NUNUKAN – Kini dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Nunukan Kalimantan Utara (Kaltara), ini kondisi terakhir dua Bayi yang menderita infeksi paru-paru. Muhammad Naufal salah satu bayi tersebut hanya sesekali meminum susu bayi dalam dot yang diberikan ibunya. Bayu tersebut kembali menangis seakan tak bisa menahan rasa sakitnya.
Raut wajah sedih dan tampak kebingungan dari Riska Dwi Marita (30) yang melihat bayi laki-laki miliknya hanya bisa menangis di atas kasur ruangan RSUD Nunukan. Seorang bayi yang belum genap berusia satu tahun bernama Muhammad Naufal itu, merupakan anak pertama dari pasangan Riska Dwi Marita dan Arifin Triasakti.
Wanita berhijab hitam itu berasal dari Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Muhammad Naufal hanya sesekali meminum susu bayi dalam dot yang diberikan ibunya dan kembali menangis seakan tak bisa menahan rasa sakitnya. “Kami sampai rumah sakit hari Minggu sore. Kondisi anak saya lemas. Dokter sudah cek darah dan rontgen katanya Naufal infeksi paru-paru,” kata Riska Dwi Marita saat ditemui di RSUD Nunukan, Rabu (01/05/2024).
Riska yang baru kerja satu minggu di PT Bhumi Sei Menggaris Indah (BSI) Nunukan terpaksa harus membawa bayinya ke RSUD Nunukan untuk mendapatkan perawatan yang lebih intensif. Dia mengaku bayinya sudah seminggu menderita sakit dengan gejala batuk, pilek, demam, dan Muntaber. Sebelumnya Riska sempat mengecek kondisi bayinya ke klinik PT BSI, namun dokter di sana memintanya untuk merujuk bayinya ke RSUD Nunukan.
Saat mendengar itu Riska sempat bingung karena dia dan suami tak punya biaya di tangan. Sementara pasangan suami istri itu baru bekerja selama satu minggu di PT BSI dan tidak memiliki BPJS Kesehatan. Akhirnya, perusahaan bersedia meminjamkan uang kepada Riska dan suami untuk biaya berobat di RSUD Nunukan dengan catatan potong gaji bulan ini.
“Saya dan suami kerja panen sawit. Potong pelepah pohon dan ambil brondolan yang suami saya panen. Upah kami satu bulan Rp3,3 juta. Kerja dari pukul 05.00 Wita (dini hari) sampai 17.00 Wita. Selama kerja anak kami dititipkan ke TPA (tempat penitipan anak) milik perusahaan,” ucapnya. Riska menduga bayinya kurang mendapat perhatian oleh pengasuh di TPA PT BSI. Dia menyebut ada sekira 50-an bayi dan Balita yang dititipkan oleh orangtuanya di TPA tersebut.
Setiap kali menitipkan bayinya, Riska mengisi dot anaknya dengan teh manis dan sebotol air mineral, lantaran kualitas air di perusahaan tersebut tampak kurang baik. Bahkan keruh. “Tiga hari saya titipan di TPA, bayi saya langsung pilek, batuk, demam, dan Muntaber. Tapi saya dan suami terpaksa harus kerja. Jadi saya isi teh dalam dot anak saya dan satu botol air Aqua. Saya juga siapkan pampers. Penjaga anak di TPA hanya tiga orang dan bayi ada 50-an orang. Saya tidak tahu bagaimana mereka urus bayi di situ,” ujarnya.
Saat menanyakan kepada karyawan lainnya Riska mendengar bahwa anak-anak di TPA sering diberi air mentah oleh pengasuhnya. Riska Dwi Marita (30) saat ditemui di ruangan Anggrek RSUD Nunukan, Rabu (01/05/2024), pagi. “Saat pulang kerja yang pengasuh di situ bilang anak saya semakin lemas. Sampai di mes perusahaan saya buka dot itu masih ada teh manis. Artinya dotnya tidak diberikan ke bayi saya dan air mineralnya juga masih ada,” tambahnya.
Riska semakin yakin setelah mendengar penjelasan dokter yang mendiagnosa bayinya sering minum air mentah. Sehingga banyak cairan dalam dada yang perlu disedot keluar. “Saya hanya bisa berdoa untuk kesembuhan anak saya,” tuturnya sembari meneteskan air mata. Riska juga menceritakan bahwa pada hari yang sama saat Naufal dirujuk ada bayi lain yang juga dibawa oleh orangtuanya ke RSUD Nunukan.
Diagnosa dokter juga sama dengan bayi Naufal yakni infeksi paru-paru. Namun kondisi bayi tersebut jauh lebih buruk dari Naufal. Bahkan sedang mengalami koma dan dirawat di ruang Pediatric Intensive Care Unit (PICU) RSUD Nunukan. “Ada bayi teman saya juga, kondisinya koma. Saat dirujuk ke sini bayi itu sempat kejang-kejang. Anak itu juga dititip di TPA PT BSI,” ungkapnya.
Sebelum kerja di PT BSI, Riska dan suaminya sempat bekerja di Sangatta, Kalimantan Timur (Kaltim). Keduanya diberhentikan lantaran jarang masuk kerja akibat harus mengurus bayinya yang sempat sakit. Riska saat itu ingin pulang kembali ke Jawa, namun tidak memiliki ongkos pulang. Sehingga dia dan suami harus bertahan dan akhirnya bertemu dengan seorang pria yang diduga calo.
“Ada seorang pria tawari kami kerja panen sawit di perusahaan. Tapi kami pikir masih di wilayah Kalimantan Timur. Saat itu saya bilang kami hanya punya scan KTP, kata orang itu enggak masalah karena HRD perusahaan sudah setujui,” imbuhnya.
Akhirnya pasangan suami istri itu dijemput sebuah mini bus. Di dalam mini bus itu terdapat sekira 7 orang yang juga akan bekerja di perusahaan. Riska yang penasaran, akhirnya bertanya kepada sopir bus, ke mana akan membawa mereka. “Kami dijemput Lebaran keempat. Sopir itu bilang kami mau dibawa ke Sei Menggaris, Kalimantan Utara. Mau bagaimana lagi kami sudah di dalam bus. Dua hari dua malam kami di dalam bus. Hanya sekali berhenti di emperan toko saat hujan. Kami tidur di emperan toko berdempetan,” pungkas Riska.
Setibanya di perusahaan, Riska dan suami diarahkan ke klinik PT BSI untuk cek kesehatan. Namun Kartu Tanda Penduduk (KTP) asli Riska dan suami dipertanyakan oleh perawat di klinik tersebut. “Saya bilang orang yang bawa kami ke sini katanya HRD perusahaan sudah setuju. Enggak masalah kalau hanya scan KTP. Kata perawat itu pakai orang dalam saja, urus KTP paling bayar Rp2 juta. Kami iyakan karena persyaratan bulan depan harus punya KTP asli kalau enggak diberhentikan,” imbuhnya. []
Redaksi07