JAKARTA – Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengetok palu menetapkan hasil Pemilu Presiden dan Legislatif (20/03/2024), dengan segala riuh-riak pro dan kontra yang menyertainya. Gugatan ke Mahkamah Konstitusi (Mahkamah) sudah dilayangkan, menyoal beragam penyimpangan dan/atau pelanggaran yang terjadi selama Pemilu.
Semua fokus pada upaya untuk memperoleh pengakuan, dan jika dimungkinkan meraih kemenangan atas kasus yang diajukan dengan dalih “mencederai demokrasi”. Cedera demokrasi, sesungguhnya bukan hanya soal adanya praktik penyimpangan atau pelanggaran pemilu. Suara rakyat yang hangus atau tidak terkonversi menjadi “kursi” di parlemen Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) karena tidak memenuhi ambang batas perolehan suara parlemen (parliamentary threshold) pun mencederai demokrasi, mencederai kedaulatan rakyat.
Namun hal ini tampak samar atau mungkin tenggelam dalam riuh-riak perdebatan pasca pemilu. Historisnya, ketentuan parliamentary threshold pertama kali digunakan pada pemilu 2009, menggantikan istilah electoral threshold yang digunakan pada pemilu sebelumnya. Dalam Undang-Undang (UU) No. 7/2017 yang kemudian diubah dengan UU No. 7/2023, Pasal 414 Ayat (1) ambang batas parlemen ditetapkan paling sedikit empat persen dari jumlah suara sah secara nasional.
Jika parpol tidak memenuhi syarat ambang batas tersebut, maka parpol tersebut tidak diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR. Dengan demikian, calon anggota legislatif (DPR) dari parpol tersebut juga tidak bisa lolos dan ditetapkan sebagai anggota DPR (Pasal 415 Ayat (1)). Parliamentary threshold dan penyederhanaan partai Sejak 2009 itu pula, tercatat sebanyak 7 (tujuh) kali perkara pengujian terhadap UU (PUU) Pemilu di Mahkamah.
Dari tujuh PUU tersebut, enam PUU dinyatakan “ditolak” seluruhnya atau sebagian, dan/atau tidak dapat diterima dengan beragam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Mahkamah. Argumen hukum penerapan ambang batas parlemen yang dibangun di dalam UU Pemilu dan disepakati oleh Mahkamah dalam sejumlah pertimbangan hukumnya, selalu dikaitkan dengan konsep “penyederhanaan sistem kepartaian” dan “proporsionalitas hasil pemilu”.
Bahwa penetapan ambang batas merupakan instrumen hukum dan politik untuk mengurangi jumlah partai politik di parlemen, sehingga terwujud kondisi politik nasional yang stabil. Dengan catatan, selama kebijakan tersebut tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas, hal tersebut menurut Mahkamah adalah konstitusional.
Kebijakan ambang batas parlemen dalam sistem politik multipartai Indonesia tidak melanggar konstitusi, karena kebijakan tersebut tetap memberikan kesempatan luas dan terbuka kepada setiap warga negara untuk membentuk parpol.
Karenanya, bagi Mahkamah, kebijakan tersebut dibolehkan oleh konstitusi sebagai kebijakan hukum terbuka (open legal policy) dari pembentuk undang-undang terkait politik penyederhanaan kepartaian, dan penguatan sistem presidensial yang lebih kuat, efektif, dan stabil. Penyederhanaan jumlah partai politik di parlemen diyakini tidak bertentangan dengan demokrasi dan hak asasi manusia terutama hak untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat. []
Redaksi08