Kian Mencekam, Gelombang Kerusuhan Menghantui Perancis

Aksi demonstrasi besar-besaran dilakukan warga Nanterre, sebelah barat Paris, saat pemakaman Nahel M, remaja yang ditembak mati polisi Perancis. -(Foto : Rauters)

 

Prancis dinyatakan chaos sejak Jumat kemarin (30/6/23). Pembakaran, penjarahan meluas ke berbagai kota, buntut dari kematian seorang remaja muslim yang ditembak polisi. Isu rasial dan sentimen agama pun merebak.

 

INTERNASIONAL, PERANCIS – PIHAK kepolisian Perancis telah menangkap lebih dari 700 orang dalam kerusuhan pembunuhan seorang remaja oleh polisi. Lima hari setelah peristiwa itu, Prancis telah mengerahkan 45.000 petugas dalam semalam yang didukung oleh kendaraan lapis baja ringan dan unit polisi anti huru-hara untuk memadamkan kemarahan warganya.

Di sisi lain Paris, demonstran menyalakan api di balai kota pinggiran Clichy-sous-Bois dan membakar depot bus di Aubervilliers. Di beberapa lingkungan Paris, sekelompok orang melemparkan petasan ke pasukan keamanan.

Kantor polisi di distrik 12 kota diserang, sementara beberapa toko dijarah di sepanjang jalan Rivoli, dekat museum Louvre, dan di Forum des Halles, pusat perbelanjaan terbesar di pusat kota Paris. Di Kota pelabuhan Mediterania Marseille, polisi berusaha membubarkan kelompok kekerasan di pusat kota.

Kerusuhan disertai kekerasan itu memaksa pemerintah menyiapkan semua opsi untuk memulihkan kondisi. Ratusan orang dilaporkan ditangkap dan ratusan polisi terluka. Presiden Prancis Emmanuel Macron bahkan harus memerintahkan platform media sosial menghapus video sensitif yang menangkap penembakan remaja tersebut.

Kementerian Dalam Negeri Perancis pada Minggu (2/7/2023) mengatakan, berdasarkan penghitungan sementara, polisi telah melakukan 719 penangkapan dalam kerusuhan pada Sabtu malam.

Sementara itu, disebutkan, ada 577 kendaraan dan 74 bangunan yang dibakar oleh pengunjuk rasa. Kementerian menyebut total ada 871 insiden kebakaran yang dilaporkan terjadi di jalan-jalan dan ruang publik lainnya.

Melansir Reuters, Menteri Dalam Negeri Prancis mengatakan, dalam beberapa jam ke depan, pihaknya bakal mengerahkan sekitar 45.000 orang polisi turun ke jalan-jalan. “Jam-jam berikutnya akan menentukan dan saya tahu saya dapat mengandalkan upaya Anda yang sempurna,” kata Menteri Dalam Negeri Gerald Darmanin.

Hal itu disampaikannya kepada petugas pemadam kebakaran dan polisi yang berusaha memadamkan kerusuhan yang pecah setelah malam tiba. Dia pun meminta otoritas setempat menghentikan layanan bus dan trem mulai pukul 9 malam (19.00 GMT) waktu setempat di seluruh Prancis.

Kerusuhan kali ini disebut telah menghidupkan kembali kejadian serupa pada tahun 2005. Yaitu, tiga minggu kerusuhan nasional yang memaksa Presiden Jacques Chirac mengumumkan keadaan darurat setelah kematian dua pemuda tersengat listrik di gardu listrik saat mereka bersembunyi dari polisi.

Sementara itu, para perusuh menyasar kediaman Wali Kota L’Hay-les-Roses, Vincent Jeanbrun. Hal tersebut diungkapkan walikota yang mengatakan bahwa para pengunjuk rasa menabrakkan sebuah mobil ke rumahnya. Bukan hanya itu, dia menyampaikan di Twitter, bahwa setelah menabrakkan mobil, para perusuh membakar rumahnya di saat anggota keluarganya sedang tidur.

“Tadi malam tonggak sejarah tercapai dalam kengerian dan aib,” tulis Jeanbru, Minggu (2/7/2023), dikutip dari AFP.

Insiden ini terjadi pada malam kelima kerusuhan Paris atau pada Sabtu (1/7/2023) malam waktu setempat. Di sejumlah kota di Perancis, para perusuh telah membakar mobil, menyerang infrastruktur, dan bentrok dengan aparat keamanan. “Istri dan salah satu anak saya terluka. Itu adalah percobaan pembunuhan yang tak terbantahkan,” kata Wali Kota Jeanbrun.

Kerusuhan Perancis terjadi sebagai buntut kemarahan warga atas tindakan polisi menembak mati remaja bernama Nahel M (17) yang mencoba melarikan diri dari pemberhentian lalu lintas. Penembakan tersebut terjadi pada Selasa (27/6/2023), dan sejak itu kerusuhan pecah di berbagai kota di Perancis.

Upacara pemakaman Nahel M telah dilakukan di kampung halamannya, Nanterre, pada Sabtu. Ketika pemakaman remaja Perancis itu berlangsung, ratusan orang berkumpul dengan tenang bersama ibu dan neneknya. Acara itu ditandai dengan “refleksi” dan berlangsung tanpa adanya insiden, kata seorang saksi mata kepada AFP.

 

SIAPA NAHEL M?

Nahel M, remaja Prancis keturunan Aljazair, yang kematiannya memicu kerusuhan. -(Foto : AFP)

Kematian Nahel M (17) telah memicu kericuhan di berbagai kota di seluruh Perancis, termasuk di Nanterre, sebelah barat Paris, tempat dia dibesarkan. Nahel adalah seorang anak tunggal yang dibesarkan oleh ibunya. Dia bekerja sebagai sopir untuk jasa pengiriman makanan dan dia juga bermain dalam liga rugby.

Dia terdaftar di sebuah perguruan tinggi di Suresnes, tidak jauh dari tempat tinggalnya, untuk menjadi ahli kelistrikan. Mereka yang mengenalnya mengatakan Nahel sangat dicintai di Nanterre, tempat dia tinggal bersama ibunya, Mounia, dan tampaknya tidak pernah mengenal ayahnya.

Dia tidak memiliki catatan kriminal, tetapi dia dikenal oleh polisi. Dia selalu mencium ibunya sebelum dia pergi bekerja, ditambah kata-kata “Aku mencintaimu, Bu”. Tak lama setelah pukul 09.00 pada Selasa (27/6/2023), dia ditembak di dada dari jarak dekat karena tidak mematuhi perintah polisi untuk menghentikan mobil Mercedes-nya setelah melanggar lalu lintas.

“Apa yang akan saya lakukan sekarang?” tanya ibunya. “Saya mencurahkan segalanya untuk dia. Saya hanya punya satu, saya tidak punya 10 (anak). Dia adalah hidup saya, sahabat saya,” katanya.

Neneknya menyebut Nahel sebagai anak yang ramah dan baik. “(Dia) menolak untuk berhenti, tapi bukan berarti Anda diizinkan untuk membunuhnya,” kata pemimpin Partai Sosialis, Olivier Faure. “Semua anak Republik memiliki hak atas keadilan,” tambahnya.

Nahel menghabiskan tiga tahun terakhir bermain rugby di klub Pirates of Nanterre. Dia telah menjadi bagian dari program integrasi untuk remaja yang kesulitan di sekolah. Program itu dijalankan oleh sebuah yayasan bernama Ovale Citoyen.

Program tersebut bertujuan untuk mengajak orang-orang dari daerah tertinggal untuk magang dan Nahel sedang belajar menjadi teknisi kelistrikan.

Ketua Ovale Citoyen, Jeff Puech, adalah salah satu orang yang paling mengenalnya. Dia bertemu Nahel beberapa hari lalu dan berbicara tentang anak yang menggunakan rugby untuk bertahan hidup itu.

“Dia adalah seseorang yang memiliki keinginan untuk menyesuaikan diri secara sosial dan profesional, bukan anak yang berurusan dengan narkoba atau mendapat kesenangan dari kejahatan remaja,” kata Puech kepada Le Parisien.

Dia memuji sikap teladan remaja itu, jauh dari pembunuhan karakter yang disebarkan di media sosial. Dia mengenal Nahel ketika dia tinggal bersama ibunya di Vieux-Pont, pinggiran kota Nanterre, sebelum mereka pindah ke perkebunan Pablo Picasso.

Satu hal yang menjadi perhatian, keluarganya berasal dari Aljazair. “Semoga Allah memberinya rahmat,” bunyi tulisan yang dibentangkan di jalan lingkar Paris, di luar Stadion Parc des Princes.

“Kekerasan dilakukan oleh polisi setiap hari, terutama jika Anda orang Arab atau berkulit hitam,” kata seorang pemuda di kota Perancis lainnya, yang menyerukan keadilan bagi Nahel.

Namun, pengacara keluarga, Yassine Bouzrou, mengatakan ini bukan tentang rasisme, tapi tentang keadilan. “Kami memiliki sistem hukum dan peradilan yang melindungi petugas polisi dan menciptakan budaya impunitas di Perancis,” katanya kepada BBC.

Nahel sudah lima kali menjadi subyek pemeriksaan polisi sejak 2021 -yang dikenal dengan refus d’obtempérer- penolakan untuk bekerja sama. Baru-baru ini, pada akhir pekan lalu, dia dilaporkan berada di tahanan karena penolakan semacam itu dan akan diadili di pengadilan remaja pada September.

Sebagian besar masalah yang dia alami baru-baru ini melibatkan mobil. Kericuhan yang dipicu oleh kematiannya menjadi pengingat bagi banyak orang di Perancis pada peristiwa tahun 2005 lalu. Ketika itu dua remaja, Zyed Benna dan Bouna Traoré, disetrum saat mereka melarikan diri dari polisi setelah pertandingan sepak bola dan menabrak gardu listrik di kota Clichy-sous-Bois, di pinggiran Paris.

“Bisa jadi saya, bisa saja adik laki-laki saya,” kata seorang remaja Clichy bernama Mohammed kepada situs Prancis Mediapart. []

Penulis/Penyunting : Agus P Sarjono (Dari berbagai sumber)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com