Fajrina Eka Wulandari, S.H., M.H.
(Mahasiswa Doktor Ilmu Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya)
Kecerdasan buatan merupakan hasil dari revolusi industri 4.0, telah mengubah lanskap sosial secara drastis. Upaya manusia untuk memenuhi hasrat akan kenyamanan dan efisiensi menciptakan entitas buatan yang mampu meniru bahkan melampaui kemampuan kognitifnya. Namun, di balik gemerlap kemajuan teknologi, tersimpan ancaman laten terhadap tatanan sosial yang ada. Peralihan dari era industri ke era digital telah menciptakan jurang pemisah yang semakin lebar antara mereka yang memiliki akses terhadap teknologi dan mereka yang tidak. Pertanyaannya adalah, apakah kecerdasan buatan akan menjadi alat untuk memperkuat kesenjangan sosial atau justru menjadi jembatan untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan bagi semua?
Pertanyaan tersebut bisa dijawab salah satunya dengan munculnya Undang-Undang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik yang telah mengalami banyak amandemen. Undang-Undang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik hadir sebagai kompas moral dalam navigasi dunia digital yang semakin kompleks. Lautan informasi yang tak berbatas membuat undang-undang ini berfungsi sebagai mercusuar yang menuntun kita menuju tatanan digital yang beradab. Negara tidak hanya mengatur lalu lintas data, namun juga menegaskan komitmennya untuk menciptakan ruang publik digital yang menjunjung tinggi nilai kecerdasan buatan kemanusiaan, seperti kejujuran, keadilan, dan kesetaraan.
Kecerdasan buatan merupakan cerminan dari kecerdasan manusia yang telah menciptakan paradoks moral yang mendalam. Pada satu sisi, kecerdasan buatan memperluas batas kemampuan manusia dan membuka cakrawala baru bagi peradaban. Namun pada sisi lain, kecerdasan buatan juga menghadirkan dilema etis yang kompleks. Ketidakmampuan kecerdasan buatan untuk memahami konteks moral dari suatu perintah, membuatnya rentan untuk disalahgunakan. Pertanyaannya adalah, siapakah yang bertanggung jawab atas tindakan kecerdasan buatan? Apakah pencipta, pengguna, atau kecerdasan buatan itu sendiri? Dilema ini mengundang kita untuk merenungkan kembali hakikat tanggung jawab moral dalam era teknologi.
Perkembangan pesat kecerdasan buatan telah membawa manusia pada persimpangan jalan yang krusial. Pada satu sisi, manusia merayakan kemudahan dan efisiensi yang ditawarkan oleh kecerdasan buatan. Namun di lain sisi manusia dihadapkan pada dilema etis dan hukum yang kompleks. Tidak hanya para peneliti dan akademisi, namun juga para praktisi hukum, perlu terlibat dalam diskursus yang mendalam untuk merumuskan kerangka kerja yang mampu mengakomodasi perkembangan teknologi tanpa mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan. Seperti diketahui bahwa nilai-nilai kemanusiaan erat kaitannya dengan perlindungan hak asasi manusia. Maka untuk tetap melindungi hak asasi manusia maka perlu ada aturan mendetail yang membahas cara kerja kecerdasan buatan secara menyeluruh dalam suatu payung hukum.
Munculnya masalah yang diakibatkan kecerdasan buatan saat ini memang masih jarang, namun siapa yang akan menjaminnya dalam tahun-tahun mendatang. Perkembangan teknologi yang begitu cepat menuntut manusia untuk berpikir proaktif dan antisipatif. Negara perlu membangun infrastruktur hukum dan kelembagaan yang mampu merespon dengan cepat terhadap tantangan yang muncul akibat perkembangan kecerdasan buatan. Dengan demikian, kita dapat mencegah terjadinya dampak negatif yang tidak diinginkan dan memastikan bahwa manfaat teknologi dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.
Teori kepastian hukum yang dianut Gustav Radburh mengatakan kepastian hukum membuat manusia berpikir apa dampak yang akan terjadi atas suatu tindakan hukum yang dilakukan. Dalam tarian kehidupan bermasyarakat, hukum berperan sebagai penjaga irama. Ketiadaan kepastian hukum bagaikan kehilangan kompas di tengah lautan. Tindakan kecerdasan buatan yang merugikan subjek hukum, tanpa adanya landasan hukum yang kuat, bagaikan badai yang menerjang tanpa peringatan. Hukum yang jelas dan pasti adalah benteng terakhir bagi mereka yang menjadi korban ketidakadilan. Hanya dengan kepastian hukum, keadilan dapat ditegakkan dan tatanan sosial dapat terjaga.