Kampung Ketupat, Jantung Tradisi Samarinda

HARI raya Idulfitri 1446 Hijriah telah lewat, namun suasana dan aromanya masih melekat. Di beberapa kantor instansi pemerintah dan swasta, serta di paguyuban-paguyuban masyarakat, masih ada yang sedang atau bahkan belum melaksanakan acara yang dikenal dengan halal bi halal.

Biasanya, pada sebagian masyarakat Indonesia, kendurian bertajuk halal bi halal ini kurang lengkap apabila tidak disajikan makanan dengan menu ketupat, baik dalam bentuk hidangan ketupat opor ayam, ketupat soto banjar, ketupat soto Makassar atau menu lainnya yang menyuguhkan ketupat sebagai sumber karbohidratnya.

Apabila kita menelusuri jejak sejarah, konon kabarnya, ketupat ini diyakini sebagai berasal dari abad ke 15 hingga 16 Masehi, di masa Sunan Kalijaga, salah seorang dari Wali Songo yang menyebarkan ajaran agama Islam di Jawa. Dikabarkan pula bahwa Sunan Kalijaga menggunakan media ketupat dalam kegiatan dakwahnya.

Ketupat, yang menurut ihwalnya berasal dari perpaduan budaya Hindu dan Jawa, oleh Sunan Kalijaga kemudian menjadi sarana menyiarkan nilai-nilai keislaman di masyarakat. Kemudian pada masa pemerintahan Raden Patah dari Demak, ketupat merupakan simbol perayaan hari besar Islam, terutama pada perayaan Idulfitri dan Iduladha.

Pada ketupat, yang kata dasarnya adalah kupat, menurut ajaran yang disampaikan Sunan Kalijaga, juga menyiratkan makna filosofi dan arti yang dalam. Dalam bahasa Jawa, ku atau ngaku, berarti mengaku, kemudian pat atau lepat, berarti salah atau kesalahan. Jadi kupat, dapat juga diartikan sebagai ngaku lepat atau sebuah pengakuan atas kesalahan.

Konon, ketupat yang kulitnya dibuat dari anyaman daun kelapa atau daun nipah, serta diisi beras untuk kemudian direbus hingga masak ini, mempunyai makna, kerumitan anyamannya menggambarkan beragam kesalahan manusia, sedangkan beras putih melambangkan kesucian hati untuk secara ikhlas memberikan maaf atas kesalahan-kesalahan yang beragam itu.

Kota Samarinda, yang berdasarkan sejarahnya, sebelum dikenal dengan nama Samarinda, pada sekitar tahun 1201 – 1300, adalah berasal dari enam perkampungan yang didiami oleh sekelompok penduduk. Enam kampung tersebut adalah Pulau Atas, Karang Asam, Karamumus (Karang Mumus), Luah Bakung (Loa Bakung), Sembuyutan (Sambutan) dan Mangkupelas (Mangkupalas).

Di kampung Mangkupelas (Mangkupalas) ini kemudian La Mohang Daeng Mangkona, pemimpin orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa yang tidak mau tunduk terhadap perjanjian Bongaja lalu kemudian hijrah ke Kalimantan Timur untuk mengabdikan diri pada Kerajaan Kutai, bersama para pengikutnya bermukim dan berbaur dengan masyarakat setempat yang berasal dari Suku Kutai kuno atau Melanti.

Para pengikut La Mohang Daeng Mangkona ini kemudian membawa kebiasaan mereka dalam membangun rumah dengan menggunakan atap anyaman daun nipah di kampung Mangkupalas. Karena memang di sekitar pesisir Sungai Mahakam pada waktu itu banyak tumbuh tanaman nipah.

Seiring waktu, karena tanaman nipah yang sangat melimpah, masyarakat Mangkupalas mulai mencoba membuat kulit ketupat dari bahan baku anyaman daun nipah. Kegiatan membuat kulit ketupat dari daun nipah ini masih berlangsung secara turun-temurun hingga saat ini.

Pada tanggal 11 Agustus 2017, Mangkupalas yang kemudian berkembang menjadi sentra pembuatan kulit ketupat, ditetapkan Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda sebagai salah satu ikon wisata di Kota Samarinda.

Mangkupalas juga dikenal dengan sebutan Pelabuhan 79, itu karena banyaknya perajin kulit ketupat di daerah tersebut. menjadikan Mangkupalas yang dikenal juga dengan Pelabuhan 79, menjadi salah satu destinasi wisata unggulan di Kota Tepian, disebabkan proses pembuatan kulit ketupat oleh masyarakat perajin yang menjadi daya tarik wisatawan. Pada tanggal 18 Januari 2018, di masa kepemimpinan Gubernur Kaltim Awang Farouk Ishak, resmi dinamakan Kampung Ketupat oleh Dinas Pariwisata, sebagai destinasi wisata berbasis masyarakat.

Berdasarkan data dari Tim Penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (TP PKK) Kota Samarinda, perajin kulit ketupat di Kampung Ketupat senantiasa mengalami perkembangan, di tahun 2020 terdapat 88 perajin, kini berkembang menjadi 128 perajin.

Azis, Ketua Pokdarwis Kampung Ketupat saat menilik kupat hasil olahan salah satu perajin.

Kampung Ketupat, yang terdapat 10 Rukun Tetangga (RT) di dalamnya, berdasarkan informasi yang diperoleh dari Azis, Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) di tempat tersebut, setiap hari, per orang perajin, dapat memproduksi sekitar 300 sampai paling banyak 500 kulit ketupat. “Kulit ketupat tersebut dipasarkan ke pasar-pasar tradisional di Samarinda, Balikpapan, Bontang dan bahkan sampai ke Berau,” kata Azis.

Meskipun relatif sederhana, namun kulit ketupat telah menjadi mata pencaharian pokok sebagian warga Kampung Ketupat. Adelin Rachmawati, misalnya, seorang perajin kulit ketupat  berusia 42 tahun yang mampu menganyam kulit ketupat 300 – 500 per harinya dan dijual dengan harga mulai dari Rp300 per ketupat ukuran kecil dan Rp800 untuk kulit ketupat ukuran besar. “Tapi kami menjualnya tidak per biji, tapi per ikat isi 100 biji dijual dengan harga 30 ribu rupiah untuk yang kecil, sedang yang besar 80 ribu rupiah,” ungkap Adelin.

Sementara untuk bahan baku daun nipah, Adelin memesannya dari pencari daun nipah di daerah Handil, Kutai Kartanegara, seharga Rp 50 ribu per ikatnya. “Seikat daun nipah itu bisa jadi 300-an kalau untuk bikin kulit ketupat besar,” terangnya.

Dirinya menjual ketupat ke beberapa pelanggan tetapnya di Samarinda yang berjualan soto banjar, Soto Makassar, ketupat Kandangan serta hidangan yang lainnya. “Banyak jua pembeli kami datang dari Balikpapan, Samboja, Botang, Sangatta. Biasa sudah langganan, beli dengan kami,” jelas Adelin, dengan logat dialek khas Kutai bercampur Bugis.

Namun demikian, ada juga hambatan dalam usaha kerajinan ketupat ini. Pengakuan Lusi Susanti (64), bahan anyaman kulit kupat yang sudah mulai sulit didapat, tumbuhan nipah langka di Muara Pantuan. Muara Pantuan adalah pesisir pantai yang jadi lokasi utama diperolehnya daun tumbuhan berjenis palem dengan nama latin Nypa fruticans. Palem nipah memang berhabitat di lingkungan hutan bakau atau daerah pasang-surut dekat tepi laut dan sungai.

Lusi Susanti, salah seorang perajin saat menganyam ketupat. Di usia senjanya, ia masih bisa produktif menghasilkan banyak anyaman ketupat menjelang lebaran.

“Susahnya kalau orang yang mencari daun nipah itu sekarang sudah agak jarang, terus lagi tanaman nipah juga sudah makin sedikit (Muara Pantuan, red) soalnya (lahannya, red) banyak yang dijadikan empang,” keluh Lusi.

Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda, melalui Dinas Perindustrian, Koperasi, Usaha Kecil dan Mikro (DPKUKM) dan Dinas Pariwisata Kota Samarinda telah melakukan berbagai upaya dengan melakukan pembinaan di Kampung Ketupat sebagai sentra Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM) penghasil ketupat. Pembinaan itu dilakukan dengan melatih perajin, membantu dalam pemasaran dan promosi, serta juga menjawab persoalan kesulitan bahan baku daun nipah.

Pemkot juga menjadikan Kampung Ketupat sebagai destinasi wisata unggulan, mempercantik Kampung Ketupat dengan pembangunan Plaza Ketupat dan fasilitas pendukung lainnya guna mewujudkan obyek wisata yang hospitality (ramah, aman, dan nyaman serta mudah terjangkau). Setiap sudut kampung ketupat ditata agar elegan dan menarik, rumah-rumah warga dicat warna-warni dengan warna mencolok dan instagramable.

Dukungan juga datang dari Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Hetifah Saifudian. Menurutnya, Kampung Ketupat sebagai destinasi wisata harus berkembang seiring dengan perkembangan Kota Samarinda. Yang menjadi perhatian Hetifah adalah aksesibilitas menuju Kampung Ketupat, baik melalui jalan darat maupun melalui Sungai Mahakam. Selain itu, luasan area parkir dan jumlah toilet umum perlu diperhatikan lagi.

“Tolong dibantu infrastruktur di sini. Sehingga wisatawan dapat mudah mengaksesnya dan dapat menikmati wisata di Kampung Ketupat ini dengan nyaman dan bahagia,” ujar Hetifah, beberapa waktu yang lalu.

Pemkot Samarinda, melalui Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga (Disparpora), rencananya akan menggelar Festival Ketupat pasca lebaran ini. Harapannya perajin kulit ketupat biar lebih semangat menjalankan usahanya, usaha dan produknya kian terkenal. Festival diharapkan juga dapat lebih memantik pertumbuhan perekonomian masyarakat perajin kulit ketupat. Camat Samarinda Seberang Aditya Koesprayogi mengatakan bahwa pihaknya saat ini tengah mempersiapkan penyelenggaraan festival tersebut agar nantinya berjalan lancar dan sukses. 

Dengan upaya yang dilakukan bersama antara Pemerintah dan masyarakat serta organisasi masyarakat seperti Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) dan TP PKK, diharapkan Kampung Ketupat dapat tetap eksis dan berkembang baik, baik pada aspek UMKM maupun wisata unggulan. Warganya juga diharapkan mampu berinovasi menunjang produktivitas UMKM yang memiliki daya saing dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.

Penulis: Himawan Yokominarno | Penyunting: Hadi Purnomo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com