Korea Selatan Pilih Presiden Baru, Isu Perang Dagang dan Keamanan Menghimpit

SEUOL – Pemilihan presiden Korea Selatan yang akan digelar pada minggu pertama Juni 2025 diperkirakan akan menghadirkan pemimpin baru yang harus segera menghadapi tantangan besar di kancah internasional. Situasi geopolitik dan hubungan bilateral yang kompleks menuntut kemampuan diplomasi yang kuat dari siapapun yang terpilih.

Saat ini, pemerintahan Seoul tengah berada di bawah tekanan terkait isu perdagangan dan keamanan, terutama dengan pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. AS selama ini menjadi sekutu utama Korea Selatan dalam menghadapi ancaman dari Korea Utara. Namun, Korea Selatan juga harus menjaga hubungan dagang penting dengan Cina, yang menjadi saingan utama AS. Hubungan dengan Jepang juga diperkirakan akan mengalami dinamika baru, tergantung hasil pemilu.

Menurut jajak pendapat terbaru, Lee Jae Myung dari Partai Demokratik (DP) memperoleh dukungan 49,2 persen, unggul dari Kim Moon Soo dari Partai Kekuatan Rakyat (PPP) yang meraih 36,8 persen. Citra PPP tercoreng setelah Presiden Yoon Suk Yeol dimakzulkan dan tengah diadili terkait pemberlakuan darurat militer pada Desember 2024. Meski demikian, Kim terus mempersempit jarak, sementara Partai Reformasi Baru (New Reform Party) yang konservatif mendapat dukungan 10,3 persen dan berpotensi mempengaruhi pembentukan pemerintahan baru.

Profesor hubungan luar negeri Universitas Kyung Hee, Choo Jae Woo, menegaskan, “Pemenangnya akan menghadapi banyak masalah besar dengan sangat cepat.” Hubungan Korea Selatan dengan AS masih “tidak koheren.” Seoul tengah berunding soal perdagangan dengan Washington, namun belum ada kepastian pencabutan tarif. Masalah lain adalah penempatan pasukan AS di Korea Selatan. Pentagon disebut mempertimbangkan penarikan 4.000 tentara dari total 28.000 yang saat ini ditempatkan. Presiden Trump berulang kali mengancam menarik pasukan kecuali Seoul meningkatkan kontribusinya. Choo Jae Woo menyebut, “Mengeluarkan pasukan dari Semenanjung Korea akan memberikan kemenangan strategis bagi Korea Utara dan Cina.”

Profesor hubungan internasional Troy University Seoul, Dan Pinkston, mengatakan Seoul sedang berjuang mengelola kebijakan AS yang “tidak sejalan” antara perdagangan dan keamanan. “Siapa pun yang terpilih harus menemukan cara mengelola hubungan dengan AS agar kembali stabil dan dapat diprediksi,” ujarnya.

Ancaman Korea Utara juga menjadi perhatian utama. Pemerintahan Yoon memutuskan menghentikan sebagian besar komunikasi dengan Pyongyang yang makin mempererat aliansi dengan Rusia. Dukungan Moskow membuat Kim Jong Un menghentikan komunikasi dengan Seoul dan memperkuat pertahanan perbatasan. Pinkston berpendapat, “Jika Lee Jae Myung menang, dia akan mencoba memperbaiki hubungan, tapi butuh dua orang untuk berdansa, dan sangat tidak mungkin Kim Jong Un membalasnya.” Choo Jae Woo menilai Kim tetap dingin karena Seoul dianggap sekutu AS dan musuh Korut.

Hubungan dengan Cina penuh ketegangan meski Beijing mitra dagang utama. Pada 2024, Cina mengimpor barang Korea Selatan senilai sekitar 133 miliar dolar AS, lebih besar dari impor AS ke Korsel. Namun, konflik terkait anjungan minyak Cina di perairan sengketa Laut Kuning dinilai Korsel melanggar batas wilayah. “Ini dilema besar bagi presiden baru,” ujar Choo Jae Woo. Presiden Cina Xi Jinping diperkirakan hadir di Forum Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik di Gyeongju akhir 2025.

Hubungan dengan Jepang membaik di masa Yoon Suk Yeol, berbeda dengan masa Moon Jae In yang cenderung anti-Jepang dan anti-AS. Namun, jika Lee Jae Myung menang, kekhawatiran Tokyo meningkat bahwa hubungan akan memburuk karena fokus pada isu sejarah kolonial dan masa perang. Choo Jae Woo memprediksi pidato besar presiden baru pada 15 Agustus 2025 akan sangat menentukan arah hubungan kedua negara selama pemerintahan mendatang. []

Redaksi11

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
X