ROMA – Dunia tengah diliputi duka mendalam atas wafatnya Paus Fransiskus, pemimpin Gereja Katolik yang dikenal sebagai simbol kerendahan hati, kasih sayang, dan perdamaian. Paus berusia 88 tahun ini menghembuskan nafas terakhirnya sehari setelah menyampaikan khotbah Paskah yang penuh makna, menyerukan perdamaian di tengah konflik global. Kepergiannya meninggalkan kekosongan besar, tidak hanya bagi umat Katolik, tetapi juga bagi seluruh umat manusia yang mengagumi dedikasinya pada keadilan sosial dan dialog antaragama.
Sebelum wafat, Paus Fransiskus menghabiskan hari terakhirnya di Bali, Indonesia, dalam suasana refleksi spiritual. Kunjungannya ke Indonesia menjadi salah satu momen terakhir yang mencerminkan karakternya: sederhana, hangat, dan penuh empati. Dalam kunjungan tersebut, ia bertemu dengan berbagai pemuka agama dan masyarakat lokal, menegaskan pentingnya harmoni lintas budaya. Bali menjadi saksi bisu dari kelembutan spiritual Paus yang telah menginspirasi jutaan orang selama masa kepemimpinannya.
Berita wafatnya Paus Fransiskus memicu gelombang duka di seluruh dunia. Warga Palestina, yang kerap mendapat dukungan moral dari Paus, menyatakan kehilangan “teman sejati.” Mereka mengenang bagaimana Paus secara terbuka menyerukan gencatan senjata dan perlindungan hak asasi manusia di wilayah konflik. Di Indonesia, para pemimpin menyampaikan belasungkawa. Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menyebut Paus sebagai “pemimpin spiritual yang lembut dan visioner,” sementara Ketua DPR Puan Maharani berharap warisan perdamaian Paus terus hidup. Presiden terpilih Prabowo Subianto juga menyampaikan duka cita, menyoroti peran Paus dalam mempromosikan dialog antarumat beragama dan keadilan global.
Paus Fransiskus dikenang karena pendekatannya yang progresif dalam memimpin Gereja Katolik. Ia kerap menekankan pentingnya ekonomi yang inklusif, sebagaimana disampaikannya kepada ekonom muda untuk menciptakan sistem yang berpihak pada kaum miskin dan terpinggirkan. Khotbah-khotbahnya tentang lingkungan, kemiskinan, dan perdamaian menjadi pedoman bagi banyak orang, termasuk mereka yang tidak beragama Katolik. Salah satu momen ikonik dalam kepemimpinannya adalah seruannya untuk menjaga “rumah bersama” melalui enciklik Laudato Si’, yang menggarisbawahi tanggung jawab manusia terhadap lingkungan.
Kini, Gereja Katolik bersiap memasuki babak baru dengan proses pemilihan Paus berikutnya. Nama-nama kandidat potensial mulai bermunculan, meski Vatikan belum merilis pernyataan resmi terkait jadwal konklaf. Proses ini diperkirakan akan berlangsung dengan penuh kehati-hatian, mengingat peran Paus sebagai pemimpin spiritual bagi lebih dari 1,3 miliar umat Katolik di seluruh dunia. Sementara itu, umat Katolik dan masyarakat global terus mengenang warisan Paus Fransiskus, yang tidak hanya memimpin dengan hati, tetapi juga menjadi suara moral di tengah tantangan zaman.
Wafatnya Paus Fransiskus menandai akhir dari era kepemimpinan yang penuh inspirasi. Namun, pesan-pesannya tentang kasih sayang, keadilan, dan perdamaian diyakini akan terus bergema. Dari jalanan Vatikan hingga pelosok dunia, Paus Fransiskus akan dikenang sebagai sosok yang membawa harapan di tengah kegelapan, menjembatani perbedaan, dan mengajarkan bahwa kemanusiaan adalah inti dari setiap tindakan. Dunia kini menanti pemimpin baru Gereja Katolik, sambil menghormati jejak abadi yang ditinggalkan Paus Fransiskus. []
Redaksi03