JAKARTA – Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) mengusulkan Rancangan Undang-Undang Kebebasan Beragama sebagai respons terhadap maraknya diskriminasi yang dialami oleh kelompok agama minoritas atau yang tidak termasuk dalam enam agama resmi yang diakui negara. RUU ini dianggap penting untuk memperkuat kerangka hukum yang melindungi hak berkeyakinan serta menanggulangi praktik intoleransi yang sering terjadi.
Menteri HAM, Natalius Pigai, menegaskan bahwa RUU ini lebih relevan dibandingkan dengan wacana Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama.
“Undang-Undang Kebebasan Beragama itu berbeda, karena kita ingin memastikan setiap orang bebas beragama tanpa adanya pengekangan. Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama justru bisa dianggap menerima adanya pembatasan kebebasan beragama,” ujar Pigai dalam konferensi pers, Rabu (12/03/2025).
Pigai menambahkan, negara tidak boleh menjadi pihak yang melegitimasi ketidakadilan dalam praktik beragama. “Kami ingin agar Undang-Undang Kebebasan Beragama memungkinkan siapa pun untuk beragama sesuai keyakinannya,” tegasnya. Ia juga menekankan bahwa usulan tersebut terbuka untuk kritik dan perdebatan publik.
“Silakan ada yang protes, atau tidak. Ini kan demokrasi,” ujarnya.
Usulan ini muncul setelah Indonesia mengalami penurunan peringkat dalam The Democracy Index 2024 yang dirilis oleh Economist Intelligence Unit (EIU). Pigai menjelaskan bahwa anjloknya indeks demokrasi Indonesia disebabkan oleh lemahnya perlindungan hak sipil, termasuk kebebasan beragama dan berekspresi.
“Ini menjadi peringatan bagi pemerintah untuk memperbaiki sistem hukum yang lebih inklusif,” paparnya.
Selain RUU Kebebasan Beragama, Kementerian HAM juga merekomendasikan revisi Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Perkap) tentang penanganan ujaran kebencian. Revisi ini bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan pasal yang berpotensi membatasi kebebasan berpendapat. Tak hanya itu, Kementerian HAM juga mengusulkan amandemen terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk memperkuat akuntabilitas lembaga legislatif.
Ahmad Nurhidayat, analis hukum dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), menyambut baik langkah Kementerian HAM tersebut.
“RUU Kebebasan Beragama bisa menjadi instrumen yang progresif jika dirancang dengan prinsip non-diskriminasi dan mengakomodasi keberagaman keyakinan,” ujarnya.
Namun, ia mengingatkan bahwa implementasinya memerlukan perubahan paradigma di kalangan aparat negara dan masyarakat.
Sejumlah kasus yang melibatkan penolakan pendirian rumah ibadah minoritas, pencabutan izin kegiatan keagamaan, hingga kekerasan simbolik terhadap kelompok tertentu telah sering terjadi. Data dari Setara Institute (2024) mencatat terdapat 180 kasus pelanggaran kebebasan beragama pada tahun lalu, dengan tren yang meningkat di daerah-daerah yang menerapkan regulasi diskriminatif.
Dengan adanya RUU Kebebasan Beragama, diharapkan norma hukum ini tidak hanya tertulis, tetapi juga dapat mendorong perubahan sosial yang menghargai pluralitas sebagai pilar demokrasi. Proses pembahasan di DPR nanti akan menjadi ujian bagi komitmen pemerintah dalam merealisasikan hak konstitusional warga negara. []
Redaksi03