupsi, bukan malah melakukan pungli atau bentuk korupsi lainnya.

“Cukup mengagetkan dan sangat memprihatinkan. Sulit dinalar dengan logika sehat, jika di KPK yang bertugas untuk memberantas korupsi, ternyata ditemukan tindakan penyimpangan, pungutan liar yang dilakukan oleh pegawainya,” ujar Didik saat dimintai konfirmasi, Rabu (28/6/2023).

Politisi Partai Demokrat ini mendorong pimpinan KPK untuk melakukan evaluasi terhadap pengawasan internal. Dia juga mendesak pimpinan KPK harus menindak tegas oknum anggotanya yang terlibat praktik pungli dalam rumah tahanan (rutan) KPK.

Suasana kunjungan keluarga tahanan secara daring yang difasilitasi oleh Rutan KPK, beberapa waktu lalu. Belakangan, oknum petugas KPK menarik upeti kepada para tahanan yang ingin mendapatkan fasilitas maupun keleluasaan lebih di tahanan. -(Foto : Istimewa)

 

Menurut Didik, dugaan praktik pungli di dalam Rutan KPK masuk dalam kategori petty corruption atau korupsi berskala kecil yang dilakukan oleh pejabat publik yang berinteraksi langsung dengan masyarakat.

“Namun sekecil apapun, korupsi tetaplah korupsi. Meskipun petty corruption, tidak boleh ada toleransi sedikitpun apalagi dilakukan oleh penegak hukum khususnya KPK dan juga di lingkungan KPK,” jelasnya.

Ia mengingatkan kasus yang terjadi di internal KPK ini dinilai bukan hanya mencoreng wajah KPK saja. Namun ulah oknum pegawai KPK tersebut juga dapat berpotensi melahirkan ketidakpercayaan dari masyarakat yang selama ini telah mendukung KPK dalam memberantas korupsi.

“Jangan sampai publik menjadi apatis dan tidak percaya lagi terhadap pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK. Pertaruhannya akan terlalu besar bagi KPK jika tidak segera ditangani dengan baik,” ujar Didik.

Sementara itu, mengingat persoalan dugaan korupsi di KPK ini cukup fundamental, maka dalam waktu dekat DPR akan segera mengagendakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan KPK. Namun, dia tidak mengungkapkan kapan RDP dengan KPK itu akan dilaksanakan.

“Mana mungkin KPK akan maksimal melakukan pemberantasan korupsi secara utuh jika masih ada korupsi di lembaganya? Jika ingin membersihkan lantai yang kotor, harus dipastikan sapunya wajib bersih,” pungkas Didik. []

Penulis/Penyunting : Agus P Sarjono (dari berbagai sumber)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com