JAKARTA — Upaya efisiensi anggaran yang digencarkan pemerintah sejak awal tahun melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 ternyata belum cukup membendung pelebaran defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Defisit kini diperkirakan mencapai Rp662 triliun atau setara 2,78% dari Produk Domestik Bruto (PDB), naik dari target semula Rp616,2 triliun (2,53% dari PDB).
Namun di balik angka-angka tersebut, terdapat dinamika yang mencerminkan orientasi baru kebijakan fiskal pemerintah: mendahulukan implementasi program-program prioritas Presiden Prabowo Subianto ketimbang memangkas anggaran secara ketat. Realokasi efisiensi dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan langsung yang diputuskan dalam rapat terbatas, tanpa harus melalui persetujuan DPR, sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat 1 huruf H Undang-Undang APBN 2024.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, pelebaran defisit terutama dipicu oleh tekanan dari sisi pendapatan negara yang tak sesuai target. Ia menyebut bahwa target pendapatan negara tahun ini kemungkinan hanya tercapai sebesar Rp2.865,5 triliun dari target semula Rp3.005,1 triliun. “Plus ditambah adanya restitusi dan sebagainya serta dari efek penurunan harga komoditas, seperti batu bara atau barang kena pajak lainnya yang itu di UU HPP. Itu semua masuk postur penerimaan yang tadi lebih rendah dari target yang pernah kita sampaikan,” jelas Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (Banggar DPR), Senin (07/07/2025).
Penurunan penerimaan negara tersebut salah satunya akibat batalnya pemberlakuan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% secara luas. Penerapan tarif ini dibatasi hanya untuk barang mewah, menyebabkan potensi kehilangan penerimaan sekitar Rp70 triliun. Ditambah lagi, dividen Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang biasanya tercatat dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) kini dialihkan sepenuhnya ke kas Danantara, menambah potensi kekurangan Rp80 triliun.
Di sisi belanja negara, Sri Mulyani menyebut kebutuhan Presiden untuk menjalankan berbagai program unggulan berdampak pada terbatasnya ruang penyesuaian belanja. “Sebetulnya kalau kita enggak melakukan efisiensi sementara presiden ada program-program prioritas yang beliau lihat lebih strategis harusnya defisitnya naik lebih tinggi lagi pak,” ujarnya.
Hingga pertengahan tahun, Kementerian Keuangan mencatat sudah Rp134,9 triliun anggaran efisiensi yang dibuka blokirnya dan dialokasikan ulang untuk program prioritas seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), pembangunan sekolah rakyat, koperasi desa merah putih, pertahanan semesta, ketahanan pangan, layanan kesehatan, hingga program pembangunan 3 juta rumah.
“Jadi dari sisi kekuatan hukum sama, yang satu inpres tertulis karena seluruhnya, sedangkan yang belanja tergantung presiden putuskan, oh kita ratas misal koperasi, maka dialokasikan segini, untuk rumah ditambah segini, ditambah MBG dilakukan, itu dilakukan sesuai arahan presiden,” kata Sri Mulyani.
Agar tekanan defisit tak harus ditutup dengan utang baru, pemerintah juga berencana menggunakan sebagian Saldo Anggaran Lebih (SAL) tahun 2024 yang masih tersisa Rp457,5 triliun. “Kami akan meminta persetujuan DPR untuk gunakan SAL Rp85,6 triliun, sehingga kenaikan defisit itu tidak harus dibiayai semua dengan penerbitan surat utang namun menggunakan cash yang ada,” ungkap Sri Mulyani.
Di tengah tekanan fiskal dan kebutuhan politik, kebijakan pembukaan blokir anggaran ini mencerminkan pergeseran strategi pemerintah yang menitikberatkan pada percepatan realisasi program strategis nasional sebagai bagian dari janji pemerintahan baru. Namun, tantangan menjaga keseimbangan fiskal tetap menjadi pekerjaan rumah serius di paruh kedua 2025.[]
Admin05