Awal Juli Jadi Pekan Terpanas di Dunia

Minggu pertama di awal bulan Juli 2023 tercatat dalam sejarah sebagai pekan terpanas di seluruh belahan bumi. -(Foto : ABC)

 

JENEWA – PEKAN terpanas di planet bumi dalam catatan sejarah terjadi pada minggu pertama di bulan Juli 2023. Demikian data awal yang dikumpulkan para ilmuwan iklim. Mereka mencatat suhu sangat panas terjadi hampir di seluruh belahan dunia. Sementara suhu di beberapa kawasan laut “jauh lebih tinggi” dibanding yang diproyeksikan oleh model perubahan iklim.

Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menyebut tanggal 7 Juli lalu sebagai hari terpanas yang pernah tercatat. Rata-rata suhu permukaan global yang tercatat pada hari itu adalah 17,24 derajat Celsius atau 0,3 di atas rekor sebelumnya yaitu 16,94 derajat Celsius yang tercatat pada bulan Agustus 2016.

Para ilmuwan sangat khawatir karena suhu panas ini terjadi sebelum terbentuknya pola cuaca El Nino di Pasifik, yang diperkirakan akan meningkatkan suhu global pada akhir tahun ini hingga 2024 nanti.

“Kehangatan yang luar biasa di bulan Juni dan di awal Juli ini terjadi pada awal El Nino, yang diperkirakan akan semakin memicu panas, baik di darat maupun lautan, dan menyebabkan suhu yang lebih ekstrem dan gelombang panas di laut,” ungkap Direktur Layanan Iklim WMO Christopher Hewitt, dalam sebuah pernyataan yang dilansir The Straits Times, Rabu, (12/07/2023).

Ini adalah yang terbaru dari serangkaian rekor di pertengahan tahun, di mana fenomena kekeringan melanda Spanyol dan gelombang panas yang dahsyat menyerang China dan Amerika Serikat (AS).

“Suhu memecahkan rekor baik di darat maupun di lautan, dengan dampak yang berpotensi menghancurkan ekosistem dan lingkungan,” kata Hewitt.

Menurut dia, ini adalah berita yang mengkhawatirkan bagi planet bumi. “Kita berada di wilayah yang belum dipetakan sebelumnya, dan kita dapat mengharapkan lebih banyak data saat El Nino berkembang lebih jauh. Dampak ini akan berlanjut hingga 2024,” tambah Hewitt.

Laporan WMO itu menyusul analisa yang sama mengerikannya yang dilakukan oleh Layanan Perubahan Iklim Copernicus Uni Eropa (European Union’s Copernicus Climate Change Service) di mana mereka mendapati bahwa bulan Juni merupakan satu-satunya bulan terpanas yang pernah tercatat.

Dampak suhu yang lebih tinggi dari normal itu terasa di seluruh dunia, antara lain Kanada, Amerika Serikat, Meksiko, Asia, dan bagian timur Australia. Selain suhu yang lebih tinggi, perubahan iklim menyebabkan pola cuaca yang lebih parah.

Sebagian wilayah di Eropa mengalami cuaca yang jauh lebih kering dari biasanya pada bulan Juni lalu, termasuk bagian tengah dan timur Eropa, Skandinavia, Rusia, wilayah Tanduk Afrika, sebagian besar Afrika Selatan, Amerika Selatan dan sebagian Australia, yang semuanya memiliki curah hujan yang lebih rendah dari rata-rata.

Sebagian wilayah Amerika Utara juga lebih kering dari biasanya, yang memicu kebakaran hutan besar-besaran, terutama di Kanada.

Pada saat yang sama sebagian wilayah mengalami tingkat curah hujan yang jauh lebih tinggi dari perkiraan, termasuk di bagian barat Amerika Utara, sebagian Asia barat daya, Jepang, Afrika Selatan, Brasil, Chili, Selandia Baru dan sebagian Australia.

Wilayah Jepang sendiri telah dilanda Topan Mawar, sementara Pakistan dilanda Topan Biparjoy. Eropa bagian selatan dan bagian barat Rusia juga mengalami curah hujan yang lebih tinggi, yang menyebabkan banjir yang signifikan.

Penduduk bumi menggunakan berbagai cara untuk mendinginkan badan ketika gelombang panas menerpa. -(Foto : AFP)

 

TIDAK TERKENDALI

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan, situasi yang terjadi sekarang menunjukkan bahwa perubahan iklim tidak terkendali.

Selain merusak tanaman, menyebabkan gletser mencair dengan cepat, dan meningkatkan risiko kebakaran hutan, suhu panas ekstrem juga menyebabkan masalah kesehatan mulai dari sengatan panas, dehidrasi, hingga stres yang memicu penyakit jantung.

Penelitian baru yang diterbitkan pada Senin menemukan bahwa lebih dari 61.000 orang di Eropa meninggal karena cuaca ekstrem selama Musim Panas tahun 2022 yang mencatat rekor di benua itu.

Menurut penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Nature Medicine, mayoritas kematian adalah lansia di atas 80 tahun dan sekitar 63 persen dari mereka yang meninggal karena panas adalah wanita.

Dunia telah menghangat rata-rata hampir 1,2 derajat Celcius sejak pertengahan 1800-an, memicu cuaca ekstrem, termasuk gelombang panas yang lebih intens, kekeringan yang lebih parah di sejumlah daerah, dan badai yang semakin ganas akibat naiknya permukaan air laut.

Lautan menyerap sebagian besar panas yang disebabkan oleh gas yang menghangatkan planet. Itu tidak hanya membahayakan kehidupan akuatik, namun turut mengubah pola cuaca dan mengganggu sistem penting yang mengatur Bumi.

Pada Juni, suhu permukaan laut global mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sementara itu, es laut Antartika mencapai tingkat terendah sejak pengamatan satelit dimulai, yaitu 17 persen di bawah rata-rata, memecahkan rekor Juni sebelumnya dengan selisih yang cukup besar.

Adapun suhu permukaan laut yang biasanya surut relatif cepat dari puncak tahunan, pada tahun 2023 tetap tinggi. Para ilmuwan memperingatkan bahwa ini menggarisbawahi dampak perubahan iklim yang sangat serius.

“Jika lautan menghangat secara signifikan, itu akan berdampak langsung pada atmosfer, pada es laut, dan es di seluruh dunia,” kata kepala Program Riset Iklim Dunia di WMO Michael Sparrow.

“Ada banyak kekhawatiran dan perkembangan dari komunitas ilmiah yang mencoba memahami perubahan luar biasa yang kita lihat saat ini,” tambahnya.

Sparrow memperingatkan bahwa efek El Nino kemungkinan besar akan terasa lebih parah pada akhir tahun. El Nino adalah pola yang terjadi secara alami, yang mendorong peningkatan panas di seluruh dunia, bersamaan dengan kekeringan di beberapa bagian dunia dan hujan lebat di tempat lain. []

Penulis/Penyunting : Agus P Sarjono (Dari berbagai sumber)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com