65 Perusahaan Sawit Diduga Kelola Hutan Ilegal di Kotim

KOTAWARINGIN TIMUR – Kementerian Kehutanan (Kemenhut) mengidentifikasi sekitar 65 perusahaan besar swasta (PBS) yang diduga menggarap kawasan hutan secara ilegal di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Kalimantan Tengah. Lahan yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan tersebut diperkirakan mencapai 66 ribu hektare.

Temuan ini berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 36 Tahun 2025 yang diterbitkan pada 6 Februari 2025. Kebijakan tersebut merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk menertibkan kawasan hutan sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025.

Berdasarkan laporan yang diterima, total permohonan yang masuk di Kotim untuk pengelolaan lahan mencapai 301.989 hektare. Dari jumlah tersebut, 236 ribu hektare masih dalam proses persetujuan, sementara 66.180 hektare ditolak karena tidak memenuhi kriteria dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) yang diatur dalam Pasal 110A.

Di Provinsi Riau, misalnya, terdapat 11 grup besar sawit anggota RSPO (Rountable on Sustainable Palm Oil) dengan luas sekitar 59.817,70 hektare.

Di Kalimantan Tengah, terdapat 10 grup besar sawit yang menguasai sekitar 134.319,63 hektare, hampir setengah dari total luas tersebut berada di wilayah Kotim.

Achmad Surambo, Direktur Sawit Watch, mengungkapkan bahwa Keputusan Menteri Kehutanan 36/2025 merupakan bagian dari transparansi yang dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan masalah perkebunan sawit di kawasan hutan.

Surambo menambahkan, meskipun kebijakan ini menunjukkan langkah positif dalam proses penyelesaian, namun ia mengkhawatirkan kelanjutan dari proses ini tidak dijelaskan secara rinci.

Ia pun mendesak agar penegakan hukum segera dilakukan terhadap perusahaan-perusahaan yang terbukti menggarap kawasan hutan tanpa izin.

Penyelesaian masalah kebun ilegal yang terdeteksi dalam kawasan hutan perlu dilakukan dengan transparan dan melibatkan partisipasi publik. Hal ini diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Walhi Kalteng, Bayu Herianata.

Walhi Kalteng mencatat bahwa pada tahun 2023, terjadi aktivitas pembangunan kebun kelapa sawit di Kotim dan Seruyan yang diduga berada di dalam kawasan hutan tanpa izin, dengan luas mencapai 51.037 hektare.

Dari jumlah tersebut, sekitar 43.228 hektare berada di kawasan ekosistem gambut, termasuk lahan fungsi lindung dan ekosistem gambut budidaya.

“Upaya penyelesaian ini harus dilakukan dengan keterbukaan, sehingga masyarakat dapat memantau proses dan hasilnya,” kata Bayu.

Ia juga menekankan pentingnya untuk memastikan bahwa perusahaan yang terbukti melanggar hukum tidak mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan pengampunan atau pemutihan, mengingat dampak lingkungan yang ditimbulkan.

Di sisi lain, Ketua Gabungan Pengusaha Perkebunan Indonesia (GPPI) Kalimantan Tengah, Siswanto, belum memberikan komentar terkait hasil rilis tersebut. “Mohon maaf, saya belum bisa memberikan komentar,” katanya singkat.

Kasus ini mencerminkan tantangan besar dalam pengelolaan kawasan hutan dan kelapa sawit di Indonesia, yang sering kali melibatkan ketidaksesuaian antara praktik di lapangan dan regulasi yang ada.

Ke depan, pemerintah diharapkan dapat lebih tegas dalam menindaklanjuti temuan ini dan melakukan penegakan hukum yang efektif demi keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial bagi masyarakat. []

Redaksi03

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com