Digelar Lebih Sederhana, Cap Go Meh di Singkawang Tetap Meriah

SINGKAWANG – MESKI digelar lebih sederhana dibanding tahun lalu, namun Perayaan Cap Go Meh di Kota Singkawang, Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) tetap menjadi magnet. Wisatawan dan warga lokal tumplek-blek di lokasi perayaan.

Gelaran Imlek di Kota Singkawang ditutup dengan Festival Cap Go Meh pada 22-24 Februari 2024. Acara tahunan itu pun dinilai bisa mendongkrak perekonomian masyarakat karena menarik kunjungan wisatawan.

Hal ini diakui Penjabat (Pj) Wali Kota Singkawang Sumastro saat menyampaikan sambutan pada Pembukaan Perayaan Cap Go Meh 2024 di Vihara Tri Dharma Bumi Raya Sui Kheu Thai Pak Kung, Kota Singkawang, Sabtu (24/02/2024).

“Selama Imlek, terhitung uang yang beredar di Singkawang lebih dari Rp20 miliar dengan jumlah kunjungan wisatawan lebih dari 1,6 juta orang,” kata Sumastro.

Perayaan Cap Go Meh selalu meriah di Singkawang, bahkan bisa dibilang yang paling meriah di antara daerah lain di Indonesia. Potret perayaan Cap Go Meh di Singkawang diramaikan dengan pertunjukan Barongsai, Ular Naga, Choi Lam Shin atau Keranjang Jelangkung, serta yang teristimewa yaitu atraksi Tatung atau Louya.

Tatung atau Louya menjadi salah satu ritual unik dan menarik dalam Perayaan Cap Go Meh di Kota Singkawang. Ini adalah parade unik yang mempertontonkan aksi warga Dayak-Tiongkok layaknya pertunjukan debus.

Para tatung atau orang yang melakukan atraksi ini akan menusukkan benda tajam seperti pisau, pedang, dan besi ke tubuhnya. Hebatnya, para tatung tersebut tidak merasa kesakitan maupun terluka.

Ritual tersebut ditujukan untuk menangkal roh jahat dan membersihkan kota dan Vihara dari kejahatan dan nasib buruk. Pengusiran roh-roh jahat dan peniadaan kesialan dalam Cap Go Meh disimbolkan dalam pertunjukan Tatung.

Upacara pemanggilan tatung dipimpin oleh pendeta yang sengaja mendatangkan roh orang yang sudah meninggal untuk merasuki tatung. Roh-roh yang dipanggil diyakini sebagai roh-roh baik yang mampu menangkal roh jahat yang hendak mengganggu keharmonisan hidup masyarakat.

Roh-roh yang dipanggil untuk dirasukkan ke dalam tatung diyakini merupakan para tokoh pahlawan dalam legenda Tiongkok, seperti panglima perang, hakim, sastrawan, pangeran, pelacur yang sudah bertobat dan orang suci lainnya. Roh-roh yang dipanggil dapat merasuki siapa saja, tergantung apakah para pemeran tatung memenuhi syarat dalam tahapan yang ditentukan pendeta.

 

Dikutip dari situs Portal Informasi Indonesia, tatung dalam bahasa Hakka adalah dukun atau seseorang yang dirasuki oleh roh dewa atau orang-orang baik yang sudah meninggal. Ritual pemanggilan roh itu dipimpin oleh seorang pendeta di kelenteng yang terlebih dulu meminta izin Dewa Kemakmuran Toa Pek Kong supaya diberi keselamatan dan keberkahan.

Ini juga bagian dari proses asimilasi budaya antara suku Tionghoa, Dayak, dan Melayu yang ditunjukkan lewat penggunaan atribut pakaian adat para tatung ketika berparade. Bernuansa merah dan berciri khas seperti baju perang dari etnis Dayak, maupun etnis Tionghoa itu sendiri. Lengkap dengan aksesoris kepala yang dihiasi dengan bulu hewan sejenis burung.

Begitu pula musik tetabuhan yang dimainkan, mewakili ketiga unsur etnis dengan populasi terbanyak di Singkawang. Misalnya Loku, Chem, dan Lho yang berasal dari Tionghoa dan Dau Weknya, Naknya, serta Gong yang berasal dari Dayak.

Sebanyak 680 tatung ikut berparade dengan diiringi pertunjukan kesenian dari 17 grup dan paguyuban Tionghoa di Kalimantan. Pemerintah Kota Singkawang menyiapkan sekitar 6.000 lampion yang digantungkan di atas rute yang dilalui oleh para tatung.

Sebelumnya, para tatung diwajibkan berpuasa selama tiga hari sebelum hari perayaan supaya dalam kondisi suci. Para tatung diyakini memiliki kekuatan supranatural dan bisa berlaku sebagai tabib untuk menyembuhkan penyakit.

Ketika dirasuki roh, para tatung diarak untuk mengusir roh-roh jahat di sudut-sudut kota. Sehingga, kehidupan masyarakat semakin harmonis dan tidak diganggu roh jahat tersebut.

Sebagian besar tatung berparade dengan berjalan kaki, meski ada juga yang ditandu layaknya saudagar Tionghoa di masa lampau. Karena dirasuki roh, hal ini membuat tubuh tatung-tatung menjadi kebal terhadap berbagai jenis senjata dan logam.

Selain memiliki aura mistik, sensasi menegangkan turut hinggap karena tubuh tatung-tatung ini akan diuji kekebalannya lewat rajaman aneka benda tajam. Sepintas, menyeramkan dan sedikit mengganggu mata. Namun, atraksi seni dari kota multietnis ini telah menjadi bagian dari festival budaya yang mendunia.

Mengutip laman Kemdikbud, pada zaman dahulu etnis Tionghoa dari China Selatan bermigrasi ke Kalimantan Barat. Awalnya pemukiman terbesar etnis Tionghoa di muara-muara sungai dan pesisir pantai. Para imigran Tionghoa tersebut kebanyakan berasal dari suku Khek (Hakka). Kemudian, pada tahun 1772 etnis Tionghoa berkembang di daerah Monterado, Kalimantan Barat.

Mereka kebanyakan bekerja di pertambangan emas dan untuk melepas kepenatan selama bekerja. Mereka juga membuat perkampungan khusus etnis Tionghoa di dekat muara sungai dan diberi nama San Keu Jong.

Suatu hari, di perkampungan Tionghoa tersebut mewabahlah sebuah penyakit dan pada saat itu belum ada dokter. Lalu, warga Tionghoa berobat ke tabib/dukun yang menggunakan cara tradisional dan cara gaib. Mereka mengadakan ritual tolak bala (bahasa Khek; Ta Ciau) bersama penduduk lokal. Hal itu dilakukan pada hari kelima belas (dialek Hokkian; Cap Go) bulan pertama penanggalan Imlek.

Karena dirasakan manfaat ritual dan wabah penyakit bisa diatasi dan mereka sembuh, akhirnya ritual tolak bala ini dijadikan sebagai tradisi tahunan/turun temurun. Ritual tersebut masih bertahan sampai saat ini dan dipadukan ke perayaan Imlek, yang diberi nama Cap Go Meh.

Cap Go Meh di Singkawang secara tidak langsung telah melahirkan akulturasi budaya karena banyak orang Dayak yang juga turut serta menjadi tatung. Mereka terdorong berpartisipasi karena ritual Tatung mirip upacara adat Dayak.

Sejak pertama kali datang ke Singkawang, masyarakat Tionghoa telah menjalin persahabatan erat dengan penduduk pribumi khususnya suku Dayak. Karena itu tidak ada kecanggungan di antara kedua etnis ini.

Sebelum parade Tatung dimulai, para tatung dirasuki (di bawah alam sadar) oleh roh leluhur mereka kemudian mempertunjukkan ilmu kesaktiannya seperti menusuk pipi, kebal dengan senjata tajam, hingga aksi mengupas kelapa dengan gigi. Tatung ini merupakan perpaduan antara budaya Tiongkok dengan budaya Dayak.

Di era Orde Baru perayaan Imlek khususnya ritual Tatung dilarang dipertontonkan di depan umum. Tetapi di era reformasi mantan Presiden Gus Dur mengizinkan kembali, bahkan pemerintahan berikutnya Megawati Soekarnoputri mengesahkan dalam bentuk undang-undang.

Dengan demikian, warga Tionghoa di Singkawang khususnya menjadi lebih leluasa untuk menjalankan tradisi atau upacara keagamaan mereka. Di dunia pariwisata, keberadaan ritual Tatung berpotensi untuk menarik turis dalam negeri dan mancanegara.

 

DAMPAK EKONOMI

Selain mengangkat nama Singkawang di dunia internasional, Tatung juga ikut meningkatkan perekonomian daerah setempat. Terlebih, rangkaian acara Imlek di Singkawang sudah masuk ke dalam peringkat 10 dalam Kharisma Event Nusantara (KEN) 2024.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno pun mengapresiasi pelaksanaan Festival Cap Go Meh. Pernyataan itu ia sampaikan saat menghadiri penutupan Festival Cap Go Meh 2024 di kawasan Vihara Tri Dharma Bumi Raya, Sabtu (24/2/2024).

“Saya melihat dampaknya luar biasa, karena UMKM kita di Kota Singkawang ini merasakan peningkatan pemasukan,” kata Sandiaga dalam rilis dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Minggu (25/2/2024).

Menurut Sandiaga, rangkaian gelaran Imlek hingga Cap Go Meh yang sudah digelar tidak hanya menarik wisatawan yang ingin menyaksikan jalannya acara. “Wisatawan dari berbagai daerah di Indonesia ke Singkawang untuk merasakan suasana Cap Go Meh yang dipenuhi dengan berbagai suguhan atraksi dan kuliner yang unik dan menarik,” ujar Sandiaga.

Wisatawan juga kemungkinan tidak akan pulang dengan tangan kosong tanpa terlebih dahulu membeli suvenir. “Tentunya mereka akan pulang membawa oleh-oleh berupa kuliner, baju, dan kerajinan tangan. Ini dampak langsung yang dirasakan, permintaan meningkat dan pembukaan lapangan kerja,” katanya.

Sandiaga juga menyempatkan diri mengunjungi Kuil Dewi Kwan Im, mencicipi kuliner khas Singkawang di area food court Cap Go Meh, dan menyaksikan lelang barang-barang unik.

Sebelumnya, Penjabat (Pj) Gubernur Kalbar Harisson optimis, even Cap Go Meh berpotensi untuk menarik minat wisatawan, baik domestik maupun mancanegara.

“Saya mengapresiasi kegiatan ini, dimana perputaran uang di sini miliaran rupiah selama Cap Go Meh, sehingga ini membawa dampak besar bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat, baik di Kota Singkawang maupun Kalbar,” katanya.

Harisson mengapresiasi tertibnya penyelenggaraan event Cap go Meh Mini kali ini walaupun bertepatan dengan momen Pemilihan Umum. “Walaupun saat ini perayaan Cap Go Meh pada tahun 2575 Kongzili ini, walaupun kita Mini Cap Go Meh karena kita masih dalam rangka Pemilu, tetapi perayaan ini sangat meriah,” ujarnya.

“Perayaan ini sudah ditetapkan sebagai 10 besar Kharisma Event Nusantara di Indonesia. Saya juga tak lupa mengucapkan terimakasih kepada panitia, pj walikota tni polri sehingga acara ini bisa terlaksana dengan baik,” sambung Harisson.

Ia juga mengaku menikmati atraksi dari tatung yang unjuk kebolehan dengan memamerkan kekuatan dan kekebalan tubuhnya walaupun terkena benda tajam. “Saya juga tadi menikmati atraksi tatung, cukup ngeri juga ya,” ucapnya sembari tersenyum. []

Penulis | Penyunting: Agus P Sarjono

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com