Konsep Pertanggung Jawaban Pidana dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia

Arie Exchell Prayogo Dewangker
(Mahasiswa Doktor Ilmu Hukum (DIH) Angkatan 46 Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya)

Pendahuluan

Hukum pidana di Indonesia saat ini masih sangat dipengaruhi oleh sistem hukum peninggalan kolonial Belanda. Salah satu bukti nyata adalah keberadaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang pada dasarnya merupakan terjemahan dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie tahun 1915. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, KUHP kolonial diadopsi dan diberi penyesuaian minor sesuai kebutuhan Indonesia saat itu. Namun, perkembangan zaman, nilai-nilai sosial, dan teknologi informasi yang semakin maju telah menciptakan urgensi untuk memperbarui hukum pidana demi mencerminkan karakter dan kebutuhan bangsa Indonesia.

Pembaruan hukum pidana telah menjadi agenda penting sejak lama, bahkan dibahas dalam seminar nasional tahun 1963 di Semarang. Para pakar hukum seperti Soedarto, Oemar Seno Adji, dan Ruslan Saleh menekankan pentingnya membangun hukum pidana nasional yang tidak hanya bersifat sistemik, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai budaya Indonesia. Konsep pembaruan ini semakin mendesak karena banyak aturan kolonial yang tidak lagi relevan dengan kebutuhan masyarakat modern.

Prinsip Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana merupakan aspek esensial dalam hukum pidana yang memuat prinsip-prinsip untuk menentukan apakah seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakannya. Dua prinsip utama yang mendasari pertanggungjawaban pidana adalah asas kesalahan (culpability principle) dan asas tanggung jawab mutlak (strict liability).

  1. Asas Kesalahan (Culpability principle)

Prinsip “tiada pidana tanpa kesalahan” (geen straf zonder schuld beginsel) menegaskan bahwa seseorang hanya dapat dihukum jika memiliki kesalahan atas tindakannya. Dalam hal ini, kesalahan mencakup unsur kesengajaan atau kelalaian. Jika seseorang melakukan tindakan terlarang tanpa adanya unsur kesalahan, ia tidak dapat dijatuhi pidana meskipun tindakannya memenuhi unsur tindak pidana. Prinsip ini merupakan asas fundamental dalam hukum pidana Indonesia.

  1. Asas Tanggung Jawab Mutlak (strict liability)

Dalam asas strict liability, pelaku tidak perlu membuktikan adanya unsur kesalahan atau niat jahat (mens rea). Pelaku dapat dihukum hanya berdasarkan fakta bahwa perbuatannya telah memenuhi unsur tindak pidana. Penerapan asas ini sering digunakan dalam kasus yang berkaitan dengan kepentingan umum seperti pelanggaran lingkungan, penjualan makanan yang berbahaya, atau pelanggaran lalu lintas.

Meskipun asas strict liability memungkinkan hukuman tanpa pembuktian kesalahan, penerapannya di Indonesia dibatasi pada jenis tindak pidana tertentu, seperti delik kesejahteraan publik. Batasan ini diperlukan untuk menjaga keseimbangan antara perlindungan masyarakat dan perlakuan adil terhadap pelaku tindak pidana.

Dinamika Pembaruan Hukum Pidana

Pembaruan hukum pidana di Indonesia bertujuan untuk menciptakan sistem hukum yang lebih baik dan relevan dengan nilai-nilai masyarakat. Langkah ini tidak hanya menyempurnakan sistem hukum pidana kolonial tetapi juga menghadirkan konsep-konsep baru yang lebih mencerminkan keadilan sosial.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP Nasional merupakan salah satu bentuk nyata pembaruan hukum pidana. Dalam KUHP yang baru, ada pemisahan tegas antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana diartikan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam pidana oleh undang-undang, sedangkan pertanggungjawaban pidana menentukan apakah pelaku dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakannya.

Salah satu perubahan signifikan adalah pengakuan terhadap hukum adat dan norma-norma sosial yang hidup di masyarakat. Dalam kondisi tertentu, tindakan yang dianggap melawan hukum berdasarkan KUHP dapat dikecualikan jika tindakan tersebut sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat setempat. Pendekatan ini memberikan fleksibilitas dalam penegakan hukum dan mencegah terjadinya konflik antara norma hukum formal dan norma sosial.

Teori Pertanggungjawaban Pidana: Pandangan Monistis dan Dualistis

Dalam pembaruan hukum pidana, terdapat dua pandangan utama terkait hubungan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana: pandangan monistis dan dualistis.

  1. Pandangan Monistis

Pandangan ini menganggap bahwa pertanggungjawaban pidana merupakan bagian dari tindak pidana itu sendiri. Menurut Simons, seorang ahli hukum penganut pandangan monistis, tindak pidana mencakup unsur pelanggaran hukum yang dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja oleh individu yang dapat dimintai pertanggungjawaban. Dengan kata lain, tidak ada pemisahan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana.

  1. Pandangan Dualistis

Sebaliknya, pandangan dualistis memisahkan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Konsep ini lebih sesuai dengan cara berpikir bangsa Indonesia yang menghargai pendekatan sistematis dalam menentukan kesalahan seseorang. Pemisahan ini memungkinkan analisis yang lebih mendalam terhadap unsur-unsur kesalahan dan memberikan fleksibilitas dalam menilai keadaan-keadaan khusus.

Kebijakan Pemidanaan dalam Pembaruan Hukum Pidana

Pembaruan hukum pidana juga mencakup perubahan dalam kebijakan pemidanaan. Dalam pendekatan modern, hukuman tidak hanya bertujuan untuk memberikan efek jera, tetapi juga untuk rehabilitasi pelaku dan perlindungan masyarakat. Konsep ini mengubah paradigma dari menghukum pelaku sebagai objek menjadi memperlakukan mereka sebagai subjek yang memiliki hak asasi.

Menurut Barda Nawawi Arief, pemidanaan harus mempertimbangkan keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat luas. Penerapan strict liability harus dibatasi pada jenis delik tertentu yang memiliki dampak besar terhadap masyarakat. Selain itu, hukum pidana harus mencerminkan nilai-nilai Pancasila, termasuk keadilan sosial, kemanusiaan, dan religiusitas.

Kesimpulan :

Pertanggungjawaban pidana di Indonesia, sebagai bagian fundamental dari hukum pidana, harus mencerminkan nilai-nilai keadilan, kepastian hukum, dan relevansi terhadap perkembangan sosial masyarakat. Prinsip-prinsip seperti asas kesalahan (culpability principle) dan asas tanggung jawab mutlak (strict liability) menjadi dasar dalam menentukan apakah seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakannya. Namun, penerapan prinsip-prinsip ini tidak dapat dilakukan secara kaku. Asas kesalahan tetap menjadi landasan utama, sementara asas strict liability diterapkan secara terbatas pada kasus-kasus tertentu, seperti delik kesejahteraan publik, untuk menjaga keseimbangan antara perlindungan masyarakat dan hak individu.

Pembaruan hukum pidana di Indonesia tidak hanya sekadar mengganti aturan lama yang bersifat kolonial, tetapi juga mencerminkan upaya mendalam untuk menyesuaikan hukum dengan dinamika kehidupan masyarakat modern. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP Nasional menjadi tonggak penting dalam proses ini, dengan memberikan pemisahan yang jelas antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Langkah ini menunjukkan bahwa hukum pidana Indonesia tidak hanya memperhatikan aspek legalitas, tetapi juga berusaha memasukkan nilai-nilai sosial, adat, dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Selain itu, pembaruan hukum pidana juga bertujuan untuk mengubah paradigma pemidanaan dari sekadar menghukum menjadi membina. Pendekatan ini tidak hanya memberikan efek jera, tetapi juga bertujuan untuk merehabilitasi pelaku agar dapat kembali menjadi bagian dari masyarakat yang produktif. Dengan melihat pelaku sebagai subjek yang memiliki hak asasi, hukum pidana menjadi lebih manusiawi dan berorientasi pada tujuan yang lebih luas, yaitu menciptakan ketertiban dan keharmonisan sosial.

Penting untuk diingat bahwa pembaruan hukum pidana bukanlah proses yang bersifat sekali jadi. Perubahan ini memerlukan kajian yang mendalam, komparatif, dan berkesinambungan untuk memastikan bahwa hukum pidana tetap relevan dengan perkembangan zaman, teknologi, dan nilai-nilai masyarakat. Pendekatan monodualistik dan pluralistik yang menghargai nilai-nilai Pancasila, termasuk keadilan sosial dan religiusitas, menjadi kerangka penting dalam membangun sistem hukum pidana yang ideal di Indonesia.

Dengan demikian, pembaruan hukum pidana bukan hanya soal memperbarui aturan, tetapi juga menciptakan harmoni antara norma hukum, norma sosial, dan kebutuhan masyarakat. Hukum pidana yang berbasis pada nilai-nilai Pancasila akan mampu menghadirkan keadilan, tidak hanya dalam tataran hukum formal, tetapi juga dalam praktik kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Sebagai bangsa yang terus berkembang, Indonesia membutuhkan hukum pidana yang tidak hanya tegas dan berwibawa, tetapi juga adil, fleksibel, dan mampu menjawab tantangan di masa depan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com