KURANG dari setahun Pemilihan Umum (Pemilu) bakal digelar secara serentak. Mulai pemilihan anggota legislatif tingkat kota/kabupaten, provinsi dan nasional, serta senator daerah hingga pemilihan presiden.
Tak dapat dipungkiri, dalam Pemilu 2024 ini peran partai politik begitu dominan. Baik dalam hal penentuan nama calon legislatif (caleg) maupun pengusungan calon presiden (capres). Rakyat sebagai unsur utama demokrasi seakan terabaikan perannya. Pelaksanaan pemilu pun seolah menjadi suatu ritual lima tahun bagi elite parpol.
Partai politik (parpol) sebagai konstituen perhelatan pesta demokrasi, telah menyorongkan sejumlah nama untuk menjadi anggota legislatif. Demikian pula untuk calon presiden, meski belum diajukan secara resmi.
Partai-partai besar, sebut saja Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Demokrat hingga Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), telah mendeklarasikan capresnya.
Tak dapat dipungkiri, dalam Pemilu 2024 ini peran partai politik begitu dominan. Baik dalam hal penentuan nama caleg maupun pengusungan capres. Rakyat sebagai unsur utama demokrasi seakan terabaikan perannya. Pelaksanaan pemilu pun seolah menjadi suatu ritual lima tahun bagi elit parpol.
Pemilu menjadi kompetisi “pacuan kuda” yang tidak menjawab tujuan pemilu itu sendiri. Padahal pemilu adalah untuk memilih wakil rakyat dan pemimpin dalam sirkulasi kekuasaan yang sejalan dengan kepentingan publik. Namun demokrasi kita malah mengalami kemunduran dan menuju pada otoritarianisme. Hanya sirkulasi kekuasaan diantara elite, bukan untuk kepentingan rakyat.
Kemunduran demokrasi dan kecenderungan putar balik ke arah otoriterisme ini masih juga berlangsung. Hal itu antara lain ditandai dengan: diabaikannya aturan main demokratis, absennya oposisi karena pelemahan sistematis oleh negara, toleransi atau anjuran terhadap kekerasan, dan pemberangusan kebebasan sipil, termasuk media.
Berbagai gejala kemunduran demokrasi tersebut pada dasarnya merefleksikan dominannya kuasa oligarki dalam sistem politik Indonesia.
Di sini, oligarki didefinisikan sebagai suatu sistem relasi kekuasaan yang memungkinkan terjadinya pengumpulan kekayaan dan kewenangan di tangan segelintir elite beserta seperangkat mekanisme untuk mempertahankannya (Robison dan Hadiz, 2013). Ia juga dapat didefinisikan sebagai politik pertahanan kekayaan di antara para aktor yang menguasainya (Winters, 2013).
Dalam struktur kekuasaan yang oligarkis ini, kita khawatir pemilu 2024 hanya akan menjadi ajang sirkulasi kekuasaan di antara elit oligarki yang memunggungi demokrasi di satu sisi, dan mengabaikan warga negara dalam kebijakan-kebijakan mereka di sisi yang lain. Dengan demikian, pemilu hanya menjadi ritual yang tidak bermakna bagi upaya konsolidasi demokrasi di Indonesia.
Ada perbedaan pilihan dan urgenitas kepentingan politik di level komunal pemilih, elite partai dan atau pemegang saham alias oligarki. Pilihan rakyat belum tentu dipilih atau jika terpilih jadi capres belum tentu menang dalam Pilpres 2024 walaupun dukungan rakyat melimpah.
Suara rakyat sudah tidak didengar, rakyat bukan segalanya dalam penentu pencapresan, tidak ada kewajiban bagi partai untuk mengedepankan demokratisasi, mereka justru bekerja keras mengakomodir oligarki minoritas dari pada pilihan rakyat dan suara hati rakyat.
Tentunya ada kekuatan yang super powerfull mengintervensi proses pencapresan dan kemenangan dari capres tertentu. Luar biasa, bagaimana proses demokrasi di negeri ini dikebiri. [*]