JAKARTA – Dunia diplomasi Indonesia-Amerika Serikat diramaikan dengan kabar bahwa Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Kamala Shirin Lakhdhir, akan mengakhiri masa tugasnya di Jakarta pada akhir April 2025. Kepulangan Kamala, yang baru menjabat sejak 8 Agustus 2024, memicu spekulasi di kalangan pengamat hubungan bilateral. Wakil Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Arif Havas Oegroseno, menegaskan bahwa kepergian Kamala bukanlah penarikan resmi dari Washington. “Enggak ditarik itu, dia minta pulang karena sudah enggak tahan,” ujar Havas saat ditemui di Jakarta Pusat, Selasa (22/04/2025). Pernyataan ini membuka ruang tanya tentang alasan di balik keputusan diplomat senior tersebut untuk mengundurkan diri lebih awal dari masa tugas yang lazim.
Havas memilih untuk tidak membeberkan detail alasan kepulangan Kamala, hanya menyebut bahwa itu adalah “urusan internal” pihak Amerika Serikat. Sementara itu, juru bicara Kedutaan Besar AS di Jakarta menjelaskan bahwa pengunduran diri Kamala merupakan bagian dari tradisi diplomatik AS. “Sudah menjadi kebiasaan bagi para Duta Besar Amerika Serikat untuk menyerahkan surat pengunduran diri kepada presiden yang baru menjabat, dan Presiden Trump telah menyetujui pengunduran diri Duta Besar Lakhdhir,” tulis juru bicara tersebut dalam pernyataan resmi. Dengan masa tugas yang belum genap satu tahun, kepulangan Kamala menjadi sorotan, terutama karena ia ditunjuk oleh Presiden Joe Biden pada 2 Mei 2024 untuk menggantikan Sung Y. Kim.
Kamala bukan sosok baru di Indonesia. Sebagai diplomat muda, ia pernah bertugas di Kedutaan Besar AS di Jakarta, pengalaman yang membuatnya memahami dinamika sosial dan politik Tanah Air. Ketika ditunjuk sebagai duta besar pada 2024, banyak pihak berharap Kamala akan memperkuat hubungan bilateral di bidang pendidikan, perdagangan, pertahanan, dan keamanan. Selama bertugas, ia aktif menjalin komunikasi dengan berbagai pemangku kepentingan, dari pejabat pemerintahan hingga masyarakat sipil. Dalam pernyataan resminya, Kamala menyampaikan rasa terima kasih atas sambutan hangat masyarakat Indonesia. “Merupakan kehormatan besar bagi saya untuk menjabat sebagai Duta Besar AS untuk Republik Indonesia,” katanya.
Sebelum kembali ke Washington pada akhir April 2025, Kamala dijadwalkan menggelar sejumlah pertemuan dengan mitra dan pejabat Indonesia untuk menegaskan komitmen kerja sama bilateral. Langkah ini menunjukkan upayanya meninggalkan jejak positif meski masa tugasnya singkat. Kepergiannya meninggalkan kekosongan sementara pada posisi Duta Besar AS di Jakarta, yang akan diisi oleh Heather C. Merritt, Wakil Duta Besar AS, sebagai Kuasa Usaha Ad Interim hingga pengganti permanen ditunjuk. Transisi ini terjadi di tengah dinamika politik global yang kompleks, termasuk perubahan kebijakan perdagangan di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump, yang kembali berkuasa pada Januari 2025.
Di sisi Indonesia, posisi Duta Besar untuk Amerika Serikat juga masih kosong sejak Rosan Roeslani mengundurkan diri untuk menjabat sebagai Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara. Kekosongan ini terjadi setelah pergantian pemerintahan dari Presiden Joko Widodo ke Presiden Prabowo Subianto pada Oktober 2024. Wamenlu Havas menyebut bahwa posisi tersebut akan segera terisi, meski belum ada kepastian waktu. “Ya, secepatnya,” ujarnya saat ditemui di kantor Menko Perekonomian, Senin (07/04/2025). Ia menegaskan bahwa negosiasi dagang dengan AS, yang saat ini dipimpin Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, tidak bergantung pada keberadaan duta besar, melainkan dilakukan di level tinggi pemerintahan.
Kekosongan jabatan duta besar di kedua belah pihak menjadi perhatian, terutama karena hubungan Indonesia-AS sedang berada pada fase krusial. Indonesia tengah berupaya menurunkan tarif dagang yang diberlakukan pemerintahan Trump, sebuah isu yang membutuhkan koordinasi tingkat tinggi. Meski Havas menegaskan bahwa negosiasi ini tidak terhambat oleh absennya duta besar, keberadaan figur diplomatik kunci di kedua ibu kota tetap penting untuk memastikan komunikasi yang efektif. Kepergian Kamala, ditambah dengan kekosongan posisi duta besar Indonesia di Washington, dapat memengaruhi dinamika hubungan bilateral dalam jangka pendek.
Keberangkatan Kamala mencerminkan tantangan yang dihadapi diplomat di era transisi politik. Di AS, pergantian pemerintahan dari Biden ke Trump pada Januari 2025 membawa perubahan besar dalam kebijakan luar negeri, termasuk pendekatan terhadap Indonesia. Di Indonesia, pemerintahan baru di bawah Prabowo masih dalam tahap konsolidasi, termasuk dalam menentukan figur untuk mewakili Indonesia di panggung internasional. Pengunduran diri Kamala juga memunculkan spekulasi tentang alasan di balik keputusannya. Pernyataan Havas bahwa Kamala “enggak tahan” tidak dijelaskan lebih lanjut, meninggalkan ruang untuk dugaan, mulai dari tekanan internal hingga ketidaksesuaian dengan dinamika lokal. Namun, tanpa pernyataan resmi, spekulasi ini tetap tidak terjawab.
Terlepas dari kepergian Kamala, hubungan Indonesia-AS memiliki fondasi kuat. Kedua negara telah menjalin kerja sama panjang di berbagai sektor strategis, dari keamanan maritim hingga perubahan iklim. Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di ASEAN, Indonesia memainkan peran penting di kawasan Indo-Pasifik, sementara AS memiliki kepentingan untuk menjaga stabilitas kawasan. Dalam konteks ini, keberangkatan Kamala hanyalah satu episode dalam hubungan yang jauh lebih besar. Tantangan ke depan adalah memastikan bahwa momentum kerja sama tetap terjaga, baik melalui pengganti Kamala maupun figur duta besar Indonesia yang baru.
Kepulangan Kamala Shirin Lakhdhir pada April 2025 menandai akhir dari masa tugasnya yang singkat namun penuh dedikasi. Kontribusinya dalam mempererat hubungan bilateral patut diapresiasi, meski banyak pihak menyayangkan durasi tugasnya yang terbatas. Bagi Indonesia, pengisian posisi Duta Besar untuk AS menjadi prioritas untuk memastikan representasi yang kuat di Washington. Figur yang terpilih nantinya akan memikul tanggung jawab besar dalam menavigasi negosiasi perdagangan dan isu strategis lainnya. Sementara itu, pemerintahan Prabowo perlu memastikan bahwa kebijakan luar negeri Indonesia tetap konsisten dalam memperjuangkan kepentingan nasional.
Menjadi duta besar, seperti yang pernah dikatakan Kamala, adalah “kehormatan besar.” Namun, di balik kehormatan itu, ada tanggung jawab untuk menjembatani dua negara dengan budaya, politik, dan kepentingan yang berbeda. Kepergian Kamala menutup satu babak dalam hubungan Indonesia-AS, tetapi cerita kerja sama kedua negara akan terus berlanjut. Di tengah ketidakpastian politik global, komitmen untuk menjaga stabilitas dan kemakmuran kawasan menjadi pendorong utama. Dengan transisi yang sedang berlangsung, dunia menanti langkah berikutnya dari dua negara ini dalam memperkuat aliansi strategis mereka. []
Redaksi11