Oleh Abdullah Khaliq, S.H., M.H.*
PERIODE jabatan kepala daerah, baik itu gubernur, bupati, dan wali kota, sering kali memunculkan multitafsir dari berbagai pihak, saat ada kepala daerah yang harus berurusan dengan hukum, sehingga wakil kepala daerah ditunjuk untuk menggantikannya. Untuk itu kita harus melihat terlebih dahulu legal standing yang paling substantif, pertama, bahwa Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) telah mengatur terkait batasan periodisasi masa jabatan presiden, yakni selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Dengan pengertian ini, maka masa jabatan demikian berlaku pula bagi kepala daerah. Hal itu ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan demikian, dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, jabatan-jabatan dalam pemerintahan, baik menurut konstitusi maupun perundang-undangan lainnya, pengaturannya membatasi masa jabatan di semua tingkatan, maksimal hanya boleh dua periode masa jabatan.
Kedua, kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, karena kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah dipilih secara bersama-sama, tidak mungkin kepala daerah dipilih terpisah dengan wakilnya, dalam artian bahwasanya jika kepala daerah nantinya dalam perjalanan masa jabatannya tersandung kasus hukum atau meninggal dunia, pastilah wakil kepala daerah yang melanjutkan tugasnya menjadi kepala daerah, sampai habisnya masa jabatan/masa kerjanya.
Hal tersebut secara jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 34 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan, “Apabila kepala daerah dan wakil kepala daerah diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), dan Pasal 32 ayat (5), Presiden menetapkan penjabat gubernur atas usul Menteri Dalam Negeri atau penjabat bupati/walikota atas usul gubernur dengan pertimbangan DPRD sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.” Sehubungan dengan pelantikan wakil kepala daerah menjadi kepala daerah tersebut juga diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 35 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelantikan Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah, penyelengara pelantikan adalah DPRD kabupaten setempat yang diselenggarakan dalam Rapat Paripurna DPRD yang bersifat istimewa.
Ketiga, sebagai contoh kaitannya dengan jika ada kepala daerah yang berurusan dengan hukum kemudian dicopot, wakil kepala daerah lah yang melanjutkan jabatan hingga berakhir. Periode kepemimpinan kepala daerah yang melanjutkan jabatan sering membingungkan apabila sang pejabat akan maju dalam Pemilihan Kepala Daerah. Namun sekarang sudah ada sedikit gambaran dan kejelasan dari yurisprudensi mahakamah konstitusi kaitannya dengan hal tersebut, jabatan kepala daerah berdasarkan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-VII/2009 dalam perkara permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, ialah “Masa jabatan kepala daerah adalah 5 tahun, namun penjabaran satu periode masa jabatan adalah masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih dari setengah masa jabatan”.
Dengan demikian, seorang kepala daerah dinyatakan telah menghabiskan masa jabatan satu periode, apabila telah menjalani setengah masa jabatan minimal 2,5 tahun atau lebih dari itu. Bila seorang wakil kepala daerah menggantikan kepala daerah di tengah jalan maka perlu dihitung berapa lama sisa masa jabatan yang akan dilaluinya. Bila sisa masa jabatannya masih 2,5 tahun atau lebih maka wakil kepala daerah itu telah dihitung satu periode menjabat sebagai kepala daerah. Bila sisa masa jabatan yang dilaluinya kurang dari 2,5 tahun maka tidak dihitung sebagai satu periode”. Putusan itu kemudian dikuatkan kembali dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU- XVIII/2020 yang menyatakan, “Setengah masa jabatan atau lebih dihitung satu kali masa jabatan.” Artinya, jika seseorang telah menjabat Kepala Daerah atau sebagai Pejabat Kepala Daerah selama setengah atau lebih masa jabatan, maka yang bersangkutan dihitung telah menjabat satu kali masa jabatan, yang mana kata “menjabat” dalam frasa “belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil Walikota” dalam Pasal 7 ayat (2) huruf n UU No. 10 Tahun 2016 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai menjadi “menjabat secara definitif”, dengan sendirinya telah terjawab oleh pertimbangan hukum putusan tersebut.
Dengan demikian berdasarkan pertimbangan hukum dan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-VII/2009 yang kemudian dikuatkan dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XVIII/2020, makna kata “menjabat” dimaksud telah jelas dan tidak perlu dimaknai lain selain makna dimaksud dalam putusan tersebut. Dengan demikian, kata “menjabat” adalah masa jabatan yang dihitung satu periode, yaitu masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih dari masa jabatan kepala daerah, kemudian diperkuat juga dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XXI/2023. Melalui putusan a quo, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa yang dimaksudkan dengan masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih adalah sama dan tidak membedakan ”masa jabatan yang telah dijalani” tersebut, baik yang menjabat secara definitif maupun penjabat sementara, karena kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah satu kesatuan, dan dipilh secara bersama-sama.
Akan tetapi di lapangan terjadi persoalan karena adanya tafsir dari berbagai pihak, misalnya mengenai masa jabatan selama 2,5 tahun atau lebih hanya diperuntukkan oleh pejabat daerah definitif. Atas dasar tersebut, Komisi Pemilihan Umum selaku penyelenggara pemilihan umum, perlu menegaskan kembali yurisprudensi Mahkamah Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-VII/2009, Nomor 67/PUU-XVIII/2020 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XXI/2023. Penegasan itu dilakukan dengan membentuk peraturan yang lebih teknis berkaitan dengan persyaratan pendaftaran bakal calon kepala daerah-kepala daerah kedepan, sehingga jika nantinya bakal calon kepala daerah yang ingin maju dalam kontestasi politik tersebut menjadi tertib dan tidak ada lagi keragu-raguan. []
*Penulis adalah advokat pada Kantor Hukum Haji Nasrun Mumin Law Firm dan juga seorang Dosen Perguruan Tinggi Swasta di Kalimantan timur.