Pasal-Pasal Karet Dalam Revisi UU ITE

Tajuk Rencana
Agus P Sarjono

KEBEBASAN berekspresi menjadi salah satu isu yang paling mengemuka di tengah refleksi 23 tahun reformasi di Indonesia. Terlebih, hal ini menjadi keprihatinan bersama ketika maraknya ancaman pemidanaan terhadap beberapa aktivis demokrasi yang bersuara kritis.

Karena itu, rencana pemerintah dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) merevisi Undang-undang Informasi Transaksi dan Elektronik (ITE) banyak ditunggu publik. Sayangnya, harapan tak sesuai kenyataan. Sejumlah pasal yang selama ini dianggap bermasalah justru tak tersentuh untuk dilakukan revisi.

Masih ada pasal-pasal karet di UU ITE yang selama ini kerap menjadi alat kriminalisasi dan pemberangusan hak kemerdekaan berpendapat berekspresi. Diantaranya, Pasal 26 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (2), Pasal 29, Pasal 36, Pasal 40 ayat (2a), Pasal 40 ayat (2b), dan Pasal 45 ayat (3).

Seperti diketahui, Data Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) menyebutkan sejak awal 2008-25 Desember 2015, sudah ada 134 orang yang dijerat dengan UU ITE, setiap tahunnya masyarakat yang terjerat dengan UU ITE tersebut terus-menerus mengalami peningkatan.

Pada 2008 dan 2009, hanya ada dua orang yang dijerat dengan UU ITE, lalu 2010 menurun menjadi satu orang. Namun sejak 2011 sudah ada tiga orang yang terjerat UU ITE kemudian pada 2012 meningkat menjadi sekitar tujuh orang dan pada 2013 ada sebanyak 20 orang terjerat UU ITE, selanjutnya pada 2014 ada sebanyak 41 orang dan 2015 sebanyak 60 orang yang terjerat dengan UU ITE.

Selain itu, sepanjang 2015, jumlah pengaduan masyarakat yang berkaitan dengan UU ITE juga mengalami peningkatan sekitar 40 persen dibandingkan dengan tahun lalu. Hampir setiap bulannya, ada empat aduan yang berkaitan dengan UU ITE kepada institusi hukum dan sebesar 90 persen aduan, merupakan aduan yang terkait denggan pasal pencemaran nama atau defamasi.

Sementara berdasarkan catatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), sepanjang tahun 2020 hingga 2021, mereka bersama 18 LBH Kantor telah menangani 199 kasus berkaitan dengan pelanggaran Hak Kebebasan Berekspresi dan Menyampaikan Pendapat. Dari seluruh kasus tersebut, YLBHI menilai UU ITE seringkali dijadikan dasar pelaporan untuk membungkam suara kritis warga negara.

Di sisi lain, menurut Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (Elsam) ada dua pengaturan terkait dengan tindak pidana pencemaran nama baik. Pertama Pasal 27 Ayat (2) UU ITE, dan kedua ada di Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 310 Ayat (1). Kedua pasal itu memiliki fungsi yang sama untuk menjerat pelaku pencemaran nama baik secara langsung maupun melalui media sosial

Sebab itu timbul kekhawatiran pengaturan tersebut malah membuat tumpang tindih dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal ini karena memungkinkan penghukuman yang berbeda jika ada dua kasus pencemaran nama baik. Sebab, dasar hukum yang digunakan berbeda.

Terlebih, proses revisi UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dilakukan secara tertutup oleh Komisi I DPR dan pemerintah. Tidak ada informasi yang dapat diakses masyarakat secara terbuka terkait dengan proses revisi UU tersebut.

Informasi terakhir yang dapat diakses publik dalam laman website DPR RI hanya info RUU sedang dalam pembahasan tahap II oleh DPR RI dan Pemerintah tanpa ada informasi apapun yang bisa diakses.

Padahal proses revisi UU ITE seharusnya dilakukan secara terbuka dengan memberikan informasi yang mudah diakses dan membuka kesempatan kepada masyarakat seluas-luasnya untuk berpartisipasi secara bermakna.

Masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan informasi (right to be informed), hak untuk didengar pendapatnya (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan (right to be considered), hak untuk mendapatkan penjelasan (right to be explained), serta hak untuk menyampaikan komplain (right to be complained) dalam penyusunan Undang-Undang.

Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 96 UU Pembentukan Peraturan Perundangan-Undangan dan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

Semoga wakil rakyat di DPR RI dan pemerintah dapat mendengar keinginan masyarakat. Menunda pengesahan revisi UU ITE dengan terlebih dahulu memberikan kesempatan masyarakat dan pihak terkait untuk menyampaikan hal-hal yang perlu diatur maupun dihapus dalam UU ITE.

Karena sesungguhnya yang telah terjadi selama ini adalah, penerapan UU ITE itu ditujukan kepada warga negara. Terkhusus, aktivis yang kerap bersuara kritis kepada pemerintah. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com