Negeri Masa Lalu di Benua Kutai Kartanegara

MENGUNGKAP sejarah yang kaya dan kompleks, Kerajaan Kutai Kartanegara (Kukar) telah memikat pikiran para sejarawan dan peneliti selama berabad-abad. Dalam sebuah penelitian mendalam, fokus diletakkan pada perbandingan antara Kerajaan Kutai Kartanegara dan Kerajaan Kutai Martadipura, yang menimbulkan kekaguman terhadap evolusi politik, agama, dan budaya di wilayah ini.

Perbedaan yang menarik, meskipun awalnya muncul di wilayah yang sama, Kerajaan Kutai Kartanegara dan Kutai Martadipura menawarkan perbedaan yang mencolok dalam corak politik dan agama mereka. Sementara Kutai Kartanegara, didirikan pada tahun 1300 Masehi oleh Aji Batara Agung Dewa Sakti, mengalami perubahan menjadi kesultanan Islam pada tahun 1575 M, Kutai Martadipura mempertahankan identitas Hindu sejak berdirinya pada abad ke-4 Masehi.

Transisi keagamaan dari Hinduisme ke Islam di Kerajaan Kutai Kartanegara, terutama pada masa pemerintahan Aji Raja Mahkota Mulia Alam, mencerminkan proses yang menarik. Dominasi Islam pada sekitar tahun 1575 M tidak terjadi tanpa tantangan. Penerimaan agama baru ini awalnya mengalami hambatan, tetapi abad ke-17 menyaksikan penguatan pengaruh Islam, terutama melalui upaya tokoh seperti Tuan Tunggang Parangan dari Makassar.

Peran penting tokoh ini membantu menyebarkan Islam secara luas di wilayah Kutai Kartanegara, memengaruhi budaya, masyarakat, serta struktur sosial, politik, dan ekonomi. Oleh karena itu, transisi ini tidak hanya merupakan perubahan agama, tetapi juga menciptakan landasan baru bagi identitas dan kehidupan sosial masyarakat Kutai Kartanegara.

Perjalanan politik Kerajaan Kutai Kartanegara tidak hanya mencakup transisi agama, tetapi juga melibatkan perang dan penaklukan. Pada tahun 1635, Kerajaan Kutai Kartanegara berhasil menaklukkan Kutai Martadipura yang sebelumnya diperintah oleh Maharaja Dharma Setia. Ini menyebabkan perubahan nama menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura.

Dari Aji Batara Agung Dewa Sakti hingga Sultan Aji Pangeran Praboe Anoem Soerya Adiningrat, daftar penguasa Kerajaan Kutai Kartanegara mencerminkan keberagaman politik dan budaya. Konversi ke Islam oleh Sultan Aji Raja Mahkota Mulia Alam dan perlawanan terhadap penjajahan Belanda, seperti yang dilakukan oleh Sultan Aji Muhammad Idris, menambahkan dimensi dramatis pada sejarah kerajaan ini.

Meskipun menjadi pusat kekuatan di wilayahnya, Kerajaan Kutai Kartanegara mengalami kemunduran yang signifikan. Mulai dari menjadi bawahan Kesultanan Banjar hingga dikuasai secara resmi oleh Belanda pada tahun 1825, kerajaan ini mengalami tantangan eksternal dan internal yang berujung pada kehancuran pada tahun 1960.

Pada tanggal 21 Januari 1960, setelah serah terima yang bersejarah dari Sultan Aji Muhammad Parikesit, pemerintahan Kerajaan Kutai Kartanegara secara resmi berakhir. Ini menandai akhir dari sebuah era, tetapi warisan dan pengaruh Kerajaan Kutai Kartanegara tetap hidup dalam budaya dan sejarah Kalimantan Timur (Kaltim) .

Dengan menyelidiki kerajaan yang begitu berwarna dan bersejarah ini, penelitian ini memberikan wawasan yang berharga tentang dinamika politik, agama, dan budaya yang membentuk peradaban di wilayah ini selama berabad-abad.

Raja-raja Kerajaan Kutai Kartanegara:

Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325)

Aji Batara Agung Paduka Nira (1325-1360)

Aji Maharaja Sultan (1360-1420)

Aji Raja Mandarsyah (1420-1475)

Aji Pangeran Tumenggung Bayabaya (1475-1545)

Aji Raja Mahkota Mulia Alam (1545-1610)

Aji Dilanggar (1610-1635)

Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa (1635-1650)

Aji Pangeran Dipati Agung (1650-1665)

Aji Pangeran Dipati Maja Kusuma (1665-1686)

Aji Ragi (1686-1700)

Aji Pangeran Dipati Tua (1700-1710)

Aji Pangeran Anum Panji Mendapa (1710-1735)

Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1778)

Sultan Aji Muhammad Aliyeddin (1778-1780)

Sultan Aji Muhammad Muslihuddin (1780-1816)

Sultan Aji Muhammad Salehuddin (1816-1845)

Sultan Aji Muhammad Sulaiman (1850-1899)

Sultan Aji Muhammad Alimuddin (1899-1910)

Sultan Aji Muhammad Parikesit (1920-1960)

Sultan Haji Aji Muhammad Salehuddin II (2001-2018)

Sultan Aji Muhammad Arifin (2018- Sekarang)

Sultan Aji Muhammad Arifin, pewaris tahta Kerajaan Kutai Kartanegara yang bersejarah, lahir pada 09 Februari 1951 di kota Wassenaar, Belanda. Ia adalah anak kedua dan putra pertama dari Sultan Aji Muhammad Salehuddin I dan Ratu Permaisuri Aji Ratu Aida Gelar Aji Ratu Putro Inderaningrat Binti Adji Raden Ario Amidjoyo Bin Adji Pangeran Mangkunegara Bin Sultan Adji Muhammad Sulaiman.

Sebagai pewaris tahta, Sultan Aji Muhammad Arifin dibesarkan dalam keluarga yang kaya akan tradisi dan nilai-nilai kerajaan. Kelahirannya menjadi titik awal dari perjalanan panjangnya dalam mempersiapkan diri untuk mengambil peran penting dalam meneruskan warisan budaya dan sejarah Kerajaan Kutai Kartanegara.

Sultan Aji Muhammad Arifin memiliki lima saudara kandung, satu ayah, dan satu ibu, yang semuanya tumbuh dalam lingkungan yang kaya akan nilai-nilai keluarga dan kebudayaan. Kehidupan awalnya di Belanda memberinya perspektif yang unik dalam memahami budaya barat, sementara keterlibatannya dalam kerajaan memberinya pemahaman yang mendalam tentang tradisi dan tugas-tugas yang diemban oleh seorang Sultan.

Sebagai putra pertama dari Sultan Aji Muhammad Salehuddin I, Sultan Aji Muhammad Arifin diharapkan untuk mengambil alih tongkat estafet kepemimpinan dengan kebijaksanaan dan dedikasi. Kehadirannya dalam masyarakat tidak hanya sebagai simbol politik, tetapi juga sebagai pemimpin yang mempromosikan persatuan, kemajuan, dan keadilan bagi rakyatnya.

Dengan berbagai pengalaman dan persiapan yang telah dilakukannya, Sultan Aji Muhammad Arifin siap untuk menjalankan tanggung jawabnya sebagai pemimpin Kerajaan Kutai Kartanegara. Dengan visi yang jelas dan komitmen yang kokoh terhadap warisan budaya dan sejarahnya, ia berdiri sebagai pewaris yang dihormati dan pemimpin yang diharapkan oleh masyarakatnya.

Pada tanggal 15 Desember 2018, Keraton atau Museum Mulawarman di Kecamatan Tenggarong menjadi saksi dari sebuah peristiwa bersejarah: penabalan Sultan Aji Muhammad Arifin sebagai Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura ke-21. Prosesi yang berlangsung menggambarkan kontinuitas dan warisan budaya yang kaya dari Kerajaan Kutai Kartanegara.

Penabalan ini menandai suksesi dari ayahandanya, Aji Muhammad Salehuddin II, yang meninggal pada 5 Agustus 2018, membawa warisan kerajaan ini ke generasi baru. Prosesi tersebut bukan hanya sebuah acara formal, tetapi juga merupakan upacara yang memancarkan keagungan dan nilai-nilai tradisional.

Sebagai Sultan ke-21, Aji Muhammad Arifin menerima tanggung jawab besar untuk melanjutkan warisan kerajaan yang telah ada selama berabad-abad. Dalam era modern, Sultan Arifin diharapkan dapat menggabungkan nilai-nilai tradisional dengan tantangan dan kesempatan masa kini.

Selain menjadi simbol persatuan dan identitas bagi masyarakat Kutai, Sultan juga memiliki peran penting dalam mempertahankan budaya dan kearifan lokal. Penabalan Sultan Aji Muhammad Arifin menjadi penghormatan terhadap warisan panjang dan berharga dari Kerajaan Kutai Kartanegara, serta pengakuan akan pentingnya memelihara dan mewarisi nilai-nilai budaya dan sejarah bagi generasi mendatang.

Dalam suasana perayaan penabalan, masyarakat Kutai Kartanegara dan Kalimantan Timur secara luas mengungkapkan harapan mereka untuk masa depan yang cerah di bawah kepemimpinan Sultan Aji Muhammad Arifin. Dengan berbagai tantangan yang dihadapi oleh masyarakat modern, harapan tertuju pada kesinambungan dan pertumbuhan yang berkelanjutan.

Penabalan Sultan Aji Muhammad Arifin tidak hanya dirayakan sebagai peristiwa penting dalam sejarah Kerajaan Kutai Kartanegara, tetapi juga sebagai penghormatan kepada masa lalu dan harapan untuk masa depan. Dengan dukungan masyarakat dan komitmen untuk mewarisi nilai-nilai tradisional, peristiwa ini menandai awal dari babak baru dalam sejarah kerajaan yang penuh warna ini, Rabu (20/03/2024). []

Redaksi08

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com