Biaya Produksi Petani Masih Tinggi, Ini Kata Kades Giri Agung

SEBULU – MESKI sektor pertanian masih menjadi andalan dalam membangun ketahanan pangan, namun tingginya biaya produksi dibanding nilai tukar petani, membuat para pelaku usaha tani belum mampu bangkit dari keterpurukan perekonomian mereka.

Hal inilah yang menjadi perhatian Kepala Desa (Kades) Giri Agung Supriyadi saat ditemui beritaborneo.com usai acara syukuran panen jagung Kelompok Tani Giri Madyo di Desa Giri Agung, Kecamatan Sebulu, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Minggu (10/03/2024).

Dia berharap, pemerintah dapat melakukan terobosan untuk mengatasi tingginya biaya produksi yang harus dikeluarkan petani.

“Pemerintah hingga saat ini belum membuat terobosan yang membanggakan terkait dengan penekanan biaya. Padahal masalah yang dihadapi petani adalah biaya, terkait dengan pembukaan lahan, pupuk, alat, obat racun herbisida dan fungisida, serta next proccessnya,” kata Supriyadi.

Dia kemudian mencontohkan apa yang dialami Kelompok Tani (Poktan) Giri Madyo yang baru saja melakukan panen jagung hibrida di lahan seluas tiga hektar. Selain mengapresiasi keberhasilan poktan Giri Madyo, Supriyadi tidak menutupi adanya kendala yang sampai saat ini masih dialami oleh Kelompok Tani Giri Madyo, yakni terkait proses penyiapan lahan.

Selama ini, dia mengungkapkan bahwa proses penyiapan lahan untuk dijadikan lahan produktif masih menggunakan cara manual, yaitu dengan proses pembakaran di spot-spot tertentu, tidak ada alat yang memadai untuk mendukung proses pembukaan lahan.

“Kami masih bakar di spot-spot tertentu dengan jarak, agar space-nya tidak terlalu luas sehingga bisa menimbulkan titik hotspot di BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika -red),” ungkapnya.

Tak hanya kendala alat untuk membuka lahan, masalah lainnya adalah mengenai keberlanjutan proses penanaman komoditi, terutama jagung. Dia mengatakan bahwa sampai saat ini, biaya yang dibebankan kepada petani mulai dari proses penanaman hingga pemanenan sangatlah mahal dan kadangkala tidak mampu untuk dikeluarkan oleh petani.

“Kegiatan seperti ini kan membutuhkan modal yang sangat besar, jadi petani itu keberatannya ketika membeli benihnya yang mahal. Kalau bisa tanam sekitar tiga hektar, biaya yang dikeluarkan petani sekitar Rp 6 hingga 10 juta. Kalau petani kecil ya, tidak mampu. Beda lagi ceritanya kalau habis panen, benih tersebut bisa ditanam kembali oleh petani maka akan lebih murah,” terangnya.

Supriyadi menjelaskan, pihaknya begitu menanti adanya upaya proses berkelanjutan terhadap benih yang telah ditanam sebelumnya. Sehingga bisa menekan biaya produksi bagi para petani agar dapat melanjutkan proses penanaman di sesi selanjutnya setelah pemanenan dilakukan.

 

Panen jagung Poktan Giri Madyo sendiri ditandai dengan acara syukuran yang dihadiri sejumlah pemangku kepentingan di bidang pertanian. Seperti Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Kukar, Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA), Asosiasi Petani Jagung Indonesia (APJI), Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), Kepala Desa Giri Agung, dan masyarakat sekitar.

“Kami begitu mengapresiasi kegiatan ini. Adapun kontribusi pihak desa dalam menyukseskan proses penanaman sampai pemanenan jagung ini adalah berkenaan dengan proses. Proses penyiapan dan legalisasi lahan, sehingga dalam proses penanaman sampai hari ini tidak ada masalah,” pungkas Supriyadi. []

Penulis: Nistia Endah Juniar Prawita | Penyunting: Agus P Sarjono

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com